Wonosobo, Paling Bersih atau Terkorup No. 21?
Wonosobo sejak dua hari lalu menjadi pembicaraan di tingkat nasional. Daerah yang lebih dikenal sebagai tempat Dataran Tinggi Dieng itu menjadi kabupaten/kota paling bersih dari tindak pidana korupsi, berdasarkan survei Transparansi Internasional Indonesia (TII) di 21 kota/kabupaten (Koran Tempo, 17/2). Survei itu memakai responden kalangan pebisnis lokal, nasional, dan internasional.
Wakil Bupati Wonosobo Kholiq Arief mengaku terharu dengan hasil itu. Dia berharap survei itu benar-benar mencerminkan kebersihan daerah penghasil tembakau itu dari koruptor. Dia juga ingin hasil survei memicu warga di lereng Gunung Sindoro-Sumbing itu lebih meningkatkan kinerjanya.
Garbo Santoso, mantan Ketua Gabungan Pengusaha Nasional Seluruh Indonesia cabang Wonosobo, tidak kaget dengan hasil survei itu. Sebab, tak banyak pengusaha besar yang berkecimpung di daerahnya. Paling kelas menengah ke bawah yang nilai kontraknya tidak besar, ujarnya.
Kendati demikian, Garbo tetap menilai hasil survei berlebihan. Pasti tetap ada korupsi, katanya yakin.
Abdul Haris K.F.C, anggota DPRD Wonosobo dari Fraksi Partai Keadilan Bangsa, sependapat. Bahkan dia lebih memilih membaca hasil survei itu sebagai, Wonosobo kabupaten terkorup nomor 21.
Haris pun langsung memaparkan sejumlah proyek yang diduga banyak tikus-nya. Pertama, proyek pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wonosobo senilai Rp 30 miliar. Dia menuding proyek ini berjalan tanpa lelang.
Alasan pemerintah daerah bahwa penunjukan langsung dilakukan karena kondisi darurat, karena tak ada dana, tak bisa diterimanya. Menurut Haris, dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), pembangunan RSUD telah dimasukkan. Untuk kasus ini, Komisi Pemberantasan Korupsi telah menyidiknya, ucapnya.
Kedua, proyek pengadaan buku SD-SMA senilai Rp 22 miliar. Proyek ini juga tanpa lelang. Saya di Dewan tidak tahu bagaimana jalan ceritanya, karena tiba-tiba sudah ada kesepakatan pengadaan buku itu (dengan PT Balai Pustaka), ujar Haris.
Ketiga, proyek jalan lingkar utara Wonosobo senilai Rp 16,8 miliar. Proyek tanpa lelang ini telah dilakukan audit internal, dan terbukti ada penyimpangan dalam pelaksanaan proyek.
Keempat, proyek pembangunan kembali Pasar Wonosobo yang terbakar senilai Rp 49 miliar. Pemerintah langsung menunjuk investor, dengan alasan yang sama saat menunjuk perusahaan untuk membangun rumah sakit. Persetujuan renovasi pasar tanpa melalui rapat paripurna DPRD. Ketua DPRD, investor, dan Bupati langsung meneken perjanjian, ujar Haris.
Haris mengatakan, proyek-proyek kelas teri juga tak luput dari sergapan para tikus. Misalnya, tentang jual-beli trayek angkutan umum. Sesuai dengan peraturan, tarif trayek Rp 175 ribu per trayek per kendaraan. Tetapi tarif bisa diperjualbelikan hingga Rp 15 juta per trayek.
Agung Nugroho, pengurus Jaringan Kerja Pendamping Masyarakat Wonosobo, juga menilai, mulai tingkat kabupaten hingga desa, korupsi tetap terjadi. Dana perimbangan desa-kabupaten, misalnya, tidak ada kontrol yang jelas karena di lapangan banyak diselewengkan petugas di desa.
Karena itu, Slamet Hisyam, aktivis Transparansi Daerah Wonosobo, heran kenapa Wonosobo yang dipilih sebagai sampel survei. Kalau kemudian dikatakan Wonosobo sebagai kabupaten paling bersih, saya kira harus dilihat dulu sistem survei yang dilakukan.
Dia kemudian mencontohkan, sesuai dengan APBD, semestinya desa-desa memperoleh dana Rp 20 jutaan. Tetapi kenyataannya masing-masing desa hanya menerima tidak lebih dari Rp 3 juta. Itu artinya, masih banyak kebocoran di Wonosobo, ujarnya. syaiful amin
Sumber: Koran tempo, 18 Februari 2005