”Whistle Blower” Dapat Hak Istimewa

Pemerintah akan memberikan hak istimewa kepada pengungkap kasus (whistle blower) dan pelapor-pelaku (justice collaborator). Implementasi pemberian hak tersebut akan diatur dalam revisi UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Patrialis Akbar  mengatakan, pemberian perlindungan tersebut dimaksudkan agar masyarakat tak takut lagi melaporkan tindak pidana yang diketahuinya.

"Kami ingin meningkatkan lagi, yang dilindungi tak hanya whistle blower. Orang yang membongkar kasus meskipun terlibat, juga harus dilindungi," kata Patrialis usai rapat dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum di kantor Kemenkumham, Kamis (7/7).

Anggota Satgas, Achmad Mas Santosa memaparkan beberapa poin yang disetujui sebagai hak istimewa bagi whistle blower dan justice collaborator. Antara lain, prioritas pemberian remisi umum, asimilasi,  dan pembebasan bersyarat. Khusus pelapor-pelaku, pemerintah akan memberikan fasilitas berupa sel tahanan yang aman dan memudahkan akses kunjungan keluarga.
"Mudah-mudahan saat eksekusi (pemberian perlindungan), itu dilaksanakan semuanya," ujar Ota, sapaan Mas Ahmad Santosa.

Lebih Detail

Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai menambahkan, kesepakatan mengenai hak istimewa whistle blower dan justice collaborator akan dituangkan dalam perubahan UU Nomor 13 Tahun 2006. Naskah akademis revisi UU itu telah diserahkan LPSK ke Ditjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham untuk diharmonisasi. "Selama ini pengaturannya belum detail. Kami ingin membuat aturan yang lebih detail," ujar Haris.

Rapat antara Kemenkumham, LPSK, dan Satgas juga membahas konferensi internasional mengenai justice collaborator yang akan digelar pertengahan Juli ini. LPSK akan mengundang pakar-pakar hukum dari berbagai negara untuk ambil bagian dalam konferensi tersebut.

Sementara itu, pengacara Agus Condro, Firman Wijaya berpendapat, Mahkamah Agung (MA) perlu menerbitkan surat edaran terkait whistle brower atau pihak yang termasuk pelapor-pelaku.

Menurutnya, surat edaran MA diperlukan sebagai acuan bagi hakim yang menangani perkara yang juga menjerat whistle blower. Selain itu, perlu koordinasi antaraparat penegak hukum, Kementerian Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Polri, KPK, dan LPSK untuk membuat perlindungan tersebut.

''Koordinasi dilakukan sebagai amanat presiden tentang perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator seperti Agus Condro dan masyarakat lainnya untuk tidak lari dari tanggung jawab hukum, serta tetap membantu aparat hukum mengungkap tindak pidana korupsi dan kasus kriminal serius lainnya,'' ujar Firman. (J13-59)
Sumber: Suara Merdeka, 8 Juli 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan