Widjanarko Beri Izin Ekspor Beras ke Afrika
Direktur Operasional Bulog Bambang Budi Prasetyo mengatakan ekspor beras ke Afrika yang dilakukan Bulog sudah mendapat izin dari Direktur Utama Widjanarko Puspoyo. Ini atas perintah atasan, kata Bambang kepada wartawan di gedung bundar Kejaksaan Agung, Jakarta, kemarin.
Kasus yang diduga merugikan negara puluhan miliar ini terjadi pada 2004. Widjanarko, selaku Direktur Utama Bulog, menyetujui penjualan beras 50 ribu metrik ton kepada perusahaan Ascot Commodity, yang berkedudukan di Jenewa, Swiss. Ascot selanjutnya mengirim beras itu ke Afrika. Padahal pada saat yang sama Bulog mengimpor beras dari Vietnam.
Dalam kasus ini kejaksaan baru menetapkan Widjanarko sebagai tersangka. Kemarin ada empat saksi yang diperiksa, di antaranya Bambang Budi Prasetyo dan bekas Sekretaris Umum Bulog Heru Priyono. Tapi sayang, Bambang tidak bersedia menjawab pertanyaan wartawan. Seusai diperiksa tim penyidik selama enam jam, dia langsung masuk ke mobil Kijang hitam B-9833-HO yang sudah menunggu. Sementara itu, pemeriksaan terhadap Heru masih berlangsung hingga malam.
Ketua tim penyidik Sugiyanto mengatakan sebenarnya kemarin kejaksaan juga memanggil Direktur Keuangan Bulog Saelan Ahmadi untuk dimintai keterangan. Namun, Saelan berhalangan. Ada surat pemberitahuan. Dia ada keperluan dinas, ujarnya.
Mereka yang diperiksa itu, kata Sugiyanto, saat ini masih sebagai saksi di pemeriksaan tahap awal. Tidak tertutup kemungkinan statusnya itu berubah menjadi tersangka. Namun, penyidik belum menemukan indikasi apa pun untuk meningkatkan status mereka. Penyidik akan terus mencari. Semua pihak bisa saja diperiksa, termasuk Bea-Cukai, ujarnya.
Berdasarkan penyelidikan, kerugian negara itu muncul akibat selisih harga jual. Beras yang diekspor ke Afrika itu dijual dengan harga yang lebih murah dibanding di dalam negeri. Apalagi ekspor itu dilakukan tanpa setahu komisaris Perum Bulog.
Menurut Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman, saat ini penyidik belum bisa memastikan jumlah kerugian negara itu. Masih dihitung oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, kata dia. Sandy Indra Pratama
Sumber: Koran Tempo, 19 Juni 2007