Vonis Urip Seumur Hidup, Desak KPK Usut BLBI

Pernyataan Pers

Vonis Urip Seumur Hidup, Desak KPK Usut BLBI

 

Proses persidangan dalam kasus korupsi dengan terdakwa Jaksa Urip Tri Gunawan telah memasuki babak akhir. Dalam dakwaannya Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjerat Urip dengan beberapa pasal. Dakwaan primer Urip adalah pasal 12 huruf b UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU 20 tahun 2001. Sedangkan dakwaan subsider, Urip dijerat dengan pasal 5 ayat 2 jo pasal 5 ayat 1 huruf b UU 31/1999. Selanjutnya, Urip juga dijerat dakwaan lebih subsider dengan pasal 11 UU 31/1999.

Dalam persidangan pada 22 Agustus 2008, meski ancaman pidana maksimal dalam pasal-pasal tersebut adalah seumur hidup namun JPU hanya menuntut selama 15 tahun penjara karena terbukti menerima uang terkait jabatannya sebagai anggota tim jaksa penyelidik perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

 

Urip dinilai telah menerima uang dari Artalyta Suryani 660.000 dollar AS dan dari Glenn Muhammad Surya Jusuf melalui pengacaranya, Reno Iskandarsyah, sebesar Rp 1 miliar. Dijadwalkan pada Kamis, 4 September 2008 nanti, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor akan memutuskan nasib Urip Tri Gunawan.

 

Terkait dengan hal itu, majelis hakim pengadilan Tipikor perlu mempertimbangkan penjatuhan vonis yang paling berat terhadap Urip Tri Gunawan yaitu seumur hidup.  (Salah satu dakwaan adalah pasal 12 huruf b yaitu Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) (gratifikasi:red)  adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

I.   Penjatuhan hukuman lebih berat terhadap Urip didasarkan pada beberapa alasan :

Pertama, tidak kooperatif dan berbelit-belit. Meski dari fakta-fakta dipersidangan menyebutkan adanya komunikasi antara Artalyta dengan Urip dan pemberian uang suap terkait dengan proses pemeriksaan kasus korupsi BLBI. , namun hingga proses persidangan akan berakhir, Urip tetap bersikukuh bahwa uang yang diperoleh dari Artalyta merupakan pinjaman untuk usaha perbengkelan. Dalam pemeriksaan dan persidangan, Urip juga terkesan menutupi keterlibatan sejumlah petinggi di Kejaksaan Agung.

 

Kedua, perbuatan terdakwa telah mencermarkan institusi kejaksaan. Terungkapnya praktek penyuapan yang melibatkan Ketua Tim BLBI ini kenyataannya berdampak pada menurunnya kepercayaan publik kepada kejaksaa pada tingkat yang paling rendah. Nama baik institusi kejaksaan menjadi sangat tercemar akibat praktek suap menyuap yang dilakukan Urip. Selain itu secara lebih luas ketidakpercayaan publik terhadap kejaksaan harus diartikan pula sebagai ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah yang dipimpin SBY –Kalla. Hal ini mengingat bahwa kejaksaan merupakan tulang punggung upaya pemberantasan korupsi yang sedang diusung pemerintah.

 

Ketiga, sebagai aparat penegak hukum, Urip seharusnya mengerti hukum (dan tindakan korupsi) serta menjadi tauladan bagi masyarakat dan, bukan justru sebailknya justru menjadi pelanggar hukum dan pelaku korupsi. Pemberian vonis yang berat bagi Urip, diharapkan dapat menjadi terapi kejut (shock therapy) bagi aparat penegak hukum lainnya khususnya jaksa untuk tidak melakukan tindakan menyimpang serupa dimasa yang akan datang.

 

Keempat, hakim tidak terikat terhadap jumlah tuntutan hukuman yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Penjatuhan vonis hakim yang lebih tinggi dari tuntutan jaksa merupakan suatu hal yang biasa dalam praktek penanganan perkara korupsi di pengadilan (umum maupun tipikor) selama tidak melebihi dari ancaman pidana yang diatur dalam UU Korupsi (terlampir). Dengan demikian tidak ada ketentuan yang dilanggar apabila vonis yang dijatuhkan lebih berat dari tunutan jaksa

 

II.   Fakta Hukum Persidangan

Selain penjatuhan hukuman yang lebih berat terhadap Urip, proses persidangan terhadap Urip (dan juga  Artalyta Suryani) menegaskan banyak sinyalemen publik tentang indikasi permainan dibalik penanganan korupsi BLBI khususnya yang melibatkan Sjamsul Nursalim. Fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan dengan kedua terdakwa tersebut harusnya dilihat sebagai poin penting. 

 

Setidaknya terdapat 4 Fakta Hukum Persidangan yang relevan dan ditegaskan kebenarannya oleh hakim:

1.      

Komunikasi AS dengan UTG pada Januari 2008 yang berhasil disadap KPK, berhubungan dengan:

a.      

Posisi UTG sebagai Ketua Tim Penyelidik "Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dalam Penyerahan Aset oleh Pemegang Saham BDNI sebagai penerima BLBI kepada BPPN (II)"

b.      

Tujuan agar Sjamsul Nursalim (SN) tidak diperiksa dalam penyelidikan tersebut

2.      

Suap sebesar US$ 660.000 bukanlah pemberian yang berdiri sendiri, tetapi merupakan IMBALAN yang berhubungan dengan penghentian penyelidikan kasus BDNI-BLBI II

3.      

Suap ditujukan agar Kejaksaan Agung menyatakan "tidak ada unsur melawan hukum pidana", sehingga BLBI II harus diselesaikan secara perdata.

4.      

Suap berhubungan dengan penyelesaian BLBI yang menggunakan mekanisme "Out of Court Settlement" atau penyelesaian diluar pengadilan.

 

Fakta Hukum tersebut mengikat Publik. Mengikat penegak hukum. Ratio decidendi harus diartikan juga sebagai Perintah terhadap penegak hukum untuk kembali mengusut skandal korupsi BLBI. Dalam konteks ini, hanya KPK yang dinilai mampu, berwenang dan punya integritas untuk menyelesaikan korupsi yang merugikan negara dan rakyat ratusan triliunan tersebut. 

 

Fakta Hukum Persidangan dalam putusan Artalyta Suryani sebelumnya secara implisit harusnya diartikan sebagai Perintah Hakim pada KPK untuk mengusut pihak lain yang terlibat. Khusus untuk perkara pokok Korupsi BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim, KPK diminta untuk segera menyatakan mengusut/mengambil alih penanganan BLBI. 

 

Dalam kasus Urip, Hakim diminta mencantumkan Perintah yang tegas dalam Putusan. Hal ini dinilai merupakan implementasi kewenangan Hakim sebagai pimpinan tertinggi/pemegang kekuasaan kehakiman. 

 

Dasar Hukum Perintah Hakim:

1.      

Pengembangan asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP), "setiap orang yang melakukan tindak pidana padahal telah dilarang oleh UU, ia harus dihukum" (nullum crimen sine poena legali). Pandangan ini diungkapkan von Feurbach sebagai salah satu bagian dari arti asas legalitas. Pasal ini dalam proses pembentukannya menghendaki adanya sebuah kepastian hukum. Karena itu, demi kepastian hukum setiap orang yang melakukan tindak pidana harusnya diproses didepan hukum.

 

2.      

Pasal 197 ayat (1) butir (h): “Surat putusan pemidanaan memuat:

(h)   Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah telah terpenuhinya semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan

Butir (h) diatas sesungguhnya melanjutkan poin ”Fakta Hukum Persidangan” yang diatur pada butir (d), sebagai bagian yang mengikat dalam sebuah Putusan.

Pemahaman butir (h) pada frase ”pernyataan kesalahan” haruslah dipahami tidak terbatas pada kesalahan terdakwa saja. Karena perbuatan terdakwa berhubungan dengan Pidana Pokok lainnya (latar belakang/penyebab terjadinya suap US$ 660.000), yaitu Korupsi BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim cs. Atas dasar itulah:

a.      

Hakim dapat menyatakan dalam putusannya, Artalyta suryani bersalah melakukan suap, dan berdasarkan Fakta Hukum Persidangan Suap tersebut berhubungan dengan Korupsi BLBI (poin ini telah ditegaskan kebenaranya oleh hakim).

b.      

Sedangkan Frase  tindakan lain yang dijatuhkan”, dapat berarti UU memberi ruang yang lebih luas pada hakim.

Disinilah berdasarkan Pasal 197 ayat (1) huruf (h), Hakim dapat memerintahkan TINDAKAN LAIN, yaitu PERINTAH PADA KPK UNTUK MENGUSUT PIDANA POKOK dibalik Suap Artalyta-UTG, yaitu Korupsi BLBI. Dan, Perintah untuk mengusut sejumlah pejabat di Kejaksaan Agung yang diduga kuat terkait dengan suap BLBI.

   

3.      

Pasal 31 UU 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman: "Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman..." Berhubungan dengan poin 1 diatas dan korupsi BLBI, maka Hakim sebagai pimpinan tertinggi persidangan berwenang memerintahkan KPK untuk mengusut Sjamsul Nursalin, Ketua BPPN dan sejumlah Petinggi Kejaksaan Agung. Karena akan sangat bertentangan dengan rasa keadilan jika pihak yang diduga melakukan kejahatan masih berkeliaran bebas di masyarakat. 

 

4.      

Pasal 28 ayat (1) UU 4/2004: "Hakim WAJIB menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat".Dalam kasus BLBI, poin ini berarti, Hakim punya kewajiban mengikuti kehendak dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat agar Mega Korupsi BLBI diproses secara hukum. 

 

5.      

Dalam Hukum Acara Pidana, peran Hakim bersifat Aktif. Sehingga mempunyai kewenangan yang lebih luas dibanding hakim perdata sepanjang tidak dilarang UU.

 

Berdasarkan uraian diatas, terdapat beberapa hal penting yang harus didorong yaitu :

1.    Majelis Hakim untuk menjatuhkan hukuman seumur hidup bagi Urip Tri Gunawan dan mencantumkan perintah Tertulis pada Amar Putusan agar

a.      

KPK Mengusut Glenn M. Yusuf (Mantan Ketua BPPN) dan Sjamsul Nursalim (BDNI)

b.      

KPK mengusut petinggi Kejaksaan Agung berdasarkan fakta hukum persidangan;

2.   KPK untuk mengusut korupsi BLBI yang dapat dimulai dari kasus BLBI II, yakni indikasi korupsi dalam penyerahan asset BDNI pada BPPN, serta kasus korupsi BLBI lainnya dan demi penyelamatan aset negara, segera melakukan penyitaan aset-aset dan kekayaan Sjamsul Nursalim;

 .    

Jakarta, 2 September 2008

Indonesian Legal Resource Center (ILRC) I Indonesia Corruption Watch (ICW)

Lampiran:

Daftar VONIS PERKARA KORUPSI

SAMA ATAU LEBIH TINGGI DARI TUNTUTAN JAKSA

 

No

Perkara Korupsi

(Nilai kerugian negara)

Terdakwa

Tuntutan JPU

Vonis Hakim

Pengadilan

Waktu

1.      

BLBI Bank Aspac (Rp 408 miliar)

 

Setiawan Hardjono (mantan Presiden Direktur Bank Aspac)

6 bulan penjara

5 tahun penjara

PN Jakarta Selatan

5 Mei 2003

2.      

BLBI Bank Servitia (Rp 1,29 triliun)

 

David Nusa Widjaya (Pemegang Saham Bank Servitia)

4 tahun penjara

8 tahun penjara

Mahkamah Agung

23 Juli 2003

3.      

BLBI Bank Harapan Sentosa (Rp 1,9 triliun)

Hendra Rahardja (Mantan Presiden Komisaris BHS)

Seumur hidup

Seumur hidup

PN Jakarta Pusat

22 Maret 2002

4.      

BLBI Bank Harapan Sentosa (Rp 1,9 triliun)

Eko Adi Putranto (Mantan Komisaris PT BHS)

20 tahun penjara

20 tahun penjara

PN Jakarta Pusat

22 Maret 2002

5.      

BLBI Bank Harapan Sentosa (Rp 1,9 triliun)

Sherny Konjongian (mantan Direktur Kredit PT BHS)

20 tahun penjara

20 tahun penjara

PN Jakarta Pusat

22 Maret 2002

6.      

BLBI Bank Surya (Rp 1,5 triliun)

Bambang Sutrisno (mantan wakil komisaris utama Bank Surya)

Seumur hidup

Seumur hidup

PN Jakarta Pusat

13 November 2002

7.      

BLBI Bank Surya (Rp 1,5 triliun)

Adrian Kiki Aryawan (Mantan direktur utama Bank Surya)

Seumur hidup

Seumur hidup

PN Jakarta Pusat

13 November 2002

8.      

BLBI Bank Modern (Rp 169 miliar)

Samadikun Hartono

(mantan direktur Bank Modern)

1 tahun penjara

4 tahun penjara

Mahkamah Agung

2004

9.

Kredit Fikitf (L/C) BNI Rp. 1,7 Triliun

Adrian Waworunto

7 tahun penjara

Seumur Hidup

PN Jakarta Selatan

30 Maret 2005

10.      

Departemen Kelautan dan Perikanan (Rp 14,6 miliar)

Rokhmin Dahuri (mantan Menteri Kelautan dan Perikanan)

6 tahun penjara

7 tahun penjara

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Agustus 2007

11.   

Penyelewengkan kredit dari Bank Mandiri  (Rp 24,871 miliar)

Nader Thaher, mantan Direktur Utama PT Siak Zamrud Pusaka

12 tahun penjara

14 tahun penjara

Pengadilan Negeri Pekanbaru

20 Desember 2005

12.   

Dana Purna Tugas DPRD Yogyakarta (Rp 3 miliar)

Cindelaras Yulianto dan Arief Adi Subiyanto (ketua dan sekretaris panggar Dana Purna Tugas DPRD Yogyakarta 1999– 2004)

2 tahun penjara

4 tahun penjara

Pengadilan Negeri Yogyakarta

22 Mei 2007

13.   

Penyalahgunaan dana pos anggaran kepala daerah dalam APBD 2001-2004 Kalimantan Selatan (Rp 5,868 miliar)

Sjachriel Darham (mantan gubernur Kalimantan Selatan)

3 tahun penjara

4 tahun penjara

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

24 Agustus 2007

14.   

Pengadaan pembelian helikopter Mi-2 Rostov buatan Rusia (Rp 13,875 miliar)

Abdullah Puteh, Gubernur Aceh non-aktif

8 tahun penjara

10 tahun penjara

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

11 April 2005

15.   

Penyimpangan di PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Rp 369 miliar)

Sudjiono Timan, mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia

8 tahun penjara

15 tahun penjara

Mahkamah Agung

3 Desember 2004

16.   

manipulasi terhadap dana APBD Singkil NAD (Rp 4 miliar)

Deddy SY Bancin, kasir Pemda Kabupaten Singkil

4 tahun penjara

10 tahun penjara

Pengadilan Negeri Singkil Aceh Timur

2002

17.   

manipulasi terhadap dana APBD Singkil NAD (Rp 4 miliar)

Azhari Tinambunan, wakil ketua DPRD Singkil dan Eddy P. Sembiring

10 tahun penjara

Seumur hidup

Pengadilan Negeri Singkil Aceh Timur

2002

18.   

Pembobolan L/C BNI cabang Kebayoran Baru (US$ 9,38 juta)

Harris Is Artono (Direktur Utama PT Mahesa)

15 tahun penjara

15 tahun penjara

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

11 November 2004

19.   

Penyuapan sebesar AS$660 ribu  kepada Urip Tri Gunawan

Artalyta Suryani (pengusaha)

5 tahun penjara

5 tahun penjara

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

29 Juli 2008

20.   

Pengadaan buku ajar Kabupaten Sleman periode 2004 (Rp 12 miliar)

Muhamad Bachrum (Kepala Dinas Pendidikan Sleman)

5 tahun penjara

5 tahun penjara

Majelis hakim Pengadilan Negeri Sleman

5 Juli 2007

21.   

Pengadaan barang dalam proyek bantuan bagi nelayan korban tsunami di Cilacap, Kebumen, dan Purworejo pada 2006 (Rp 1,465 miliar)

Hari Purnomo (Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah.

5 tahun penjara

5 tahun penjara

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

22 Mei 2008

Sumber: dokumen ICW

 

             

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan