Wapres Minta Bank Bayar Utang
Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta perbankan nasional mengembalikan utang yang diberikan pemerintah Rp 600 triliun. Utang berupa bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tersebut hingga kini berdampak pada perekonomian nasional.
Anggaran kita sekarang ini sekitar Rp 700 triliun. Dalam APBN kita, setidaknya Rp 100 triliun dibayar untuk bunga dan cicilan utang dari upaya menyehatkan perbankan. Kita tidak tahu kapan risiko ini berakhir, ujar Wapres Jusuf Kalla dalam pembukaan seminar nasional Dampak Penerapan Basel II terhadap Konsolidasi Perbankan Nasional di Hotel Shangri-la, Jakarta, kemarin.
Kalla mengatakan, perbankan ibarat jantung bagi ekonomi bangsa. Bila jantung ekonomi itu tidak berfungsi tiba-tiba, perbankan membutuhkan infus yang biayanya Rp 600 triliun. Apalagi, tak sedikit dana penyehatan perbankan yang justru dilarikan ke luar negeri.
Karena itu, Kalla meminta perbankan aktif menjalankan peran intermediasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pendapatan pajak pemerintah meningkat sehingga secara tak langsung perbankan telah membayar utang kepada pemerintah.
Tanpa pajak, beban bunga Rp 100 triliun itu harus dibayar rakyat melalui pengurangan anggaran pembangunan dan kesejahteraan dalam APBN, tegas Kalla.
Wapres mengilustrasikan, anggaran pembangunan sebelum krisis lebih dari 50 persen dari total APBN. Akibat berkurang untuk membayar utang dan bunga, belanja modal dan barang pemerintah hanya Rp 140 triliun atau sekitar 20 persen per tahun.
Anggaran itu sulit bertambah karena kita harus membayar cicilan dan bunga yang tidak kita ketahui kapan lunas. Semua aspek kehidupan berubah disebabkan keputusan untuk menyehatkan perbankan, tuturnya.
Bila perbankan memilih cara mudah dengan melakukan investasi di Sertifikat Bank Indonesia (SBI), secara tidak langsung bank mendorong rakyat lebih sengsara.
Kalau dulu bank dikatakan agent of development, saat krisis menjadi agent dari poverty. Dari dulu diharapkan, kini (bankir) diburu polisi sampai sekarang, katanya. (noe)
Sumber: Jawa Pos, 6 Juli 2007