Warga Surabaya Uji Materi UU Perbendaharan Negara

Sebuah pasal dalam UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dinilai diskriminatif. Pasal 50 UU Perbendaharan Negara (PN) menyatakan, setiap aset negara tidak bisa disita pihak mana pun. Karena itu, seorang warga negara meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan pasal tersebut.

''Karena pasal tersebut, aset negara tidak bisa disita. Saya ke sini (MK) untuk meminta keadilan. Kalau tidak di sini, mau ke mana lagi,'' kata Tedjo Bawono, warga asal Surabaya, dalam sidang uji materi (judicial review) pasal 50 UU Perbendaharaan Negara di MK kemarin (15/10).

Kasus itu bermula ketika Tedjo bersengketa dengan Pemkot Surabaya terkait kepemilikan kolam renang Brantas. Kolam itu selama ini dikelola pemkot. Namun, Te­djo mengklaim itu adalah miliknya.

Saat beperkara, Tedjo memenangi perkara tersebut sampai tingkat kasasi. Kolam itu akhirnya menjadi milik Tedjo pada 2007. Namun, masih ada yang mengganjal Tedjo. Sebab, selama dikuasai pemerintah, kolam renang Brantas itu dikomersialkan kepada umum. Tedjo meminta ganti rugi dan meminta keuntungan kolam renang diberikan kepadanya.

Tedjo juga tidak bisa menyita kekayaan pemkot karena ada aturan dalam pasal 50 UU 1/2004 yang intinya menyatakan bahwa penyitaan tidak bisa dilakukan untuk aset milik negara.

Dalam sidang, pemerintah yang diwakili Dirjen Kekayaan Negara Hadiyanto melakukan bantahan. Dia mengungkapkan, pasal 50 UU 1/2004 adalah langkah atau sarana operasional dalam rangka menjamin terselenggaranya tugas, fungsi, dan kewaji­ban negara. ''Misalnya, aset se­perti gedung MK ini disita, kan mengganggu proses persidangan di MK,'' ujarnya.

Dia mengatakan, kasus yang menimpa Tedjo adalah kasus yang mandek dalam proses eksekusi. Menurut dia, masalah tersebut diselesaikan dengan meminta dukungan kepada DPRD Kota Surabaya dan tidak melalui MK.

Dalam persidangan itu, Tedjo juga mengajukan saksi ahli. Anehnya, Marbun, ahli yang diajukan, justru tidak sependapat de­ngan dia. ''Jika aset negara da­pat disita, pelayanan umum akan kacau,'' ujarnya. Dia juga meng­aku namanya dicomot pemohon tanpa permbica­raan awal.

Hakim Konstitusi Achmad So­diki mempertanyakan daya paksa kepada pemerintah jika pemerintah kalah dalam bersengketa. Jika war­ga negara kalah ber­sengketa, asetnya dapat di­pak­­sa disita. ''Jika me­mang aset negara disita, sudah sewajarnya negara tetap melaksanakan proses pelayanan kepada masyarakat,'' kata Sodiki. (bay/oki)

Sumber: Jawa Pos, 16 Oktober 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan