Yusril Tuding Kasus Sistem Administrasi Politis

"Kebijakan Direktur Jenderal, hanya berlaku dari Dirjen ke bawah."

Mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra menduga pengusutan kasus dugaan korupsi sistem administrasi badan hukum di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sarat dengan muatan politik. Alasannya, kasus itu justru ramai saat dia sudah menyatakan diri maju sebagai calon presiden dari Partai Bulan Bintang.

"Saya kira begitu (dipolitisasi)," kata Yusril kepada wartawan di Jakarta kemarin.

Yusril mengaku siap mempertanggungjawabkan kebijakannya saat dia menjabat menteri secara hukum. Tapi, menurut dia, kalau dibawa ke politik, masalah itu dikhawatirkan akan melebar. "Kalau kebijakan yang saya buat dulu dinyatakan salah," katanya, "seharusnya menteri hukum yang baru memperbaiki kebijakan itu."

Menurut rencana, besok Kejaksaan Agung meminta kesaksian Yusril terkait dengan kasus penerapan sistem administrasi badan hukum yang berlaku sejak 2001 itu. Pemeriksaan dilakukan, menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Marwan Effendy, karena tiga tersangka menyebut kebijakan itu merupakan perintah Yusril. Ketiga tersangka itu adalah dua mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Romli Atmasasmita dan Zulkarnain Yunus, serta pejabat saat ini, Syamsuddin Sinaga. "Sebab itu, kesaksian Yusril itu penting," kata Marwan.

Menanggapi rencana itu, Yusril mengaku sudah menerima surat panggilan dari kejaksaan. "Sebagai warga negara, saya tentu akan penuhi permintaan itu," kata Yusril. Berkaitan dengan penahanan Romli dan Syamsuddin, ia mengatakan, "Saya sedih dan prihatin atas penahanan mereka."

Dalam kasus yang diduga merugikan keuangan negara lebih dari Rp 400 miliar itu, kejaksaan menemukan hasil pungutan biaya akses dari para notaris tak masuk ke kas negara.

Menurut kejaksaan, 90 persen duit mengalir ke rekening PT Sarana Rekatama Dinamika selaku penyedia jasa aplikasi sistem dan 10 persen mengucur ke koperasi pegawai Departemen Hukum. Dari 10 persen itu, koperasi hanya menerima 40 persennya. Sisanya mengucur ke kantong pejabat Direktorat. Setiap bulan, pejabat di Direktorat menerima bagian dari biaya akses, misalnya direktur jenderal mendapat rata-rata Rp 10 juta dan sekretaris jenderal Rp 5 juta.

Menurut Yusril, bukan dia yang menentukan pembagian hasil biaya akses sistem administrasi badan hukum itu. "Kebijakan menteri tak mengatur pembagian. Itu ditentukan oleh Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum dan koperasi," katanya.

Yusril juga menyanggah jika dirinya disebut menerima jatah duit dari hasil pungutan itu. "Saya tak menerimanya," kata dia. "Kalau kebijakannya ditentukan Direktur Jenderal, maka itu hanya berlaku dari Dirjen ke bawah."

Yusril menambahkan, sebelum kebijakan itu diterapkan, departemennya telah berkonsultasi dengan Departemen Keuangan. Saat itu, menurut dia, Departemen Keuangan menyatakan biaya akses dari notaris yang mengajukan permohonan dan perubahan nama perusahaan tak termasuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP). "Biaya akses sistem administrasi badan hukum baru dinyatakan sebagai PNBP oleh Sri Mulyani (Menteri Keuangan) pada 8 Januari 2007," ujar Yusril. DWI WIYANA | ANTON SEPTIAN

Sumber: Koran Tempo, 17 November 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan