Washington Ungkap Dugaan Korupsi Soeharto

Amerika Serikat membiarkan korupsi merajalela.

Washington ternyata tak menggunakan pengaruhnya untuk mempersoalkan perkara pelanggaran hak asasi manusia, demokrasi, dan korupsi oleh Soeharto di masa Orde Baru berkuasa.

Hal ini terungkap dalam puluhan ribu halaman dokumen rahasia Amerika Serikat tentang hubungan Washington dengan Soeharto selama 1966-1998. Dokumen itu kemarin dibuka berdasarkan Akta Kebebasan Informasi atas permintaan National Security Archive, lembaga penelitian nonpemerintah di Universitas George Washington di Washington.

Satu hal yang jelas dari dokumen itu adalah tak sekali pun presiden-presiden Amerika Serikat pernah menggunakan pengaruh maksimumnya untuk menekan rezim (Soeharto) dalam perkara hak asasi manusia dan demokratisasi, kata Brad Simpson, peneliti di lembaga itu, kepada AFP.

Dokumen itu, di antaranya, berisi transkrip pertemuan Soeharto dengan beberapa presiden, seperti Richard Nixon, Gerald Ford, dan Ronald Reagan, juga Menteri Luar Negeri Henry Kissinger.

Dokumen tersebut juga menggambarkan persepsi Amerika Serikat terhadap pemerintah Soeharto dari awal berkuasa, termasuk serangan ke Papua Barat pada 1969 dan Timor Timur pada 1975 serta aksi penembak misterius pada 1983-1984.

Dokumen itu juga mengungkap korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan Soeharto dan keluarganya. Itu benar tidak datanya? tanya Denny Kailimang, pengacara keluarga Soeharto.

Dalam telegram milik Departemen Luar Negeri Amerika Serikat bertanggal 14 Desember 1972, yang berisi usul untuk Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI), disebutkan bahwa korupsi di Indonesia sudah parah, melibatkan pejabat tinggi, dan mempengaruhi kehidupan sosial.

Telegram itu menyebut soal keterlibatan istri Soeharto, Siti Hartinah (Tien Soeharto), dan beberapa jenderal di sekitar Presiden dalam berbagai perusahaan dan upaya mereka memanipulasi kebijakan publik demi keuntungan pribadi. Dokumen itu mencontohkan keterlibatan Tien di Bogasari. Itu hal baru, kata Denny.

Adapun dokumen bertanggal 7 September 1973 memaparkan campur tangan Soeharto dalam konsesi penebangan hutan di Kalimantan. Kala itu perusahaan Amerika, International Paper Company (IPC), sedang berunding untuk mendapatkan konsesi tersebut.

Soeharto lalu mengambil alih dan memberikan konsesi itu kepada tiga perusahaan boneka, satu diketuai saudara tiri Soeharto, satu oleh putranya, dan satu lainnya oleh grup Bob Hasan. Padahal, menurut laporan itu, ketiganya cuma ingin mengejar keuntungan maksimum dalam jangka pendek.

Menurut Denny, yang juga pengacara Bob Hasan, kasus Bob sudah selesai ketika pengadilan memvonisnya 8 tahun penjara dalam kasus korupsi pemetaan hutan.

Dokumen bertanggal 5 Desember 1972 mengungkap kasus yang menimpa perusahaan kayu terbesar di dunia, Weyerhaeuser Company. Perusahaan Amerika itu mengadu ke Gedung Putih bahwa mereka mendapat beragam pungutan dari pejabat Indonesia untuk konsesi kayu di Kalimantan. Jumlahnya bahkan melampaui biaya operasional mereka di sana.

Padahal, menurut perusahaan itu, mereka sudah memberi perusahaan mitranya, yang milik TNI, 35 persen saham sebagai konsesi untuk menjamin kerja sama dari pemerintah.

Kepala Pusat Penerangan TNI Marsekal Muda Sagom Tambun mengatakan tak tertutup kemungkinan TNI terlibat dalam kasus tersebut, karena dwifungsi ABRI memungkinkan tentara berbisnis. Bisa benar, bisa tidak. Itu tidak benar selama pembuktiannya tidak ada, katanya.

Dokumen itu juga mengungkap korupsi beras Jenderal Achmad Tirtosudiro, Kepala Badan Urusan Logistik masa itu, dan bawahannya. Mereka dinyatakan telah memanipulasi penjualan beras, sehingga seorang pejabat mendapat keuntungan US$ 15.700 dari penjualan 300 metrik ton beras.

Direktur Utama Perum Bulog Mustafa Abubakar mengaku tak tahu soal kasus itu. Saya tidak tahu masalah itu dan sampai sekarang saya belum dapat informasi apa-apa, katanya.

Sumitro Djojohadikusumo, Menteri Perdagangan di era 1968-1973, juga dilaporkan korup. Kami punya bukti, misalkan, bahwa dia mencoba mendapat komisi US$ 10 per ton dari pendapatan 50 ribu metrik ton pupuk dari Jepang, demikian disebutkan dalam dokumen dari tahun 1972 itu.

J.B. Sumarlin, mantan menteri era Orde Baru dan kolega Sumitro, mengaku terkejut atas kasus ini. Setahu saya dia (Sumitro) itu profesional, katanya.

Fadli Zon, yang dikenal dekat dengan keluarga Sumitro, hingga berita ini diturunkan tak bisa dihubungi.

Sagom mengatakan pihak yang membuka kasus-kasus ini perlu membuktikannya secara konkret. Apa artinya baru dibuka sekarang? Jangan mengadu domba, ujarnya. IWANK | RINI KUSTIANI | DESY PAKPAHAN | GABRIEL WAHYU TITIYOGA | AGOENG WIJAYA

Sumber: Koran Tempo, 30 Januari 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan