Waspadai, Retorika Antikorupsi Capres! [23/06/04]

Kekuasaan memang menyilaukan. Untuk merebut kursi penguasa nomor satu di negeri ini, para calon presiden dan calon wakil presiden pun berlomba merebut hati rakyat Indonesia-yang hanya diingat setiap kali memasuki masa pemilu-dengan variasi cara. Mulai dari kampanye di terminal, pasar, pusat perdagangan, hingga para capres ini rela hadir di ajang anak muda, seperti tampil menyanyi di Akademi Fantasi Indonesia. Bak penyanyi profesional, mereka pun mendendangkan lagu sambil menebar senyum di sana sini.

PARA capres memang sedang berlomba memoles diri. Mereka rela melakukan hal-hal baru, di luar kelaziman kebiasaan mereka sehari-hari. Tujuannya, kita semua pasti sudah tahu, seolah lebih dekat dengan rakyat. Isu-isu publik pun mereka kemas untuk meyakinkan bahwa merekalah calon pemimpin yang peka perasaan publik. Di dalam setiap kampanye, berbagai janji pun diumbar.

Salah satu janji yang paling sering diumbar para calon presiden adalah kebijakan antikorupsi. Isu antikorupsi bagi para capres dilihat sebagai salah satu isu yang seksi untuk menambah keyakinan pemilih. Bagi sebagian orang yang sudah maklum kalau itu sekadar janji pemilu saja, memang tidak merasa perlu menguji apakah janji itu sungguh-sungguh atau sekadar retorika.

Hasil survei International Foundation for Election System pada 1-8 Mei 2004 menyebutkan, penanggulangan korupsi merupakan isu kebijakan yang paling penting, 30 persen, untuk dijual dalam kampanye pemilihan presiden. Isu ini jauh melebihi harapan dalam penciptaan lapangan kerja, 26 persen.

Lihat saja platform resmi yang mereka sampaikan ke Komisi Pemilihan Umum. Wiranto dan Salahuddin Wahid dalam visi misinya menyebutkan bahwa korupsi dan manipulasi harus diberantas, salah satunya dengan tindakan pencegahan berupa sistem pengawasan dan penegakan hukum. Platform Wiranto-Salahuddin pun menyebut penguatan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan mengangkat tokoh yang dipercaya untuk jabatan publik, terutama jabatan Kepala Polri, Jaksa Agung, dan Menteri Kehakiman.

Platform resmi Amien Rais-Siswono Yudo Husodo menyebutkan akan mengangkat petinggi hukum yang bersih, berani, serta memiliki kemampuan dan komitmen yang tinggi untuk melaksanakan reformasi hukum yang sesuai dengan cita-cita konstitusi. Dalam platform resmi pasangan ini juga terdapat rekomendasi, yakni menugaskan penegak hukum untuk segera menyelenggarakan pengadilan ad hoc atas kasus korupsi yang menjadi tanda ketidakadilan hukum di mata publik.

Platform resmi Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla juga secara tegas menyebutkan hal senada. Dalam platformnya, Yudhoyono-Jusuf mengatakan akan membentuk pemerintahan yang efektif dan tidak korup. Pasangan ini pun menegaskan akan memperkuat upaya-upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme dengan cara menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Secara tegas dalam platform pasangan ini disebutkan bahwa korupsi harus dimulai dari pejabat tertinggi, bukan dari bawah. Pola top down, menurut pasangan ini, efektif untuk memberantas korupsi daripada pola bottom up.

Bahkan, sikap tegas pemberantasan korupsi juga dilontarkan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dan Hamzah Haz-Agum Gumelar. Padahal, baik Megawati maupun Hamzah Haz, selaku penguasa nomor satu dan dua di negeri ini, dalam kepemimpinan mereka kali ini terlihat belum tegas memberantas korupsi.

Potret perilaku korupsi centang-perenang di semua daerah dan lini. Teriakan berbagai kalangan agar Jaksa Agung MA Rachman diganti-supaya kasus korupsi bisa segera diusut-tak juga didengar. Kasus-kasus korupsi besar nyaris tak tersentuh, mulai dari kasus korupsi yang dilakukan mantan Presiden Soeharto hingga bebasnya Akbar Tandjung dari kasus penyelewengan dana Bulog.

Namun, sekali lagi, karena korupsi isu yang seksi, kedua pasangan ini pun tak mau kelihatan kalah tegas dibandingkan dengan pasangan calon presiden yang lainnya.

Platform resmi Megawati-Hasyim Muzadi adalah meningkatkan efektivitas pengawasan dan pemberian sanksi yang tegas dan memberi jaminan kesejahteraan yang layak bagi aparatur negara.

Platform pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar menyebutkan sedikit visi mereka untuk memberantas korupsi. Mereka menyebutkan, korupsi menjadi subur karena pertumbuhan ekonomi cenderung mengabaikan pemerataan, demokratisasi, dan penegakan hukum. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan kesejahteraan.

OBRAL janji selama masa kampanye soal pemberantasan korupsi pun mencoba meneguhkan dan meyakinkan pemilih akan komitmen para capres ini. Sebutlah, Wiranto yang sesumbar akan meniru cara Pemerintah China menerapkan hukuman mati bagi para koruptor. Amien Rais secara tegas mengatakan siap mundur kalau ia gagal membasmi korupsi.

Megawati, Taufik Kiemas, maupun Hasyim Muzadi dalam berbagai kampanye mengatakan bahwa Megawati adalah sosok yang jujur dan tidak korupsi. Hasyim malah menegaskan bahwa dirinya siap membentengi Megawati. Beberapa hari belakangan ini, Megawati melontarkan sebuah pernyataan, meminta aparat kejaksaan mulai dari level terendah hingga tertinggi harus menghentikan perdagangan perkara. Kontan, imbauan Megawati ini mengundang kritik.

Ada yang mengatakan, Megawati harus berhenti beretorika. Tidak heran jika kritik itu dilontarkan mengingat selama ini Megawati diam saja menghadapi keluhan banyak kalangan akan banyaknya kasus korupsi yang tidak diusut oleh kejaksaan. Bahkan, permintaan banyak kalangan untuk mengganti Jaksa Agung pun tak membuat Megawati bergeming.

Susilo Bambang Yudhoyono dalam banyak kesempatan selalu mengatakan bahwa dari presiden ke presiden tidak pernah meletakkan pemberantasan korupsi sebagai agenda. Oleh karena itu, Yudhoyono mengatakan bahwa ia tidak akan banyak berjanji kecuali melakukan tindakan konkret untuk memberantas korupsi secara terus-menerus, sistematis, kultural, dan struktural.

Pemberantasan korupsi harus top down. Kalau orang pertama memberi contoh, di provinsi, yah gubernur. Di daerah, bupati atau wali kota harus memberi contoh. Di tingkat nasional, saya akan memberi contoh. Setiap uang negara Rp 1 harus diaudit, ujar Yudhoyono tegas, dalam sebuah wawancara di stasiun televisi.

Hamzah Haz pun tak kalah tegasnya. Orang nomor dua di negeri ini dengan tegas mengatakan bahwa jika ia terpilih, dalam batas waktu 100 hari ia akan menyeret koruptor ke pengadilan. Bahkan, Hamzah secara tegas akan memberi kepastian hukum bagi mantan Presiden Soeharto dengan cara mengadili Soeharto.

Kalau kondisi kesehatan Soeharto tidak memungkinkan untuk mengalami pengadilan, penetapan status kesehatan Soeharto harus ditetapkan melalui keputusan pengadilan, kata Hamzah Haz dalam sebuah kampanyenya.

Oleh karena itu, Hamzah tidak ragu-ragu menyiapkan kandidat Jaksa Agung yang tegas dan berani menyelesaikan kasus Soeharto. Tentu saja, pernyataan Hamzah Haz ini mengundang decak kagum sekaligus tanda tanya. Betapa tidak, semasa kepemimpinan Megawati, Hamzah nyaris tak berkomentar apa-apa soal kasus mantan orang nomor satu Indonesia ini.

Janji pemberantasan korupsi para calon presiden ini, baik melalui platform resmi mereka maupun peneguhan mereka dalam setiap kampanye, menjadi menarik untuk dicermati. Bukan hanya melihat latar belakang mereka, masa kepemimpinan mereka, tetapi juga mengamati konsistensi pernyataan mereka dari sebelum menjadi calon presiden hingga dinyatakan secara resmi sebagai calon presiden.

Amien Rais, misalnya, pernah melontarkan sebuah pernyataan yang langsung disambut kritik dari para ahli hukum. Mengutip berita Kompas edisi 22 Februari 2004, Amien Rais pernah melontarkan ide untuk memberikan amnesti massal bagi para koruptor. Bagi Amien, para koruptor cukup dengan mengembalikan uang yang mereka korupsi, lalu negara akan memberikan amnesti kepada mereka.

Janji Yudhoyono juga menarik dicermati. Pria bertubuh tinggi besar ini dengan tegas mengatakan bahwa ia akan membentuk pemerintahan yang bersih. Namun, soal penyelesaian kasus korupsi mantan Presiden Soeharto, Yudhoyono melontarkan dua pendekatan, yaitu pendekatan historis dan pendekatan kasus terkait.

Pendekatan historis didasarkan pengalaman ketidaksukaan rakyat terhadap mantan Presiden Soeharto setelah tahun 1965. Ada masanya rakyat tidak mengingat lagi hal-hal buruk Soekarno dan cuma mengungkit yang indah-indah tentang dia. Ketidaksukaan rakyat kepada Soeharto juga akan susut alami, ujarnya, dalam suatu wawancara 15 Maret lalu.

Wiranto memang secara sesumbar menyebutkan akan meniru cara Pemerintah China membasmi koruptor. Namun, apakah hal itu berani ia lakukan terhadap mantan Presiden Soeharto, mantan orang nomor satu yang pernah dilayaninya selama empat tahun? Hanya Wiranto yang bisa menjawabnya.

INKONSISTENSI sikap para calon presiden soal pemberantasan korupsi juga terlihat dari tidak transparannya mereka dalam hal laporan kekayaan yang mereka miliki maupun dana kampanye mereka. Dari sepuluh calon presiden dan calon wakil presiden yang telah melaporkan kekayaannya ke Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, ternyata baru lima orang yang memutakhirkan laporan kekayaan mereka.

Lima orang yang belum memutakhirkan laporan kekayaan mereka, data tahun 2001, adalah Megawati (Rp 59,809 miliar), Amien Rais (Rp 867,955 juta ditambah 13.700 dollar AS), Siswono Yudo Husodo (Rp 74,776 miliar ditambah 81.700 dollar AS), Hamzah Haz (Rp 17,337 miliar ditambah 199.000 dollar AS), dan Agum Gumelar (Rp 8,854 miliar ditambah 366.846 dollar AS).

Lima orang lain yang telah memutakhirkan laporan kekayaannya, tahun 2004, adalah Wiranto (Rp 46,215 miliar), Salahuddin Wahid (Rp 2,701 miliar), Hasyim Muzadi (Rp 7,234 miliar), Susilo Bambang Yudhoyono (Rp 4,652 miliar), dan Jusuf Kalla (Rp 121,199 miliar ditambah 14.928 dollar AS).

Meski di banyak kampanye maupun wawancara dengan wartawan para calon ini akan memutakhirkan laporan kekayaan mereka kepada KPK, juga akan menjelaskan kepada publik dari mana kekayaan itu mereka peroleh, hingga kini tidak ada satu pun calon presiden maupun wakil presiden yang datang ke KPK.

Inkonsistensi sikap antikorupsi juga terlihat dari selama masa kampanye ini. Hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) dilaporkan temuan adanya indikasi politik uang yang dilakukan pasangan calon presiden dan wakil presiden atau tim suksesnya. Hasil temuan yang dilansir kedua lembaga ini 17 Juni lalu juga dilengkapi dengan bukti audiovisual indikasi praktik politik uang.

Dari laporan ICW dan TII, pasangan Wiranto-Salahuddin melakukan delapan kasus indikasi politik uang. Yudhoyono-Jusuf sebanyak tiga kasus. Amien Rais-Siswono sebanyak dua kasus. Megawati-Hasyim Muzadi sebanyak lima kasus dan indikasi penggunaan fasilitas negara untuk kegiatan kampanye. Khusus untuk pasangan Yudhoyono-Jusuf dan Wiranto-Salahuddin, ICW dan TII mempunyai bukti audiovisual di mana terlihat dalam rekaman audiovisual seorang pengurus Partai Demokrat dan Partai Golkar sedang memberikan uang kepada peserta kampanye.

KOORDINATOR ICW Teten Masduki meragukan kesungguhan para calon presiden untuk memberantas korupsi. Kalau saya melihat hal itu cuma retorika mereka saja. Kalau dilihat platform partai maupun pernyataan para calon presiden, mereka lebih menekankan pada aspek hukum. Padahal, hal itulah yang paling sulit dihadapi dalam pemberantasan korupsi, kata Teten menjelaskan.

Teten mengatakan, kesulitan pemberantasan korupsi dari aspek hukum pasti akan terbentur pada mafia peradilan dan belum berfungsinya KPK. Benturan lainnya adalah kabinet yang akan disusun pastilah kabinet koalisi yang akan memunculkan banyak kompromi. Akibat dari kabinet kompromi tersebut, sangatlah sulit muncul dalam pikiran para penguasa jalan keluar yang rasional dan realistis soal pemberantasan korupsi.

Ia pun menampik rencana Yudhoyono yang akan membentuk kabinet koalisi terbatas. Menurutnya, ide tersebut sangat sulit terwujud karena ia akan mengalami oposisi yang sangat besar dari Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang masih mendominasi parlemen. Menurut saya, ide itu tidak realistis. Koruptor datang dari kalangan mereka, jadi tidak realistis ide Yudhoyono itu, ujar Teten.

Sebenarnya ada cara lain pemberantasan korupsi, tambah Teten, tetapi hal ini jarang dilirik oleh para calon presiden. Cara yang bisa dilakukan untuk pemberantasan korupsi, selain hukuman yang tegas kepada para koruptor, juga perlu dilakukan reformasi birokrasi, kontrol anggaran, dan perampingan birokrasi. Perbaikan sistematik itu juga diperlukan.

Power tends corrupt (kekuasaan itu cenderung korup) kerap ditulis oleh ahli-ahli ilmu politik setiap kali mereka mengkaji soal kekuasaan. Peringatan para ahli ilmu politik itu setidaknya bisa menjadi pertanda bagi para pemilih.

Berhati-hatilah memilih. Salah pilih, negara ini bisa jatuh ke tangan koruptor kelas kakap. Jadi, pilah dulu, baru... pilih! (VINCENTIA HANNI S)

Sumber: Kompas, 23 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan