Warga Teriakkan Kegagalan Penanganan Korupsi di NTT
Massa warga yang tergabung dalam Front Penggugat Proses Hukum di Nusa Tenggara Timur berunjuk rasa keliling ke beberapa instansi di Kupang, meneriakkan kegagalan pemberantasan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di wilayah itu. Mereka menilai kinerja aparat penegak hukum di NTT sangat buruk.
Front Penggugat Proses Hukum merupakan gabungan 12 elemen sosial masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka, di antaranya, Aliansi Warga Anti Korupsi (AWAK), Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR), Mahasiswa Nasional Indonesia, dan Forum Masyarakat Sipil (Formasi).
Aksi dimulai dari depan Kampus Universitas Katolik Widya Mandira Kupang sekitar pukul 09.30. Massa melakukan long march sejauh sekitar enam kilometer sambil membawa spanduk menyinggahi Markas Kepolisian Daerah (Polda) NTT, lalu Kejaksaan Tinggi, dan berakhir di halangan gedung DPRD NTT sekitar pukul 13.00.
Baik sejak di depan kampus atau di Markas Polda, Kejaksaan Tinggi, maupun di Gedung DPRD NTT, massa mempertanyakan lemahnya kinerja penegak hukum dalam penanganan kasus korupsi di NTT. Dari waktu ke waktu, korupsi bukannya berkurang, tetapi malah semakin subur.
Kasus-kasus itu, misalnya, korupsi dana proyek Sarana Kesehatan (Sarkes) NTT senilai Rp 14,9 miliar, pengadaan kapal ikan di Kabupaten Kupang Rp 828,4 juta, dana purnabakti di Timor Tengah Selatan Rp 1,0 miliar, dana kontingensi di Kota Kupang Rp 2,6 miliar, dan kasus rumpon Belu Rp 4,3 miliar.
Jumlah itu masih ditambah lagi dengan kasus lain di Kabupaten Kupang, Kota Kupang, Manggarai Barat, Manggarai, dan Flores Timur. Selain korupsi di lingkungan birokrat eksekutif (pemprov dan pemkab/pemkot di NTT), juga jajaran DPRD kabupaten/kota.
Menurut catatan PIAR dan AWAK, kasus-kasus KKN terungkap justru berkat audit lembaga pengawas internal pemerintah. Misalnya, Badan Pengawas, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri.
Beberapa aktivis bergantian berteriak di Markas Polda NTT, Kejaksaan Tinggi, dan DPRD NTT bahwa kinerja aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus itu sangat buruk. Massa membalas teriakan itu dengan membenarkan.
Buruknya kinerja aparat penegak hukum ini, antara lain, dibuktikan dengan lamban dan kaburnya penanganan kasus Sarkes NTT dan kapal ikan Kabupaten Kupang, ujar seorang aktivis melalui mikrofon.
Dalam kasus Sarkes NTT yang diselidiki Polda NTT, misalnya, Gubernur NTT Piet Alexander Tallo pernah ditetapkan sebagai tersangka selama tahun 2003 hingga pertengahan tahun 2004. Akan tetapi, pada akhir tahun 2004 hingga tahun 2005, Kepala Polda NTT sibuk mengklarifikasinya bahwa status Tallo hanya saksi. (CAL)
Sumber: Kompas, 1 April 2005