Wajah Penegakan Hukum Kasus KKN
Berbicara mengenai pengadilan pada waktu sekarang ini, dapat dicatat bahwa masyarakat tidak lagi menjadikan dan mempercayai pengadilan sebagai sarana utama untuk mencari keadilan dan kebenaran. Kebobrokan pengadilan sudah dapat dilihat secara kasat mata, mulai dari moralitas para aparat penegak hukum, korupsi yang terjadi di dalam pengadilan itu sendiri (judicial corruption) sampai dengan adanya putusan-putusan kontroversial yang dikeluarkan oleh pengadilan yang tidak sesuai dengan rasa adil yang berkembang dalam masyarakat, seperti pembebasan Joko S Chandra, Beddu Amang, dan Ricardo Gelael yang semuanya terlibat dalam perkara korupsi. Keberadaan pengadilan yang tidak independen, tidak imparsial, dan banyak mendapat intervensi dari pihak luar semakin memperburuk citra pengadilan di mata masyarakat.
Apabila kita melihat sejarah pengadilan yang ada, dapat diketahui bahwa ketidak-independenan pengadilan dimulai pada waktu DPR dan pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964. Dalam salah satu pasal dari Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pemerintah berhak untuk turut campur di dalam putusan pengadilan, khususnya dalam perkara politik. Keputusan politik inilah yang memulai adanya intervensi oleh pemerintah terhadap lembaga pengadilan.
Ketentuan ini kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, sehingga pemerintah tidak dapat lagi turut campur dalam putusan pengadilan apapun juga, termasuk perkara politik. Walaupun pemerintah tidak lagi turut campur dalam putusan pengadilan, namun di dalam undang-undang tersebut diterapkan sistem dua atap dalam pengadilan, yang akhirnya juga merupakan bentuk lain dari intervensi terhadap lembaga peradilan. Yang dimaksud dengan sistem dua atap ini adalah adanya dua lembaga yang berwenang untuk mengurusi badan peradilan yang ada. Mahkamah Agung (MA) berwenang untuk mengurusi bagian teknis operasional dari pengadilan, yang berkaitan dengan pengawasan kinerja, kredibilitas dan moral dari hakim-hakim yang ada. Sedangkan, Departemen Kehakiman (Pemerintah) mengurusi bagian administrasi dari aparat pengadilan, antara lain mengenai kenaikan gaji, kenaikan pangkat, sanksi administrasi, dan sebagainya.
Dengan diterapkannya sistem dua atap tersebut, maka aparat pengadilan menjadi bermuka dua. Di satu sisi, mereka harus melaksanakan profesi mereka dengan integritas yang tinggi dengan pengawasan dari Mahkamah Agung, namun di sisi lain mereka harus tunduk kepada Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehakiman yang berwenang dalam hal-hal yang berkaitan dengan administrasi.
Pada tahun 1999, Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 35 yang mengembalikan sistem pengadilan dari dua atap kembali menjadi satu atap. Walaupun sistem telah diubah, namun mentalitas yang telah terbentuk selama 30 tahun ini tidaklah mudah untuk dirubah. Badan eksekutif dan legislatif sulit untuk tidak lagi melakukan intervensi di dalam dunia pengadilan. Begitu juga dengan mentalitas hakim yang ada, yang telah terbiasa untuk tunduk dan ingin diperhatikan oleh pemerintah dan DPR.
Supremasi hukum yang diharapkan menjadi sulit terealisasi karena aparat penegak hukum tidak serius dalam menanggulangi dan memberantas korupsi. Selain daripada itu, aparat yang berwenang masih hidup dan bekerja dalam wilayah yang masih diselimuti the culture of corruption. Apalagi pengadilan telah dicemari oleh Judicial Corruption selama lebih dari tiga puluh tahun.
Menurut deklarasi International Bar Association (IBA) pada konferensi dua tahunan (17-22 September 2000) di Amsterdam, berdasarkan rekomendasi para pakar hukum Center For the Independence of Judges and Lawyers (CIJL) menyimpulkan bahwa judicial corruption terjadi karena tindakan-tindakan yang menyebabkan ketidakmandirian lembaga peradilan dan institusi hukum (polisi, jaksa penuntut umum, advokat/pengacara dan hakim). Khususnya, kalau hakim atau pengadilan mencari atau menerima berbagai macam keuntungan atau janji berdasarkan penyalahgunaan kekuasaan kehakiman atau perbuatan lainnya, seperti suap, pemalsuan bukti, penghilangan data atau berkas pengadilan, perubahan dengan sengaja berkas pengadilan, pemanfaatan kepentingan umum untuk kepentingan pribadi, sikap tunduk kepada campur tangan luar dalam memutus perkara karena adanya tekanan, ancaman, nepotisme, conflict of interest, favoritisme, kompromi dengan pembela (advokat), pertimbangan keliru dalam promosi dan pensiun, prasangka, memperlambat proses pengadilan, dan tunduk kepada kemauan pemerintah dan partai politik.
Dalam sistem hukum dan badan peradilan dapat terjadi judicial corruption karena selama 30 tahun, institusi hukum Indonesia seperti polisi, jaksa penuntut umum, advokat/pengacara, dan khususnya para hakim bekerja dalam situasi yang tidak kondusif untuk mengembangkan sikap yang dikenal sebagai judicial discretion, yaitu sikap imparsial dan independen dalam memutus suatu perkara. Judicial discretion dijabarkan sebagai enlightened by intelligence and learning, controlled by sound principles of law, of firm courange coned with the calmness of a cool mind, free from partiality, not swayed by sympathy nor warped by prejudice, not moved by any kind of influence save alone the overwhelming passion to do that which is just ... (dalam memutus perkara, seorang hakim harus didasarkan pada intelegensi dan kemauan belajar, dikontrol oleh prinsip-prinsip hukum, didukung keberanian dan pikiran yang dingin, bebas dari pengaruh luar dan tidak goyah karena simpati ataupun prasangka, pengaruh atau campur tangan dari luar, kecuali oleh keinginan besar untuk menegakkan keadilan). Sikap hakim seperti inilah yang belum dikembangkan di Indonesia.
Kegagalan dari Komisi-komisi Anti Korupsi yang pernah dibentuk juga masih membayangi pelaksanaan pemberantasan korupsi. KPTPK (Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) yang akan dibentuk harus belajar dari sejarah bagaimana komisi-komisi anti korupsi tahun 1967 yang dinamakan dengan Tim Pemberantas Anti Korupsi, tahun 1970 dengan nama Komisi Empat dan Komite Anti Korupsi, tahun 1977 dengan nama Opstib (Operasi Tertib), tahun 1982 dengan nama Tim Pemberantas Korupsi, tahun 2000 TGPTPK (Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) dan KPKPN (Komisi Pemberantasan Korupsi Pejabat Negara) gagal total karena selain tidak siap mental juga tidak dimulai dengan dukungan pemerintah dan masyarakat.
Selain faktor sejarah, buruknya citra pengadilan yang ada juga didukung karena tidak adanya political will yang kuat untuk merealisasikan supremasi hukum. Hal ini dapat dilihat dari belum dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi setelah hampir satu tahun Undang-undang No 30 Tahun 2002 diberlakukan. Di dalam proses penegakan hukum juga belum terdapat suatu sistim peradilan yang terpadu antara pihak kepolisian, jaksa, dan hakim (Integrated Criminal Justice System).
Untuk mengatasi permasalahan KKN yang telah meluas dan mengakar (widespread) selama tiga dekade ini tidaklah mudah, sehingga dibutuhkan adanya political will yang kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat. Apabila para politisi sudah bersepakat untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme, maka hal tersebut akan lebih mudah untuk menjadi suatu kenyataan.
Pada tanggal 27 Desember 2003 Pemerintah telah mengeluarkan suatu Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan adanya undang-undang tersebut, diharapkan dapat menanggulangi dan memberantas korupsi yang ada. Komisi anti korupsi yang akan dibentuk (KPTPK) harus benar-benar diisi oleh orang-orang yang memiliki integritas dan moral yang tinggi karena untuk membersihkan lantai yang kotor tidak mungkin memakai sapu yang kotor, tetapi harus dengan sapu yang bersih. Komisi ini harus berani dalam menjalankan tugas yang diberikan kepadanya oleh Undang-undang. Kesalahan dalam memilih orang akan berakibat sangat mengerikan karena adanya kewenangan yang begitu besar dalam komisi tersebut, antara lain mencekal, menangkap, menahan, menginterogasi, menerapkan pembuktian terbalik dan menyadap telepon. Kesalahan ini dapat menjadikan KPTPK sebagai suatu lembaga monster yang sewenang-wenang sehingga tujuan untuk memberantas korupsi akan menjadi sirna lagi sebagaimana komisi-komisi anti korupsi sebelumnya.
Adalah utopis kalau KPTPK diharapkan dapat langsung memberantas habis korupsi yang ada dengan cara memeriksa semua perkara korupsi. Untuk itu, penerapan shock therapy sangat penting dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi. Langkah shock therapy pertama yang dapat dilakukan adalah memberikan sanksi hukum yang seberat-beratnya kepada pelaku korupsi besar yang telah terbukti bersalah. Kemudian, langkah kedua yang dapat dilakukan adalah memberikan suatu sanksi sosial kepada para pelaku tindak pidana korupsi. Di samping hal tersebut, perlu didukung juga oleh keberadaan pers yang dapat membongkar kehidupan pribadi, jumlah harta yang terkumpul melalui kejahatan politik dan korupsi beserta foto-fotonya. Termasuk di dalamnya, segala bentuk ulasan pers yang akan dirasakan memojokkan atau diderita oleh para pelaku tindak pidana korupsi tersebut.
Oleh karena itu, sebagai shock therapy dalam rangka pemberantasan korupsi secara integral perlu kiranya diambil beberapa contoh kasus (test case) untuk menjadi pelajaran berharga di masyarakat. Dalam hal ini kasus pengusutan kekayaan mantan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya dapat menjadi contoh yang tepat, karena penegakan hukum sebaiknya dimulai dengan kasus-kasus korupsi yang besar. Dengan demikian, masyarakat akan mengikuti teladan dalam hal penegakan hukum dan para pelaku yang telah, sedang dan yang akan melakukan tindakan korupsi akan berpikir dua kali untuk melakukan atau mengulangi perbuatannya tersebut.
Pada saat yang sama KPTPK dapat menunjukkan kredibilitasnya dan merebut simpati dari masyarakat. Bola salju inilah yang diharapkan semakin bergulir akan menjadi semakin besar. Masyarakat akan menjadi semakin berani dan semakin tegar untuk membantu, memonitor, membicarakan, membenci dan menyatakan perang terhadap korupsi. Demikian juga halnya dengan aparat penegak hukum yang lain (polisi, jaksa, dan hakim). Mereka akan menjadi berani dalam bertindak untuk menegakkan keadilan dan hukum terutama mengenai kasus KKN. Untuk itu, KPTPK harus didukung sepenuhnya oleh pemerintah, semua lembaga penegak hukum, dan seluruh masyarakat.
Upaya pemberantasan korupsi tidak hanya menjadi tanggung jawab dari KPTPK semata-mata. Hal tersebut harus dilakukan secara integral atau komprehensif oleh suatu pemerintahan yang benar-benar reformis bersih, jujur, transparan dan demokratis (Good Governance). ((Frans Hendra Winarta, SH MH adalah seorang praktisi hukum di Jakarta,anggota Governing Board Komisi Hukum Nasional).
Tulisan ini diambil dari Suara karya, Sabtu, 20 September 2003