Waspada Bansos Jelang Pemilu
“Dana bansos rawan dipolitisasi untuk membiayai program-program populis jangka pendek untuk memenangkan pemilu,” kata peneliti ICW Abdullah Dahlan pada konferensi pers di kantor ICW, Jakarta, (12/11).
Apalagi, dana bansos paling mudah disalurkan. “Di beberapa daerah, hanya tergantung momentum,” sambung Abdullah lagi. Ia menambahkan, belajar dari beberapa kasus pilkada, korupsi yang terungkap akhir-akhir ini melibatkan politisi yang memakai APBN sebagai modal.
Abdullah menyatakan bansos makin rawan dipolitisasi mengingat banyak menteri yang sekaligus petinggi partai politik. “Bahkan, banyak menteri akan nyaleg atau ikut konvensi calon presiden.”
Menurut Abdullah, bansos lekat dengan program yang bersifat populis. Ini tidak lepas dari tujuan penggunaan bansos yang memang populis, yaitu: rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, pemberdayaan sosial, jaminan sosial, penanggulangan kemiskinan, dan penanggulangan bencana.
“Sifat belanja bansos yang populis ini banyak disalahgunakan dengan mengatasnamakan program pribadi atau kelompok, baik langsung ataupun tidak langsung,” ujar Abdullah.
Ia mencontohkan, dalam pemberian bansos ada atribut identik dengan partai tertentu sehingga masyarakat bias. “Cara lainnya, diberikan ke basis pendukung partai atau dibarengkan dengan kegiatan partai,” jelas Abdullah.
Setidaknya, ada dua tujuan politisasi bansos.
Pertama, untuk membangun popularitas dengan program-program populis yang disebarkan pada kelompok strategis yang punya basis massa besar. “Misalnya, Kementerian Pertanian dengan program peningkatan sarana pertanian. Pengadaan alat pertaniannya saja dananya Rp 3 triliun,” tambah Abdullah.
Kedua, untuk modal politik. “Kuat dugaan kita, kebijakan bansos dikonsolidasikan untuk modal pemenangan politik,” ujarnya lagi.
Almas Sjafrina, peneliti ICW, mengakui dana bansos makin banyak direalisasikan menjelang akhir tahun menjelang pemilu. Ini terlihat di beberapa kementerian dan pemerintah provinsi.
“Tren di beberapa daerah, bansos memang dijadikan bancakan,” ujar Abdullah. Ia menyebutkan beberapa contoh.
Pada tahun 2011, dana hibah dan bansos DKI Jakarta jumlahnya Rp 479 miliar. Jumlah ini melesat tinggi pada tahun pilkada 2013 menjadi Rp 1,3 trliun.
Provinsi Banten pun serupa. Dana hibah bansos tahun 2009 kurang lebih Rp 74 miliar. “Tapi, ketika masuk tahun pilkada 2011, naik menjadi Rp 400 miliar,” jelas Abdullah.
Pola yang sama juga terjadi di Jawa Tengah. Jumlah dana bansos di tahun 2013 saat pilkada, naik menjadi Rp 4,9 triliun. Sementara itu, di Jawa Barat, pada tahun pilkada, dana bansos membengkak hingga Rp 2,1 triliun.
“Di empat daerah itu, pemegang kuasa anggaran, yaitu gubernur incumbent-nya, semuanya maju lagi dalam pilkada,” ungkap Abdullah.
Sementara itu, di level kementerian, program-program populis juga mewarnai rincian bansos. Anggaran belanja bansos yang tersebar pada 15 kementerian di tahun 2013 mengalami peningkatan daripada tahun 2012 dan 2011.
“Peningkatan paling signifikan terdapat pada kementerian yang menterinya menjadi caleg pemilu 2014, yaitu Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Kehutanan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Pertanian dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal,” rinci Almas.
Wewenang menteri sebagai kepala kementerian sangat besar, yaitu sebagai pengguna anggaran. “Apalagi bansos, menteri berwenang untuk menetapkan pedoman umum pengelolaan dan pertanggungjawaban belanja bansos,” jelas Abdullah.
Sayangnya, pengaturan bansos masih minim. “Peraturan menteri keuangan hanya menyebutkan pertanggungjawaban belanja bansos hanya memuat: jumlah pagu bansos yang disalurkan, realisasi bansos yang telah disalurkan, dan sisa dana bansos yang disetor ke rekening kas umum negara, dengan lampiran bukti tanda terima dan berita acara serah terima penyaluran,” jelas Abdullah.
Kementerian juga berhak menentukan kelompok penerima bansos. “Bansos makin rentan dipolitisir karena peraturan menteri keuangan tentang bansos membikin ruang diskresi untuk menteri. Tidak disebutkan parameter batasan yang jelas,” kata Abdullah.
Peran pengawasan harus meningkat
ICW mendorong KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara dan pengawas pemilu untuk tegas ketika berhadapan dengan dana kampanye parpol. “Jika ditemukan ada dana pemerintah yang masuk ke kas parpol atau yang punya afiliasi dengan kekuatan politik tertentu, berikan sanksi yang tegas,” tutur Abdullah. “Kalau tidak diatur dan dikawal ketat oleh penyelenggara pemilu, bisa menciderai pelaksanaan politik.”
Dana publik juga jangan sampai dijadikan modal politik. Undang-undang Pemilu melarang peserta pemilu menyalahgunakan uang pemerintah sebagai dana pemenangan. “Tidak adil kalau dana publik disalahgunakan sekelompok orang untuk modal pemenangan pemilu,” keluh Abdullah prihatin. Maka, Kementerian Keuangan harus mengawasi belanja bansos 15 kementerian dengan lebih serius.
Untuk memastikan BUMN netral, KPU dan Bawaslu harus mulai memverifikasi tim-tim sukses partai politik lepas kepentigan dari pejabat struktur BUMN. “Harus ada kebijakan tegas birokrasi harus netral, untuk tidak terlibat dalam kepentingan politik manapun. Atau diinstruksi agar mengambil pilihan: tetap menjabat struktur BUMN atau kerja politik,” tegas Abdullah.
Menteri selaku pengguna anggaran belanja bansos dilaragmenggunakan belanja dana bansos untuk kepentingan pemilu. “Baik memanipulasi penerimaan atau menggunakannya dengan menimbulkan kebiasan, antara belanja bansos dan modal pencitraan diri atau partai politiknya,” tukas Abdullah.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga harus ‘pasang radar’ untuk melihat aliran dana pemerintah yang masuk pada rekening-rekening yang berhubungan atau punya afiliasi politik. BPK juga harus segera melakukan proses audit investigatif terhadap belanja bansos pada APBN.
Aspek keadilan tetap harus dijaga dalam kontestasi pemilu. Abdullah mengimbuhi, “Para peserta harus fair menggunakan sumber-sumber modal politik. Jangan sampai karena dia punya akses kepada kekuasaan, itu dijadikan modal.”
Abdullah mengakui bahwa integritas pemilu kita masih sangat rendah dan “mencederai semangat keadilan dalam kontes pemilu.”
“Ini yang seharusnya diprioritaskan dalam upaya meningkatkan integritas pemilu. Kalau tidak, kita hanya terjebak dalam demokrasi prosedural, tapi nilai-nilai demokrasi tidak dibangun. Itu makanya nilai integritas pemilu jadi rendah ketika ruang semacam ini masih terbuka.”
Untuk melihat rincian tren peningkatan dana bansos dan laporan lengkap terkait dana bansos jelang pemilu, unduh Kajian ICW tentang Dana Bansos Tahun 2011-2013.