Waspadai Politik Uang dalam Pilpres 2014

Pemilu Presiden 2014 menyimpan sejumlah potensi pelanggaran, walau jumlahnya diperkirakan tak akan sebesar pemilu legislatif. Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu diminta tetap menindak tegas segala pelanggaran.

Menyambut Pemilihan Presiden 2014, ICW bersama jaringan antikorupsi tetap konsisten memantau pemilu. ICW dan jaringan berfokus pada 14 provinsi, yaitu: Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Pemantauan dilakukan pada masa kampanye hingga penetapan hasil pemilu.

Menurut Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Abdullah Dahlan, pilpres juga tidak lantas “aman” dari ancaman pelanggaran pemilu, termasuk politik uang.

“Politik uang adalah lingkaran setan korupsi. Yang terpilih memakai politik uang, cenderung akan mengembalikan,” tutur Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz dalam konferensi pers di kantor ICW, Senin (7/7).

Abdullah menilai ada keyakinan bahwa pemilu presiden kali ini akan mempersempit peluang politik uang kepada pemilih, dan asumsi ini disebabkan dua faktor.  

Pertama, efektivitas politik uang kepada pemilih. Abdullah menyatakan bahwa memenangkan pemilu presiden butuh suara yang jauh lebih banyak dibanding pemilu legislatif.

“Suap ke pemilih secara merata tentu membutuhkan modal yang sangat besar. Di sisi lain, suap ke pemilih tidak memberi jaminan berdampak positif terhadap perolehan suara,” ujar Abdullah.

Kedua adalah faktor identitas politik. Pada pemilu legislatif lalu, masyarakat banyak yang tidak menampakkan atau bahkan tidak memiliki identitas politik. Tapi, dalam pemilu presiden, identitas politik ini lebih terlihat.

“Pilpres ini diikuti oleh dua kandidat presiden dengan latar belakang dan gaya yang berbeda. Ini membuat masyarakat lebih mudah membandingkan dan menentukan pilihannya. Bahkan, banyak pendukung fanatik bermunculan,” jelas Abdullah. Maka, dengan munculnya identitas politik, politik uang sulit masuk dan memengaruhi pilihan masyarakat.

Abdullah mengemukakan setidaknya terdapat enam potensi pelanggaran dalam Pemilihan Presiden 2014.

Pertama, penyalahgunaan sumber daya negara. Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden No. 41 Tahun 2008 menyatakan [elaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang menggunakan fasilitas pemerintah. Fasilitas yang dimaksud menyangkut mobilitas, perkantoran, dan rumah dinas.

“Tercatatnya banyak menteri dan pemerintah daerah sebagai tim sukses dan pendukung salah satu calon presiden dan calon wakil presiden membuka peluang penyalahgunaan tersebut. Tidak hanya fasilitas negara, sumber daya negara lain, seperti anggaran dan wewenang atau pengaruh rawan disalahgunakan,” ujar Abdullah.

Dalam kajian ICW, terdapat peningkatan dana bansos dan hibah pada tahun-tahun menjelang pemilu, baik dalam APBD ataupun anggaran kementerian. Tren peningkatan dana bansos dan hibah tersebut disinyalir merupakan salah satu bentuk modus penyalahgunaan sumber daya negara.

“Kekhawatiran ini karena belajar dari pengalaman. Sejumlah pelanggaran yang terkait politisasi birokrasi yang terjadi, ketika birokrasi memaksa struktur di bawahnya untuk bekerja. Ditambah terlibatnya sejumlah mnteri yang terlibat aktif sebagai anggota tim sukses,” kata Abdullah. Ia juga mengkhawatirkan keterlibatan sejumlah kepala daerah yang memberi dukungan dan deklarasi. Menurut dia, para pejabat negara ini ridak hanya sekadar memberi dukungan, tetapi dikhawatirkan bisa jadi menyalahgunakan mesin birokrasi dan kekuasaan yang dimiliki untuk melancarkan pemenangan.

Kedua, politik uang pada hari tenang dan hari pemungutan suara. Pemilu Presiden 2014 dengan dua pasang kandidat presiden sudah dipastikan hanya berlangsung satu putaran. Masing-masing kandidat memiliki satu kali kesempatan untuk memenangkan pemilu 2014. Keduanya dipastikan akan mengupayakan segenap tenaga untuk memastikan kemenangan.

Abdullah menyatakan, walau politik uang di Pemilihan Presiden 2014 tidak sebesar dalam pemilu legislatif, politik uang kepada pemilih tetap akan terjadi.

“Pemilih dengan identitas politik yang belum jelas dan kuat serta pemilih dengan tingkat pendidikan dan ekonomi menengah ke bawah adalah  pihak yang paling rawan ditawari dan menerima politik uang,” tutur Abdullah.

Ketiga, politik uang dan netralitas penyelenggara pemilu. Dalam konteks pemilihan presiden, dikhawatirkan politik uang lebih menyasar pada penyelenggara pemilu, ketimbang kepada pemilih. Sebab, politik uang pada penyelenggara dinilai lebih manjur ketimbang pada pemilih.

“Kalau kepada pemilih, uang yang dibutuhkan akan sangat besar, tanpa jaminan akan berdampak pada pilihan pemilih. Sedangkan kalau menyasar penyelenggara pemilu, dampak pada perolehan suara lebih jelas. Umumnya, ada dua alasan politik uang diberikan kepada penyelenggara. Yaitu untuk mencurangi dan tidak dicurangi,” jelas Abdullah.

Berdasarkan kajian ICW terhadap pelaksanaan sejumlah pemilihan kepala daerah dan pemilu legislatif, penyelenggara pemilu yang rawan ditawari dan menerima politik uang terdapat pada tingkat bawah. Mereka punya lebih banyak ruang untuk mengubah perolehan suara. Mereka termasuk Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) di Tempat Pemungutan Suara (TPS), Panitian Pemungutan Suara (PPS) di kelurahan, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dan panitia pengawas pemilu.

Abdullah menilai politik uang tentu akan berdampak pada netralitas penyelenggara. Padahal, netralitas adalah hal penting dalam mewujudkan pelaksanaan pemilu yang adil dan berintegritas.

Keempat, penyalahgunaan surat suara tak terpakai. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 19 tahun 2014 mengatur bahwa surat suara yang tidak terpakai, rusak, atau keliru coblos, harus diberi tanda silang pada bagian yang memuat nama dan foto pasangan calon. Namun, tanpa integritas KPPS dan pengawasan yang ketat, aturan ini rawan dilanggar dan surat suara tak terpakai disalahgunakan.

Berkaca pada Pemilu Legislatif 2014, ada beberapa dugaan penyalahgunaan surat suara tak terpakai. Beberapa modusnya adalah surat suara tersebut digunakan (dicoblos) dan diberikan kepada calon tertentu ataupun secara merata. Penyalahgunaan ini masih potensial terjadi dalam pemilu presiden.

Kelima, kecurangan dalam penghitungan, pergeseran, dan rekapitulasi suara. Abdullah menyatakan tahapan yang paling rawan dicurangi adalah tahap rekapitulasi suara.

“Hasil hitung cepat yang biasa diumumkan pada pukul 15.00 pada hari pemungutan suara bisa menjadi patokan kedua kubu untuk meningkatkan upaya pemenangan,” tutur Abdullah. Selama ini, diketahui hasil pemilu tidak jauh berbeda dari hasil hitung cepat. Kandidat yang memperoleh suara lebih sedikit dikhawatirkan akan melakukan berbagai cara untuk mengupayakan kemenangan, termasuk upaya curang mengubah jumlah suara.

Oleh karena itu selain penghitungan suara di TPS, pergeseran dan rekapitulasi suara dari TPS ke kelurahan, dari kelurahan ke kecamatan, dan dari kecamatan ke KPUD kabupaten/kota adalah proses yang sangat penting untuk dikawal.

Keenam, manipulasi dana kampanye. Modal kampanye adalah hal penting dalam pemenangan pemilu. Kandidat dipastikan butuh modal yang besar untuk pemilu presiden. Ini membuka peluang kandidat menghimpun dana sebanyak-banyaknya, bahkan dari sumber yang tidak diperbolehkan undang-undang dan sumbangan yang melebihi batasan maksimal.

“Strategisnya, posisi presiden dan wakil presiden juga membuat banyak kepentingan, baik politik maupun bisnis, mendekat,” tambah Abdullah.

Sayangnya, peraturan yang mengikat dana kampanye hanya ketat secara administratif tapi minimalis dalam proses audit dan penegakan hukum. Ini membuka peluang laporan dana kampanye yang manipulatif. Sebab itu, ICW juga menjadikan dana kampanye sebagai elemen penting untuk terus diawasi.

Sejauh ini, terdapat dua temuan terkait politik uang dalam Pemilihan Presiden 2014 yang telah dilaporkan ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

“Modusnya adalah pembagian uang secara langsung kepada pedagang dan pengunjung pasar serta pembagian uang serta voucher pengobatan gratis kepada peserta kampanye. Pembagian uang tersebut disertai dengan pemberian stiker salah satu calon presiden,” ungkap Abdullah.

Pelanggaran pemilu diperkirakan akan banyak ditemukan pada hari tenang menjelang pemungutan suara hingga pasca pemungutan suara.

Masyarakat bisa berpartisipasi memantau Pemilihan Presiden 2014 dengan melaporkan dugaan pelanggaran pemilu secara online ke situs jaringan ICW, politikuang.net. Setiap laporan akan diperiksa dan jika memenuhi dugaan pelanggaran, akan diteruskan kepada Badan Pengawas Pemilu.

Melihat potensi pelanggaran diatas, ICW juga menghimbau pada kandidat presiden dan wakil presiden agar bersaing secara sehat tanpa mengandalkan politik uang.

“Kandidat presiden dan wakil presiden wajib menghimbau tim suksesnya untuk tidak melakukan politik uang serta mengajak masyarakat untuk tidak toleran terhadap politik uang,” tutur Abdullah.

Selain itu, Bawaslu, KPU, dan jajaran penyelenggara pemilu di bawahnya juga harus menjaga komitmen dan netralitas pemilu.

“Terutama Bawaslu harus memperketat fungsi pengawasan. Pengawas pemilu dan penegak hukum pemilu berkomitmen dan berani dalam menindaklanjuti dan memberi sanksi tegas pelaku pelanggaran sebagai upaya untuk penegakan hukum pemilu. Hal ini juga dalam rangka memastikan pengawasan dan peningkatan integritas pemilu,” tutur Abdullah.

Abdullah berharap, masyarakat, khususnya para pemilih, tidak menoleransi segala bentuk pelanggaran pemilu dan berpartisipasi aktif dalam pemantauan pemilu demi terselenggaranya pemilu yang berintegritas dan lahirnya pemimpin yang jujur.

ICW mencatat berbagai kalangan terutama akademisi dan peneliti menilai bahwa Pemilu Legislatif 2014 lalu adalah pemilu terburuk sepanjang sejarah pemilu di Indonesia,yang disebabkan banyaknya temuan praktek politik uang dan pelanggaran pemilu lainnya. Hasil pemantauan ICW bersama jaringan masyarakat antikorupsi di 15 provinsi pada pemilu legislatif lalu menemukan 313 dugaan kasus politik uang dan penyalahgunaan sumber daya negara. Angka tersebut naik dua kali lipat dari temuan pada Pemilu Legislatif 2009. 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan