Waspadai Upaya Penjegalan RUU Pencucian Uang

Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) tidak begitu menjadi perhatian publik selama ini. Dibanding dengan Korupsi, TPPU atau Money Laundry tersebut tentu saja kalah pamor. Di titik inilah sebenarnya kita sangat kecolongan, karena tidak mungkin pemberantasan korupsi atau kejahatan besar lainnya bisa maksimal tanpa menseriusi upaya pemberantasan praktek pencucian uang. Kenapa?

Karena pencucian uang menggunakan pendekatan follow the money, yakni mengikuti aliran uang hasil kejahatan dan yang digunakan untuk kejahatan. Penelusuran transaksi dan aliran dana ini dinilai sebagai cara paling mudah untuk menemukan pelaku dan tempat hasil kejahatan disembunyikan. Dari aspek kriminologi pun, pemikiran ini berangkat dari keyakinan bahwa hasil kejahatan merupakan “darah” yang menghidupi kejahatan itu sendiri (life-blood of the crime). Dengan demikian, jika “darah” kejahatan tersebut bisa dideteksi dan dirampas oleh negara, kesempatan untuk menurunkan tingkat kejahatan akan semakin tinggi. Khusus untuk pemberantasan korupsi, hal ini sama artinya dengan memperkuat upaya pemberantasan korupsi, penelusuran dan pengembalian aset hasil korupsi, dan penguatan lembaga yang menangani korupsi, seperti KPK.

Berdasarkan data PPATK, sampai April 2010, ternyata Korupsi memang menjadi tindak pidana asal (predicate crime) yang paling dominan. Dari 2.442 transaksi keuangan mencurigakan yang ditemukan oleh PPATK, sekitar 1.030 diantaranya (42,18%) berasal dari Korupsi. Akan tetapi, kasus yang diproses dan diputus menggunakan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 dan UU 25 tahun 2003 tentang Pencucian Uang sangat minim. Seperti dilaporkan PPATK, hanya 26 berkas putusan yang menggunakan UU Pencucian Uang tersebut sebagai dasar penghukuman. Kemana ribuan transaksi yang lain? Apakah itu berarti PPATK tidak bekerja maksimal? Atau, sebaliknya, institusi penegak hukum tidak mampu menangani kejahatan yang tergolong sulit ini?

Membaca UU Pencucian Uang yang telah ada saat ini, ternyata Kepolisian menjadi institusi pemegang monopoli penanganan investigasi (penyidikan) kasus pencucian uang. Dengan demikian, institusi Polri patut bertanggungjawab dengan kegagalan pengusutan kejahatan pencucian uang tersebut. Betapa tidak, menurut data PPATK ternyata 92% Laporan Hasil Analisis (LHA) diserahkan ke Kepolisian dan hanya 8% LHA yang diserahkan ke Kejaksaan. Apa yang bisa dibaca dari data-data tersebut? Ke depan, tentu saja akan lebih baik jika tidak hanya Kepolisian yang berwenang menangani kejahatan kelas canggih ini. Hentikan monopoli kewenangan.

Monopoli Kewenangan
Pemaparan singkat tentang pencucian uang diatas sesungguhnya masih bersifat normatif. Jika lemahnya tindak lanjut penanganan kasus pencucian uang hanya disebabkan oleh rendah atau belum maksimalnya SDM institusi penegak hukum, hal ini tentu masih bisa ditolerir dan diperbaiki ke depan. Akan tetapi, kita patut sangat khawatir dengan kemungkinan praktek mafia hukum yang menggunakan laporan dan hasil analisis PPATK tersebut. Karena data PPATK yang sangat sensitif itu, punya potensi besar disalahgunakan. Bukan tidak mungkin, temuan transaksi dan laporan hasil analisis menjadi semacam “ATM” kejahatan baru.

Namun, tentu saja saat ini kita tidak bisa dengan mudah mengatakan, bahwa data PPATK telah digunakan sebagai “ATM” dan praktek mafia hukum di institusi penegak hukum. Yang pasti, potensi penyimpangan tersebut harus diminimalisir dengan berbagai cara. Di titik inilah, revisi UU Pencucian Uang sangat dibutuhkan. Salah satu alasan paling mendasar revisi tersebut, adalah untuk mengefektifkan penanganan pencucian uang dan menghindari potensi penyalahgunaan data transaksi keuangan. Karena itulah, kewenangan menangani kejahatan pencucian uang tidak boleh dimonopoli oleh institusi tertentu.

Poin tersebut menjadi salah satu penekanan di RUU Pencucian Uang yang telah dibaca dan didiskusikan di Indonesia Corruption Watch. Selain itu, terdapat 13 poin lainnya, yang patut dicermati. Total 14 poin tersebut diperkirakan akan menghantui, mengganggu atau bahkan menjadi ancaman bagi para koruptor, mafia hukum, mafia bisnis, dan jejaringnya yang selama ini menikmati rapuhnya norma hukum pencucian uang. Oleh karena itulah, ICW menilai RUU Pencucian Uang ini penting didorong, dikawal dan diperjuangkan. Meskipun terdapat beberapa kelemahan yang harus diperbaiki.

Pemberian kewengan PENYELIDIKAN pada PPATK merupakan satu terobosan penting RUU tersebut. Hal ini bisa membantu institusi kepolisian dan lembaga lain untuk meneruskan pengusutan pencucian uang ke tahap penyidikan dan penuntutan. Terutama, karena karakter kejahatan ini sangat bersifat spesifik, butuh keahlian, dan rentan penyimpangan. Setidaknya, jika PPATK berwenang menyelidik, selain membantu Polri, ini akan menjadi semacam mekanisme pengawasan terhadap Polri dan institusi terkait lainnya. Atau, semacam strategi multi-investigator dan investgasi silang antara lembaga penegak hukum. Jadi, satu lembaga tidak bisa main-main atau dengan mudah menyalahgunakan kewenangan menangani pencucian uang tersebut.

Penguatan KPK
Bagian lain di RUU yang sangat menarik adalah, adanya penguatan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Menurut catatan ICW, setidaknya ada 4 pasal yang bisa memperkokoh kerja KPK. Terutama untuk mendeteksi aliran dana melalui sarana perbankan, menyelamatkan keuangan negara, dan bahkan menerapkan mekanisme pembuktian terbalik (lihat tabel 2 lampiran).

Kelemahan selama ini, dimana seolah-olah penanganan kejahatan pencucian uang terpisah dari tindak pidana asalnya bisa diperbaiki. Secara sederhana kita bisa katakan, jika RUU ini disahkan, maka pencucian uang yang berasal atau terkait dengan Korupsi, bisa ditangani oleh KPK. Maka, fenomena rekening mencurigakan yang marak terjadi (mencapai angka 2.442 transaksi) bisa dtelusuri lebih jauh, termasuk rekening mencurigakan milik para perwira Polri. Jadi, jika saja poin RUU ini disahkan, maka rekening mencurigakan Polri akan lebih mudah diusut dan dicegah. Karena kewenangan pengusutan tidak hanya ada ditangan Polri, tetapi juga KPK dan Kejaksaan (jika terkait korupsi), Direktorat Jenderal Pajak (jika terkait pajak), dan PPATK di tingkat penyelidikan.

Akan tetapi, beberapa poin penting diatas ternyata mendapat perlawanan keras dari beberapa anggota DPR-RI. Kenapa? Apakah karena khawatir RUU ini akan menjerat balik para politisi atau pihak penyumbang dana kampanye yang bermain di ranah “mafia bisnis”? Seharusnya tidak. Jika masih ada kekurangan di RUU Pencucian Uang tersebut, kita harus diskusikan dan lengkapi.

Oleh karena itu, kami mendesak:

  1. DPR-RI, khususnya Panitia Kerja pembahasan RUU Pencucian Uang yang sedang bekerja: agar mewaspadai penyusupan kepentingan koruptor dan mafia bisnis yang ingin menjegal penguatan upaya pemberantasan korupsi dan pencucian uang;
  2. DPR-RI, melibatkan masyarakat luas dan akademisi dalam pembahasan RUU tersebut;
  3. Institusi terkait seperti KPK, Kepolisian, Kejaksaan, PPATK untuk mendukung sepenuhnya penguatan upaya pemberantasan kejahatan pencucian uang; dan,
  4. Mengajak masyarakat luas, agar mengawal secara ketat pembahasan RUU Pencucian Uang yang sangat mungkin akan mendapat perlawanan dari kelompok koruptor dan para mafia.

Jakarta, 16 Juli 2010
Indonesia Corruption Watch
unduh di sini untuk baca lebih detail release ini...
RUU Tindak Pidana Pencucian Uang

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan