Wajah Baru Kejaksaan
Selalu muncul pertanyaan klasik, dari mana kita mulai memberantas korupsi?
Salah satu titik masuk adalah pembenahan internal kejaksaan. Kita mafhum, masyarakat skeptis terhadap kejaksaan, jaksa, dan komunitas penegak hukum. Persepsi publik terhadap jajaran penegak hukum ada di titik terendah.
Agar pemberantasan korupsi berlangsung efektif dan menjadi gerakan yang mengundang kepedulian serta partisipasi masyarakat, harus ditumbuhkan kepercayaan tinggi terhadap jajaran penegak hukum dan sistem hukum. Hal ini hanya bisa tercapai jika penegak hukum bersih, penuh integritas, dan profesional, integrity is not negotiable.
Selain itu, harus diciptakan sistem hukum yang memberi keadilan dan kepastian.
Dua hal itulah acuan sekaligus tujuan Hari Adyaksa Ke-45, 22 Juli 2005, diluncurkan Program Pembaruan Kejaksaan di hadapan Presiden SBY. Program itu meliputi aspek-aspek yang bisa segera dilakukan, tanpa mengubah ketentuan, aturan hukum, atau hal-hal yang terkait dengan lembaga di luar kejaksaan.
Banyak pihak sangsi, bisakah agenda itu dilaksanakan? Alasannya, kultur dan sistem yang berkembang di kejaksaan tidak mendukung gagasan perubahan dan pembaruan itu. Kultur dan sistem itu telah berakar kuat sehingga nyaris merupakan sebuah kemustahilan untuk mengubahnya secara mendasar.
Kesangsian itu berdasarkan kenyataan bahwa gagasan pembaruan sejatinya bukan hal baru.
Terakhir, tahun 2003, Komisi Hukum Nasional meluncurkan Kebijakan Reformasi Hukum, dengan 14 butir rekomendasi termasuk butir yang terkait pembaruan kejaksaan. Meski demikian, wajah kejaksaan belum berubah signifikan. Itu sebabnya bisa dimaklumi jika timbul pandangan skeptis terhadap agenda pembaruan kejaksaan yang diluncurkan tahun 2005 tersebut.
Empat modal pembaruan
Program Pembaruan Juli 2005 tidak diluncurkan sekadar untuk menambah panjang daftar kegagalan proyek pembaruan. Dan saya amat optimistis program itu akan bisa berjalan, setidaknya karena sejumlah alasan.
Pertama, political will yang amat kuat dari pimpinan pemerintahan, dalam hal ini presiden dan wakil presiden.
Kedua, tingginya ekspektasi publik, yang diwujudkan dalam bentuk kritik, sorotan, pengawasan, terhadap kinerja kejaksaan. Suasana psikologis yang berkembang luas, tidak menoleransi tindakan yang bertentangan dengan profesionalitas, transparansi, dan akuntabilitas.
Ketiga, komitmen untuk melakukan pembaruan juga berkembang di lembaga penegak hukum lain, seperti Mahkamah Agung dan Polri. Kesamaan komitmen itu penting mengingat lembaga-lembaga tersebut pada hakikatnya terikat untuk menegakkan dan mewujudkan sebuah integrated criminal justice system.
Keempat, komitmen yang kuat dari seluruh pimpinan Kejaksaan Agung. Jajaran pimpinan Kejaksaan Agung telah satu bahasa, untuk mengimplementasikan agenda pembaruan di lingkungan kejaksaan.
Dengan keempat modal itu, program pembaruan kejaksaan dijalankan dalam dua tahun terakhir. Salah satu produknya, adalah lahirnya Komisi Kejaksaan.
Undang-Undang Kejaksaan sebenarnya tidak mewajibkan dibentuknya komisi ini. Namun, mengingat peran strategis komisi ini untuk menjaga integritas para jaksa, pimpinan Kejaksaan Agung saat itu memandang perlu segera membentuk Komisi Kejaksaan.
Komisi tersebut memiliki kewenangan mengambil alih kasus yang tengah ditangani pengawasan internal kejaksaan jika dinilai penanganannya jauh dari ekspektasi publik atau ada inidikasi melindungi oknum yang salah.
alHalHal lain yang cukup menonjol adalah manajemen penanganan perkara, khususnya dalam hal penahanan, dan mekanisme pengisian jabatan di jajaran kejaksaan.
Penahanan adalah tindakan merampas kebebasan orang, yang menyebabkan persoalan dan bahkan penderitaan berantai. Oleh karena itu, wewenang penahanan harus digunakan seefektif dan seselektif mungkin karena pada dasarnya kesalahan penahanan tidak bisa ditebus atau dibayar dengan apa pun. Tidak dengan ganti rugi, tidak dengan permintaan maaf. Oleh karena itu, harus ada mekanisme yang memungkinkan adanya check and recheck, sejak kesempatan pertama sebelum keputusan penahanan diambil.
Dalam kaitan dengan pengisian jabatan di jajaran kejaksaan, untuk pertama kali diciptakan mekanisme dan tradisi melembagakan keputusan pengangkatan pejabat kejaksaan melalui rapat pimpinan dan tidak hanya oleh Jaksa Agung sendiri. Untuk kepentingan itu, rekam jejak semua jaksa mulai dicatat dan didokumentasikan secara computerized.
Perja pembaruan
Pembaruan bukanlah perkara sederhana yang bisa diselesaikan dalam waktu satu-dua tahun. Dalam konteks itulah, patut disambut gembira lahirnya enam peraturan jaksa agung (perja), yang diluncurkan pada sekitar Hari Bhakti Adyaksa Ke-47, 22 Juli 2007.
Pimpinan Kejaksaan Agung menyebut enam perja itu sebagai Perja Pembaruan, yang terdiri dari Perja Sistem Rekrutmen Calon Jaksa, Perja Pembinaan Karier, Perja Pendidikan dan Latihan, Perja Kode Etik Perilaku Jaksa, Perja Standar Minimum Profesi Jaksa, dan Perja Penyelenggaraan Pengawasan.
Lahirnya keenam perja itu menandai program pembaruan telah memasuki tahap amat penting, yaitu implementasi dalam bentuk kebijakan.
Tugas kita adalah memastikan agar agenda pembaruan kejaksaan terus berjalan, siapa pun yang duduk sebagai Jaksa Agung, dengan memantau, kritik dan saran, dan terus menumbuhkan kesadaran publik.
Kata Marthin Luther King Jr, Our lives begin to end the day we become silent about things that matter.
Abdul Rahman Saleh Jaksa Agung RI, Oktober 2004-Mei 2007
Tulisan ini disalin dari Kompas, 21 Juli 2007