Waspadai 6 Titik Rawan Potensi Pelanggaran Pemilu Presiden 2014

Pemilu legislatif 2014 adalah pemilu yang oleh banyak kalangan disebut sebagai pemilu terburuk sepanjang sejarah pemilu di Indonesia. Penilaian tersebut berangkat dari ditemukannya banyak praktek politik uang dan pelanggaran pemilu lainnya. Pemantauan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama jaringan anti korupsi di 15 provinsi menemukan 313 dugaan kasus politik uang dan penyalahgunaan sumber daya negara. Angka tersebut naik dua kali lipat dari temuan pemantauan ICW pada pemilu legislatif 2009. Lalu, bagaimana dengan pemilu presiden?

Untuk pemilu presiden, berdasarkan pemantauan ICW dan jaringan selama tahapan kampanye,  praktek politik uang tetap terjadi walau tidak secara terbuka dan massif seperti dalam pelaksanaan pemilu legislatif lalu.  Hal itu didasarkan pada analisa bahwa pendekatan geografis dan jumlah pemilih yang banyak membuat politik uang tidak terlalu efektif. Namun, politik uang masih potensial terjadi. Karena teori supply dan demand selalu berlaku dalam setiap pemilu.  

Selain itu, praktek politik uang dalam  pemilu presiden cendrung terjadi pergeseran pola, modus dan aktor jika dibandingakan pada pemilu legislatif lalu. Dalam pemilu presiden, aktor yang akan melakukan politik uang bukanlah kandiat secara langsung, namun dominan dilakukan oleh tim sukses yang tidak terdaftar sebagai tim resmi kandidat pasangan calon ((tim sukses bayangan). Hal ini dilakukan sebagai upaya menghindari dari jeratan hukum pemilu.

Faktor lainnya adalah political identity. Jika pada pemilu legislatif banyak masyarakat tidak menampakkan atau bahkan tidak memiliki political identity, dalam pemilu presiden political identity lebih terlihat. Hanya diikutinya pemilu presiden oleh dua kandidat presiden dengan track record dan “gaya” berbeda, membuat masyarakat lebih mudah membandingkan dan menentukan pilihannya. Bahkan, banyak pendukung fanatik bermunculan. Dengan adanya political identity, politik uang sulit masuk dan mempengaruhi pilihan masyarakat.

Berkaitan dengan semakin dekatnya hari pemungutan suara, ICW bersama jaringan anti korupsi tetap konsisten untuk melakukan pemantauan. Hal ini disebabkan, sejumlah pelanggaran dan kecurangan pemilu presiden masih potensial terjadi. Setidaknya ICW melihat ada enam  potensi pelanggaran dan keurangan pemilu tersebut, yaitu :

1.    Penyalahgunaan jabatan dan fasilitas pemerintah.
Pelaksana, peserta, dan petugas Kampanye dilarang menggunakan fasilitas pemerintah. Hal tersebut tertuang dalam UU No. 41 Tahun 2008 tentang pemilu presiden pasal 41 ayat 1 huruf h. Fasilitas yang dimaksud menyangkut mobilitas, perkantoran, dan rumah dinas.

Mengacu pada pelaksanaan pemilu legislatif yang lalu, mesin birokrasi dan pemerintahan kerap menjadi bagian dari upaya pemenangan, dengan modus melakukan penyalahgunaan jabatan dan fasilitas negara. Pada  pemilu presiden, kondisi ini tidak menutup kemungkinan tetap terjadi. Instrument birokrasi dan pemerintahan potensial digunakan sebagai bagian dari alat pemenangan. Hal ini didasari dengan adanya dukungan dan masuknya sejumlah menteri aktif dan kepala daerah sebagai bagian dari tim resmi pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedudukan sebagai kepala daerah dan menteri aktif dapat memberikan pengaruh kuat untuk menggerakan birokrasi dan kekuasaan yang dimiliki untuk kepentingan pemenangan.
Selain itu, potensi memanfaatkan kebijakan pemerintah juga potensial terjadi. Kajian ICW menunjukkan terdapat peningkatan dana bansos dan hibah pada tahun-tahun menjelang pemilu, baik dalam APBD ataupun anggaran kementerian. Trend peningkatan dana bansos dan hibah tersebut merupakan salah satu bentuk modus penyalahgunaan sumber daya negara.

2.    Politik uang pada hari tenang dan hari pemungutan suara kepada pemilih.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa Pemilu presiden 2014 dengan dua pasang kandidat presiden sudah dipastikan hanya berlangsung satu putaran. Masing-masing kandidat memiliki satu kali kesempatan untuk memenangkan pemilu 2014. Keduanya dipastikan akan all out dalam mengupayakan pemenangan.

Walau diyakini tidak semassif dalam pemilu legislatif, politik uang kepada pemilih akan terjadi. Pemilih dengan political identity yang belum jelas dan kuat serta pemilih dengan tingkat pendidikan dan ekonomi menengah ke bawah adalah  pihak yang paling rawan ditawari dan menerima politik uang.

3.    Politik uang kepada penyelenggara pemilu dan tidak netralnya  penyelenggara pemilu.
Dengan berkurangannya potensi politik uang kepada pemilih pada kenyatannya akan memicu potensi yang lebih besar antara kandidat capres dengan penyelenggara pemilu. Ini ibarat terjadinya “pergeseran pemain”. Pontensi yang besar terjadi dengan penyelenggara di tingkat yang paling bawah.

Menurut kajian ICW atas pengamatan pilkada dibeberapa daerah dan pemilu legislatif, penyelenggara pemilu yang rawan ditawari dan menerima politik uang ada pada tingkat bawah. Penyelenggara pemilu pada tingkat bawah lebih memiliki ruang dalam mengubah perolehan suara. Penyelenggara yang dimaksud adalah Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) di TPS, Panitian Pemungutan Suara (PPS) di kelurahan, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dan panitia pengawas pemilu.
Politik uang ini tentu akan berdampak pada netralitas penyelenggara. Padahal, netralitas adalah hal penting dalam mewujudkan pelaksanaan pemilu yang fair dan berintegritas.

4.    Penyalahgunaan surat suara tak terpakai.
Titik rawan yang potensial terjadi dalam pelaksanaan pemilu presiden adalah menyangkut manipulasi surat suara pasca pemilihan. Untuk mengantisipasi hal ini, KPU telah mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) No. 19 tahun 2014 yang mengatur bahwa surat suara yang tidak terpakai, rusak atau keliru coblos diberi tanda silang pada bagian yang memuat nama dan foto pasangan calon. Namun belajar dari pengalam pada pemilu legislatif  yang lalu,  ada beberapa dugaan penyalahgunaan surat suara tak terpakai. Beberapa modusnya adalah surat suara tersebut digunakan (dicoblos) dan diberikan kepada calon tertentu ataupun secara merata. Penyalahgunaan ini masih potensial terjadi dalam pemilu presiden.

5.    Kecurangan dalam penghitungan, pergeseran, dan rekapitulasi suara.
Tahapan pemilu yang rawan dicurangi ada pada tahap rekapitulasi suara. Hasil hitung cepat yang biasa diumumkan pada pukul 15.00 pada hari pemungutan suara bisa menjadi patokan kedua kubu untuk meningkatkan upaya pemenangan. Selama ini, diketahui hasil pemilu tidak jauh berbeda dari hasil hitung cepat. Kandidat yang memperoleh suara lebih sedikit dikhawatirkan akan melakukan berbagai cara untuk mengupayakan kemenangan, termasuk upaya curang mengubah jumlah suara.
Oleh karena itu selain penghitungan suara di TPS, pergeseran dan rekapitulasi suara dari TPS ke PPS di kelurahan, dan dari PPS kelurahan ke PPK di kecamatan, dan dari kecamatan ke KPUD Kabupaten/Kota adalah proses yang sangat penting untuk dikawal.

6.    Manipulasi Dana Kampanye
Modal kampanye adalah hal penting dalam pemenangan pemilu. Untuk pemilu presiden, kandidat dipastikan membutuhkan modal yang besar. Hal tersebut membuka peluang kandidat menghimpun dana sebanyak-banyaknya, bahkan dari sumber yang tidak diperbolehkan Undang-Undang dan sumbangan yang melebihi batasan maksimal. Strategisnya posisi presiden dan wakil presiden juga membuat banyak kepentingan, baik politik maupun bisnis, mendekat. Disatu sisi, regulasi yang mengikat dana kampanye hanya ketat secara administratif tapi minimalis dalam proses audit dan penegakan hukum. Hal ini membuka peluang dilaporkannya laporan dana kampanye yang manipulatif. Oleh karenanya, ICW juga menjadikan dana kampanye sebagai salah satu hal yang penting untuk dipantau.

Potensi adanya manipulasi dana kampanye sesungguhnya sudah mulai tercium sejak awal. Berdasarkan catatan laporan Tahap I (31 Mei- 3 Juni ) Dana Kampanye yang dilaporkan kepada KPU dapat dilihat sebagai berikut:

Pasangan Prabowo – Hatta

Pasangan Jokowi - JK

Rp. 10.000.000.000

Rp. 44.507.420.305

Dalam proses pemantauan pemilu presiden, ICW fokus pada enam potensi pelanggaran diatas. Pemantauan ICW kali ini dilakukan di 14 provinsi bersama 13 mitra, yaitu Aceh (bersama Masyarakat Transparansi Aceh – MaTA), Sumatera Barat (bersama LBH Padang), Sumatera Utara ( bersama Sahdar Medan), Riau (bersama Fitra Riau), Bengkulu (bersama Kabahil), Jakarta (ICW), Jawa Tengah (bersama KP2KKN), Jawa Barat (bersama Garut Governance Watch – GGW), Banten (bersama Mata Banten), Jawa Timur (bersama Malang Corruption Watch), Nusa Tenggara Barat (bersama Fitra NTB), Kalimantan Barat (bersama Lembaga Gemawan), Sulawesi Selatan (bersama YASMIB), dan Sulawesi Tenggara (bersama PUSPAHAM). Pemantauan dilakukan pada masa kampanye hingga penetapan hasil pemilu.

Berlangsungnya pemilu yang berintegritas perlu didorong oleh semua pihak. Pemantauan yang dilakukan ICW bersama jaringan anti korupsi di 14 provinsi adalah salah satu dari bentuk dorongan tersebut. Selain untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas, urgensi pemantauan ini adalah untuk mencegah lahirnya presiden dan wakil presiden yang berlaku curang dalam pemilu. Tidak hanya dengan pemantauan di lapangan, ICW juga mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemantauan dengan melaporkan pelanggaran pemilu diatas secara online ke www.politikuang.net.

Melihat potensi pelanggaran diatas, ICW juga menghimbau pada :

  1. Kandidat presiden dan wakil presiden menghimbau tim suksesnya untuk tidak melakukan politik uang serta mengajak masyarakat untuk tidak toleran terhadap politik uang.
  2. Bawaslu, KPU, dan jajaran penyelenggara pemilu dibawahnya menjaga komitmen dan netralitas pemilu.
  3. Masyarakat untuk menolak politik uang dan melaporkannya kepada pengawas pemilu.
  4. Bawaslu beserta jajaran pengawas dibawahnya untuk memperketat fungsi pengawasan dan memproses secara cepat setiap laporan pelanggaran pemilu yang disampaikan oleh publik.
  5. KPU harus meletakkan dana kampanye sebagai prioritas utama dalam membangun integritas pemilu. Jangan hanya meletakkan laporan dana kampanye sebagai administrasi pemilu belaka.
  6. Penegak hukum agar menindak tegas penyalahgunaan fasilitas negara, khususnya penyelahgunaan dana-dana yang bersumber dari pajak masyarakat seperti dana hibah dan bansos sebagai modal kampanye oleh para Menteri dan Kepala Daerah yang menjadi timses.

Jakarta, 7 Juli 2014
Indonesia Corruption Watch

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan