Yayasan Pemerintah Dinilai Rawan Korupsi
Pemerintah juga diminta melakukan moratorium pendirian yayasan.
Hasil penelitian Brookings Institution dan Freedom Institute menunjukkan, yayasan milik pemerintah rawan menjadi ladang korupsi. Dari sejumlah kasus korupsi yang mencuat, yayasan lazim digunakan sejumlah pejabat untuk menilap duit negara. "Pengurus yayasan biasanya diduduki pejabat pemerintah," kata salah seorang peneliti, Lex Rieffel, dalam pemaparan hasil penelitiannya di Jakarta kemarin.
Kedua lembaga itu memfokuskan penelitian selama 2007 terhadap 30 yayasan yang berafiliasi dengan departemen, kementerian, atau lembaga setingkat departemen di level pemerintah pusat. Dari 22 yayasan yang diteliti, pengurus dari 18 yayasan (82 persen) adalah pejabat aktif.
Menurut dia, banyaknya pejabat yang duduk dalam yayasan mengakibatkan cukup banyak konflik kepentingan antara departemen dan yayasan. Akibat lebih jauh, dana dengan gampang keluar-masuk yayasan. "Tak ada mekanisme check and balances," kata peneliti dari Brookings Institution itu.
Peneliti Freedom Institute, Karaniya Dharmasaputra, memberi ilustrasi kasus korupsi Bank Indonesia sebesar Rp 100 miliar yang menyeret Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah serta sejumlah petinggi bank sentral. Dana yang sebagian digunakan untuk menyuap anggota DPR itu, kata Karaniya, berasal dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), yayasan milik bank sentral. Kasus ini dimungkinkan karena pejabat Bank Indonesia juga duduk di dalam yayasan. "Deputi Gubernur BI kan jadi pengurus di yayasan itu," kata Karaniya.
Dia juga menunjukkan contoh lain. Di antaranya kasus Yanatera Bulog, yang merugikan negara Rp 35 miliar atau yang dikenal sebagai Skandal Bulog I pada 1999, dan kasus Yayasan Kesejahteraan dan Perumahan Prajurit (YKPP) Departemen Pertahanan dengan kerugian sebesar Rp 410 miliar pada 1997. Dalam kedua kasus itu, kata dia, korupsi sangat mungkin terjadi karena sejumlah pejabat yang masih aktif duduk sebagai pengurus yayasan.
Beberapa yayasan mengklaim sebagai yayasan independen. Padahal, kata dia, mereka memanfaatkan aset negara dan dipimpin pejabat negara aktif. Misalnya, kata dia, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia. "Mengaku independen, tapi Menteri Tenaga Kerja juga jadi pengurusnya," ujar Karaniya.
Penelitian ini juga menemukan bahwa 70 persen dana yayasan biasanya digunakan untuk investasi bisnis. Sisanya, sekitar 30 persen, digunakan untuk kesejahteraan pegawai pemerintah. "Kesejahteraan pegawai kerap dijadikan legitimasi dalam pendirian yayasan pemerintah," kata Karaniya. Faktanya, kata dia, jumlah keuntungan yang dinikmati pegawai sangat kecil.
Dari hasil penelitian itu, Brookings Institution dan Freedom Institute merekomendasikan agar pemerintah melakukan inventarisasi yayasan-yayasan tersebut dan mendorong dibentuknya sebuah komisi independen untuk memantau aktivitasnya. Pemerintah juga diminta melakukan moratorium pendirian yayasan. ANTON SEPTIAN
Sumber: Koran Tempo, 23 Januari 2009