Wajah Kusam Partai Politik

Memasuki awal tahun 2006, kiprah partai politik dipandang secara pesimistis tidak akan membawa harapan perbaikan. Bahkan, dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, citra tiang demokrasi ini dinilai kian memburuk.

Buruknya citra partai politik (parpol) saat ini tak lepas dari beragam sikap dan langkah yang ditampilkannya di hadapan publik selama ini. Kinerja parpol dalam segala bidang kegiatan lumpuh. Sementara itu, perpecahan di dalam partai serta dugaan keterlibatan anggota- anggotanya di dalam perkara korupsi menjadikan publik cenderung menilai negatif partai politik. Citra parpol dinilai buruk oleh 52,7 persen responden jajak pendapat ini, lebih buruk dibandingkan 48,5 persen penilaian serupa yang disampaikan pada September 2005.

Wajah parpol Indonesia betul-betul menampilkan sosok organisasi yang semata ditujukan untuk meraih kekuasaan lewat pemilihan umum. Hasil jajak pendapat ini kian mempertegas gambaran: parpol memang tidak memiliki tujuan lain daripada kendaraan menggapai kekuasaan dengan menanggalkan fungsi lain yang sesungguhnya melekat pada lembaga politik.

Fungsi kaderisasi politik, sosialisasi politik, pendidikan politik, dan agregasi politik praktis tidak bisa dijalankan oleh parpol. Jajak pendapat Kompas yang merekam tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja parpol dalam merekrut dan mengendalikan anggota-anggotanya, memasarkan program-programnya, ataupun menangkap aspirasi masyarakat, mendapatkan kenyataan tingginya tingkat ketidakpuasan responden.

Demikian juga fungsi mereka mengontrol kinerja lembaga eksekutif, selalu mendapat respons kurang memuaskan dari sebagian besar responden. Alih-alih memberi contoh pendidikan politik yang baik, kader parpol yang duduk di DPR/DPRD malahan menunjukkan perilaku tidak disiplin. Bahkan, mempertontonkan hasrat kemewahan di tengah penderitaan bangsa.

Kedudukan parpol yang begitu strategis dalam mengantarkan seseorang menuju puncak kekuasaan membuat lembaga ini selalu menjadi tumpuan bagi para pemburu kekuasaan. Melalui parpollah para politisi di Indonesia bertarung untuk menggapai kekuasaan, terutama di lembaga eksekutif dan legislatif. Ironisnya, sebagai batu loncatan, partai identik dengan harga. Harga inilah yang harus dibayar ketika kekuasaan tergapai. Tidak heran apabila politisi yang duduk di lembaga, baik eksekutif maupun legislatif, tetap menjalin hubungan ekonomis dengan partainya.

Pola hubungan semacam ini dengan sendirinya melemahkan tingkat kekritisan dan ketegasan partai terhadap kader-kadernya yang duduk di lembaga DPR maupun jabatan pemerintahan. Bahkan, ketiga elemen inilah sesungguhnya wujud oligarki kekuasaan yang riil menguasai ranah kenegaraan. Membicarakan partai, tak bisa lepas dari keterpautannya dengan lembaga legislatif dan eksekutif. Baik-buruk partai juga akan tercermin dari pola hubungan yang terjadi antara ketiganya. Gejala ini tercermin persis dalam jajak pendapat ini.

Penilaian responden terhadap lembaga negara terkorup misalnya, menunjukkan bahwa partai politik (81,9 persen), DPR/DPRD (83,9 persen), dan pemerintahan daerah (82,7 persen), berada pada level sejajar di urutan teratas tidak bebas dari korupsi, dibandingkan dengan lembaga-lembaga lain seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Polri, TNI, dan lembaga kepresidenan.

Penilaian responden itu seakan memperkuat catatan Indonesia Corruption Watch. Menurut lembaga ini, selama tahun 2004 setidaknya terdapat 452 kasus korupsi yang terjadi di daerah. Dari semua kasus tersebut, ternyata DPRD menduduki posisi teratas dengan 125 kasus (27,65 persen), disusul oleh kepala daerah sebanyak 84 kasus (18,58 persen). Jika diasumsikan DPRD dan kepala daerah merupakan kader parpol, berarti sekitar 46,23 persen korupsi yang terjadi di daerah dilakukan oleh kepanjangan tangan partai.

Banyaknya perkara korupsi yang melibatkan kader partai jelas menunjukkan rendahnya komitmen partai untuk memberantas korupsi.

Citra parpol sebagai lembaga terkorup pun langsung terbentuk dalam benak publik. Pencitraan tersebut juga terekam dalam survei Global Corruption Barometer 2005 yang dilakukan Gallup Internasional. Menurut survei tersebut, khusus untuk Indonesia, parpol merupakan lembaga terkorup dengan nilai 4,2 (dari kisaran skala 1-5), disusul parlemen dengan nilai 4,0.

Kendati hampir semua parpol di Indonesia menyatakan anti- korupsi, kenyataannya mereka terkesan membiarkan, bahkan melindungi para kadernya yang diduga terlibat korupsi. Kenyataan ini juga dirasakan oleh sebagian besar (70,0 persen) responden yang menyatakan bahwa parpol tidak berani bertindak tegas terhadap kader-kadernya yang diduga terlibat korupsi.

Sikap parpol juga dinilai kurang tegas oleh 76,5 persen responden dalam menghadapi perilaku kader-kadernya yang suka menghambur-hamburkan uang negara untuk kepentingan pribadi. Bentuk pemborosan yang paling sering dan kasatmata adalah perjalanan dinas yang dilakukan kader parpol yang duduk di DPR, terutama ke luar negeri dengan alasan studi banding. Perjalanan dinas anggota DPR selama ini selalu menjadi tameng bagi kepentingan mereka untuk berekreasi atau belanja ke luar negeri dengan biaya ditanggung negara, seperti perjalanan anggota Dewan ke Mesir baru-baru ini.

Pemborosan juga dilakukan dalam bentuk pengajuan kenaikan gaji, tunjangan, dan fasilitas- fasilitas lainnya hingga berkali lipat. Sementara itu, parpol juga dinilai masih rendah komitmennya untuk memberantas praktik percaloan di DPR.

Ketika ada anggota DPR yang terungkap menjadi calo dana pascabencana, lagi-lagi parpol tak menunjukkan reaksi untuk meredam praktik yang merugikan masyarakat itu. Melihat sikap parpol tersebut, dua dari tiga responden mengaku kecewa dengan ketidaktegasan parpol untuk menindak kader-kadernya yang telah mencoreng citra parpol. Bahkan, ketika persoalan ini mencuat pada September 2005, mayoritas (54 persen) responden jajak pendapat Kompas saat itu merasa yakin kalau parpol akan melindungi kadernya yang diduga terlibat.

Berbagai sorotan demikian tampak pula saat masing-masing responden menanggapi kiprah partai besar semacam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Kedua partai yang pada minggu-minggu ini berulang tahun—PPP pada 5 Januari 2006 dan PDI-P pada 10 Januari 2006—dipandang belum membela aspirasi masyarakat maupun menjaga soliditas partai. Padahal, dalam rentang perjalanan waktu yang relatif panjang, kedua partai ini bisa dikata sudah kenyang dengan asam garamnya politik di Indonesia.

Sayangnya, pada usianya yang ke-33 tahun, kedua partai itu masih kurang optimal mewujudkan dirinya sebagai partai politik yang matang. Setidaknya sekitar 57,9 persen responden mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap kinerja PPP dalam menyerap aspirasi masyarakat dan sebanyak 61,4 persen responden tak puas terhadap kinerja PDI-P. Ketidakpuasan terhadap kemampuan PDI-P mengatasi konflik juga diungkapkan oleh 66 persen dan ketidakpuasan terhadap PPP dilontarkan oleh 58,4 persen responden. Bagi sebagian besar responden, kekurangmampuan kedua partai ini dalam mewujudkan segenap harapan masyarakat merefleksikan kegagalan sistem kepartaian di Indonesia dalam menjalankan fungsinya. (LITBANG KOMPAS-SULTANI)

Sumber: Kompas, 9 Januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan