Vonis Percobaan bagi Koruptor

Mahkamah Agung (MA) saat ini tengah mempertimbangkan pemberian vonis hukuman percobaan untuk perkara tindak pidana korupsi.

Pertimbangannya,menurut Wakil Ketua MA Abdul Kadir Mappong, dalam memutuskan hukuman percobaan terhadap terdakwa perkara korupsi, hakim lebih memperhatikan asas keadilan hukum (SI,25/9). Menurut teori, hukuman percobaan (voorwaardelijke) adalah hukuman bersyarat atau hukuman dengan perjanjian.

Arti hukuman percobaan adalah meskipun terdakwa dinyatakan bersalah dan dihukum dengan hukuman penjara, dia tidak perlu dimasukkan KE penjara atau lembaga pemasyarakatan asalkan selama masa percobaan dapat memperbaiki kelakuannya.

Artinya dia tidak melakukan kejahatan lagi atau tidak melanggar perjanjian dengan harapan,apabila berhasil,dia tidak perlu menjalani hukuman penjara seperti yang diputuskan hakim. Ketentuan mengenai vonis percobaan hanya dapat diterapkan terhadap terdakwa yang diancam pidana paling lama 1 tahun penjara. Ketentuan ini dapat dilihat pada Pasal 14 a ayat (1) KUHP sebagai berikut.

Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti, maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.

*** Penjatuhan hukuman percobaan terhadap koruptor menjadi salah satu fenomena yang muncul dalam penanganan perkara korupsi yang diadili di pengadilan umum pada 2008.Meskipun dinilai kontroversial, faktanya MA selaku lembaga tertinggi di lingkungan pengadilan justru menjadi pelopor vonis percobaan ini seperti dalam dua perkara korupsi yang melibatkan anggota Dewan daerah.

Dalam perkara korupsi dana APBD Semarang yang melibatkan mantan Ketua DPRD Mardijo, majelis hakim yang terdiri atas Iskandar Kamil, Djoko Sarwoko, dan M Baharudin Qaundy pada 21 Januari 2008 memperkuat vonis percobaan yang pernah dikeluarkan Pengadilan Negeri Semarang meskipun oleh jaksa penuntut umum, Mardijo dituntut 7 tahun penjara.

Vonis serupa terjadi dalam perkara korupsi dana operasional DPRD Kaltim periode 1999– 2004 senilai Rp2,9 miliar yang melibatkan sejumlah Ketua DPRD Sukardi Djarwo Putro, Wakil Ketua Khairul Fuad, dan Koordinator Panitia Anggaran (Panggar) Kasyful Anwar.Ketiganya divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun penjara oleh majelis kasasi MA yang terdiri dari Parman Soeparman, Soedarno, dan Imam Haryadi.

Vonis kasasi yang dibacakan pada 28 Januari 2008 sangat rendah jika dibandingkan dengan vonis di tingkat bawahnya. Padahal, sebelumnya pada 2006, pengadilan negeri dan pengadilan tinggi menyatakan ketiganya bersalah melakukan perbuatan korupsi dan menjatuhkan vonis empat tahun penjara.

Vonis kasasi yang menghukum koruptor dengan hukuman percobaan pada faktanya juga diikuti (menjadi "yurisprudensi") oleh hakim-hakim di tingkat pengadilan di bawahnya. Setelah vonis percobaan di tingkat kasasi tersebut, penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2008 menemukan adanya sembilan terdakwa korupsi yang juga divonis dengan hukuman percobaan.

Terakhir pada 6 Januari 2009,perkara dugaan korupsi proyek pembangunan pasar hewan di Desa Nagrak Kecamatan/ Kabupaten Cianjur tahun anggaran 2006, RS selaku pelaksana proyek divonis penjara satu tahun dengan masa percobaan 1 tahun penjara oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Cianjur.

Total selama 2008-Februari 2009, ICW mencatat sedikitnya 14 orang terdakwa yang dijatuhi vonis dengan masa percobaan.Beberapa alasan yang sering digunakan hakim dalam penjatuhan vonis percobaan adalah karena terdakwa telah mengembalikan kerugian negara ataupun alasan kemanusiaan.

Padahal alasan ini tidak tepat untuk diterapkan dalam perkara korupsi yang telah dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa. Ide yang disampaikan oleh MA untuk menghukum percobaan bagi koruptor sangat tidak tepat mengingat bangsa ini telah sepakat menyatakan korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime). Selain itu baik pemerintah maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini sedang semangat memberantas korupsi.

Dengan demikian wacana penjatuhan vonis percobaan bagi koruptor seperti yang digagas oleh MA,sudah selayaknya ditolak dengan sejumlah alasan. Pertama, hukum itu memiliki efek jera,artinya ada dua dampak preventif hukum, yaitu preventif umum dan khusus. Preventif umum dimaksudkan mencegah agar masyarakat tidak ingin melakukan tindak pidana dan preventif khusus adalah efek jera kepada yang bersangkutan.

Sebagai konsekuensi dan kesepakatan kita dalam memberantas korupsi adalah munculnya hukuman percobaan dalam perkara korupsi akan menimbulkan masalah secara sosiologis. Hukuman percobaan tidak akan menimbulkan efek jera. Kedua, dengan adanya vonis percobaan ini, dapat dipastikan terdakwa tidak perlu menjalani hukuman meskipun dinyatakan bersalah.

Putusan dengan hukuman percobaan jelas kontroversial dan terkesan ada upaya "akal-akalan" hukum yang dilakukan oleh hakim pengadilan dalam penjatuhan vonis. Padahal dalam UU Tipikor (UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001), khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 (yang biasanya dijerat kepada terdakwa korupsi) secara tegas menyebutkan mengenai batas minimum hukuman (1–2 tahun penjara) bagi terdakwa yang terbukti bersalah.

Ketiga, penjatuhan vonis percobaan terhadap koruptor jelas melukai rasa keadilan masyarakat.Kondisi ini akan menjadi lebih buruk jika putusan vonis percobaan bagi pelaku korupsi di tingkat kasasi tersebut menjadi pedoman atau acuan (yurisprudensi) bagi hakim-hakim lainnya baik di tingkat pertama, banding maupun kasasi.

Pengadilan umum kenyataannya belum sepenuhnya berpihak kepada agenda pemberantasan korupsi. Untuk urusan pemberantasan korupsi,apa yang dilakukan pemerintah (eksekutif) dan pengadilan (yudikatif) sering bertolak belakang. Di saat pemerintah bersemangat dalam memberantas korupsi, apa yang dilakukan oleh pengadilan (umum) justru sebaliknya, bersemangat membebaskan atau memvonis percobaan bagi terdakwa korupsi.

Jika MA di bawah pimpinan Harifin Tumpa pernah menyatakan komitmen dalam pemberantasan korupsi, sudah selayaknya mereka menolak gagasan vonis percobaan terhadap koruptor. Ketua MA juga sudah seharusnya mengeluarkan surat edaran kepada seluruh hakim untuk menjatuhkan vonis maksimal terhadap terdakwa korupsi yang terbukti bersalah dan melarang vonis percobaan bagi koruptor. Seharusnya MA menyadari betul bahwa korupsi dan koruptor adalah musuh bersama yang harus dilawan dan terhadapnya tidak perlu ada kompromi.(*)

Emerson Yuntho, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)

Tulisan ini disalin dari Seputar Indonesia, 1 Juni 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan