Wewenang KPK dan Pemberantasan Korupsi

Dengan diundangkannya UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sejak itu korupsi ditetapkan sebagai tindak pidana.Sesuai namanya dan berpedoman pada UU No 31 Tahun 1999 juncto UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang menindak siapa pun yang dipersangkakan melakukan tipikor. Secara tegas UU No 30 Tahun 2002 menyatakan, KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tunduk kepada hukum acara yang berlaku.

Jadi, inti UU No 30 Tahun 2002 adalah membentuk lembaga negara baru yang dinamai KPK guna menjalankan ketentuan UU yang telah ada, baik UU materiil maupun formilnya. Dengan demikian, menindak pelaku (-pelaku) tipikor yang dilakukan sebelum KPK dibentuk tidak boleh diartikan bahwa UU itu berlaku surut. Dalam praktik PUPN dan kepolisian telah menjalankan wewenang dan atas hal itu tidak dianggap pelanggaran asas retroaktif.

ADA putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang harus dipuji menyangkut perkara Nomor 069/PUU-II/2004. Aneka pertimbangan putusan mencerminkan, hakim-hakim MK amat profesional. Tetapi, ada bagian yang menyiratkan, MK kehilangan jati dirinya.

MK telah over react, menuangkan pendapat yang tidak berkaitan dengan tujuan persidangan perkara. Saat MK sampai pada kesimpulan bahwa pemohon/Bram Manoppo tidak memiliki legal standing sebagai pemohon dalam perkara No 069/PUU-II/2004 seharusnya perkara ditutup dengan putusan permohonan pemohon tidak diterima.

Namun, MK terus menuangkan pendapatnya yang diarahkan pada sebuah kesimpulan Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 68 UU a quo tidak mengandung asas retroaktif meski KPK dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah diundangkannya UU KPK (vide Pasal 72) sampai terbentuknya KPK (vide Pasal 70) sebagaimana diuraikan di atas.

Pendapat MK itu didasarkan klausula Pasal 72, undang-undang ini berlaku pada tanggal diundangkan yang ditafsirkan bahwa tugas dan kewenangan KPK dimulai sejak tanggal itu juga (vide Pasal 70) dan karena itu kewenangannya terbatas pada kasus-kasus yang timbul setelah pada tanggal itu juga.

Jika demikian penafsirannya, timbul pertanyaan. Pertama, apakah kewenangan MK juga terbatas pada pengujian UU yang keluar setelah UU Mahkamah Konstitusi diundangkan, yaitu 13 Agustus 2003?

Kedua, apakah UU Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diundangkan 23 November 2000 hanya berwenang mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM yang timbul setelah diundangkan 23 November 2000?

Kenyataannya, MK berwenang menguji UU, baik yang pengundangannya sebelum maupun setelah 13 Agustus 2003. Buktinya, perkara No 069/PUU-II/2004 itu. Pengadilan Hak Asasi Manusia berwenang mengadili pelanggaran HAM, baik yang terjadi sebelum maupun setelah 23 November 2000. Hal itu membuktikan penafsiran MK, KPK tidak berwenang menindak pelaku tipikor yang tempus delicti-nya sebelum UU KPK diundangkan, terbukti tidak tepat dan tidak konsisten.

DALAM konsiderans UU KPK dinyatakan, pemberantasan tipikor amat berpengaruh dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasar Pancasila dan UUD 1945. Untuk itu KPK wajib menjalankan tugas dan kewenangannya dalam menindak koruptor, dan lebih utama menciptakan kondisi dengan mana orang malu melakukan korupsi.

Penulis berpendapat nullum delictum, nulla poenasine praevia lege poenali tidak berkaitan dengan tugas dan kewenangan KPK. Aneka konvensi internasional tentang asas retroaktif atau nonretroaktif sepengetahuan penulis selalu berkait dengan ketentuan pidana, bukan dengan ketentuan administrasi negara. Hal itu tidak menjadi masalah bagi Indonesia karena Pasal 1 Ayat (1) KUHP telah mengaturnya.

Antara MK dan KPK mempunyai penafsiran berbeda tentang asas retroaktif atau nonretroaktif menyangkut tugas dan kewenangan KPK. Perbedaan itu terbatas dalam bentuk pendapat. Dalam dunia hukum ada istilah twee juristen, drie meningen sehingga perbedaan itu adalah persoalan biasa dan tidak perlu dipertengkarkan.

UU itu merujuk hukum acara pidana sebagai rambu untuk menindak pelaku (-pelaku) tindak pidana korupsi (tipikor); dan memberi wewenang kejaksaan menyelidiki, menyidik, dan menuntut pelaku.

Meski sudah ada perangkat hukum (UU Pemberantasan Tipikor dan Hukum Acara Pidana) dan perangkat penegak hukum (jaksa/hakim) dengan segala wewenangnya, sejak 1971 tipikor bukannya menyusut justru kian meluas.

MENJELANG tahun 1960 belum dikenal istilah korupsi, tetapi telah terjadi secara luas penyalahgunaan uang negara oleh orang-orang nakal. Penyalahgunaan uang negara itu dirasakan amat membahayakan keuangan dan perekonomian negara. Untuk mengatasinya, negara membentuk lembaga baru, PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara) sebagaimana dituangkan dalam UU No 49 Tahun 1960. UU itu memberi wewenang kepada PUPN, serupa dengan wewenang pengadilan, yaitu secara pro iustitia melakukan penahanan badan (gijzeling), penyitaan, dan melaksanakan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. PUPN dalam menjalankan tugas dan wewenangnya berpedoman pada hukum yang telah ada dan menindak siapa pun yang dianggap telah melanggar hukum yang masuk kewenangannya, baik yang terjadi sebelum maupun sesudah tahun 1960.

Seiring dengan bukti nyata bahwa banyak kasus tipikor tidak tertangani, negara memperluas wewenang kepolisian untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tipikor. Artinya, kewenangan penyelidikan dan penyidikan tipikor yang selama ini hanya pada kejaksaan telah didistribusikan kepada kepolisian sebagaimana ditetapkan dalam UU No 28 Tahun 1997.

Pendistribusian kewenangan itu diarahkan untuk menjalankan UU No 3 Tahun 1971 dan hukum acara yang telah ada. Untuk itu kewenangan kepolisian yang baru dapat diterapkan bagi siapa pun yang dapat dipersangkakan telah melanggar UU Tipikor, baik yang terjadi sebelum kewenangan diberikan maupun setelah kewenangan diberikan sepanjang belum kedaluwarsa.

Ada bukti yang tidak bisa dibantah, dengan kecerdasan dan kekuatan yang dimiliki, koruptor mampu memosisikan dirinya sebagai pribadi yang tidak bisa disentuh oleh hukum. Meluasnya tipikor nyata-nyata mengakibatkan negara terpuruk. Menghadapi persoalan ini, negara memandang perlu membentuk lembaga khusus yang independen untuk menjalankan tugas dan wewenang yang serupa dengan tugas dan wewenang kejaksaan. Untuk itu dibentuk dan diundangkan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.(Taufiequrachman Ruki Ketua KPK)

Tulisan ini diambil dari Kompas, 10 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan