Vonis Labora: Pukulan Mundur bagi Pemberantasan Mafia Hutan

Labora Sitorus, mafia perusak hutan yang sempat menggegerkan publik, dihukum dua tahun dari semula tuntutan jaksa 15 tahun. Atas transaksi mencurigakan Rp 1,5 trililun, ia hanya didenda Rp 50 juta. Jaksa didesak banding untuk mencegah otak kejahatan kasus ini raib seiring vonis ringan Labora.

Dunia pengadilan Indonesia kembali diselimuti kekelaman. Labora Sitorus, bintara polisi yang pernah menghebohkan media massa dengan kekayaannya yang tak wajar dari hasil menjadi mafia perusak hutan, hanya divonis 2 tahun dari tuntutan 15 tahun penjara. Sejumlah transaksinya yang di luar kewajaran pun tak cukup membuatnya divonis terkait pencucian uang.

“Bayangkan, dari transaksi sekitar Rp 1,5 Triliun, dia hanya didenda Rp 50 juta,” ujar peneliti ICW Emerson Yuntho, minggu lalu.

Sebelumnya, Labora sudah pernah ditahan pada 2007, terkait penyitaan 40 kontainer kayu ilegal yang siap dikapalkan dari Sorong menuju Surabaya.

Kasus Labora pertama mencuat setelah setelah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan transaksi mencurigakan dengan nilai fantastis, Rp 1,5 triliun dari rekening Labora Sitorus, Anggota Kepolisian Raja Ampat berpangkat bintara.

“Aliran dana tersebut tidak sesuai dengan profil pendapatan Labora sebagai polisi dengan gaji 2-3 juta per bulan, ditambah lagi dana mengalir sejak 2007 hingga 2012,” tutur Emerson.

Setelah ditelusuri, Labora ternyata punya perusahaan bernama PT. Rotua dan PT. Seno Adi Wijaya. PT. Rotua beroperasi dengan melakukan pembalakan liar, dan PT. Seno Adi Wijaya melakukan penimbunan Bahan Bakar Minyak (BBM). Kedua perusahaan ini diketahui seluruh anggota Polres Raja Ampat sebagai milik Labora Sitorus.

Labora kemudian disidang dengan tuduhan pembalakan liar bersama perdagangan bahan bakar ilegal berikut pencucian uang.

ICW yang tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Hutan, inisiatif beberapa lembaga swadaya masyarakat yang memperjuangkan pemberantasan kejahatan kehutanan, mempersoalkan keanehan proses persidangan Labora.

Beberapa kali sidang diintimidasi para pendukung Labora. Bahkan, pendukungnya pernah menculik Labora saat sidang tengah berlangsung.

“Anehnya, baik jaksa maupun polisi tidak meminta lokasi sidang dipindahkan,” kata Emerson.

Demikian pula hakim, sehingga sidang tetap berlangsung di Pengadilan Negeri Sorong, kota di mana Labora terkenal sebagai mafia kayu dan bahan bakar ilegal.

Pada 17 Februari 2014, Labora Sitorus divonis bersalah dan dipenjara selama 2 tahun oleh Pengadilan Negeri Sorong yang diketuai Hakim Marthinus Bala, dengan anggota R. Maria Christian dan Iriyanto Tiranda.

Vonis ini timpang jauh dengan tuntutan jaksa 15 tahun penjara. Jaksa juga menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) untuk menjerat Labora Sitorus, namun, pasal 3 UU TPPU yang didakwakan pada Labora diputus hakim tidak terbukti di persidangan. Labora hanya diputus bersalah atas tindak pidana pembalakan liar dan penimbunan BBM.

“Ini pukulan mundur telak atas upaya pemberantasan mafia hutan,” tukas Emerson.

Padahal, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dilahirkan dengan harapan dapat membuat kapok pelaku sekaligus mengusut tuntas pihak-pihak lain yang turut terlibat dan menerima uang hasil kejahatan.

Melalui saudaranya, Labora telah melaporkan bahwa ia melakukan sedikitnya 265 transaksi keuangan dengan 33 polisi, mulai dari tingkat polres, polsek, polda, hingga Mabes Polri. Majalah Tempo edisi 24 Februari 2014 mencatat total transaksi lebih dari Rp 10 milyar.

Maka, koalisi kuat menduga Labora tidak sendirian dalam melakukan kejahatan selama bertahun-tahun.

“Jika para pelaku lainnya tidak dijerat pula, maka upaya pemberantasan mafia hutan hanya menjadi wacana,” ungkap Emerson.

Apalagi, lanjut Emerson, jika jaksa penuntut tidak mengajukan banding atas putusan ini, maka kasus Labora akan menjadi teladan buruk bagi upaya pemberantasan mafia hutan.

Putusan Labora sekaligus mengekalkan ketidakadilan penegakan hukum di Indonesia. ICW mencatat pada periode 2005-2008, dari 205 pelaku utama pembalakan liar kelas kakap, yang diadili hanya 19,51%.

Sebesar 80,48% hanyalah pelaku kelas teri dengan pekerjaan supir, operator, dan petani.

Dari pelaku kelas kakap yang diadili, 82% divonis bebas. Sebanyak 66% pelaku kelas teri divonis bebas, 21% divonis di bawah setahun, 7% divonis 1-2 tahun, dan 5% divonis di atas dua tahun.

“Atau, tengoklah kejadian dituntutnya Nahrudin bin Sahuri (54), warga Sumenep Jawa Timur dengan hukuman penjara 8 bulan hanya karena mengambil potongan kayu 110 cm x 19 cm sepanjang 1 m sisa tebangan Perhutani,” tutur Emerson prihatin.

Salah satu kelemahan Undang-Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 adalah hanya operator lapangan yang dapat dipidana, sedangkan pihak-pihak lain yang turut andil dalam melanggengkan kejahatan tersebut tidak tersentuh.

Sementara itu, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dapat memberi kekuatan mengusut para pelaku dengan menjadi dasar hukum yang menjerat mereka, sekaligus memiskinkan para penjahat pencuci uang.

Koalisi Anti Mafia Hutan mendesak jaksa penuntut Kejaksaan Tinggi Sorong melakukan banding sebelum tenggat habis, dan tetap mendakwa Labora dengan Undang-Undang TPPU.

Koalisi juga mendesak Komisi Kejaksaan memaksimalkan kewenangannya untuk mengevaluasi kejaksaan dan aparatnya yang menuntut kasus ini.

Komisi Pemberantasan Korupsi, menurut koalisi, juga harus mulai menyelidiki dugaan korupsi kasus ini, termasuk pada proses peradilannya.

“Bila diperlukan, KPK harus memaksimalkan kewenangan kordinasi dan supervisinya, atau bahkan mengambil alih kasus ini,” pungkas Emerson.

Komisi Yudisial juga wajib mengusut kinerja Hakim Pengadilan Negeri Sorong untuk melihat potensi pelanggaran kode etik, ataupun upaya lain yang memengaruhi hakim mengambil keputusan.

Mau tak mau, putusan Labora mengingatkan kita pada kasus Marthen Renouw di Sorong, kota yang sama dengan kasus Labora. Komisaris Polisi ini didakwa pencucian uang terkait pembalakan liar yang melibatkan PT. Marindo Utama Jaya dan PT. Sanjaya Makmur.

Terdapat transfer lebih dari Rp 1 milyar (EIA/Telapak, 2007). Tapi, dengan dalih bahwa uang itu adalah pinjaman untuk operasi kepolisian (yaitu, untuk menyidik peminjam), Marthen Renouw lolos dengan vonis bebas. Vonis ini inkracht karena jaksa terlambat mengajukan kasasi.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan