Vonis Janggal dari Samarinda

Bebasnya sederet politikus di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, dari tuntutan kasus korupsi sungguh merisaukan. Ini memperkuat anggapan orang bahwa politikus di negeri ini semakin kebal hukum. Sementara itu, pengadilan tindak pidana korupsi, terutama di daerah, kian tak berdaya.

Asman Gilir dari Partai Demokrat, Mus Mulyadi (Partai Patriot), dan Abdul Rahman (PDI Perjuangan) termasuk di antaranya politikus yang 'sakti' itu. Ketiga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kutai Kartanegara ini divonis bebas oleh Pengadilan Pidana Korupsi Samarinda kemarin. Alasan hakim, perbuatan terdakwa bukanlah korupsi kendati mereka terbukti menerima tunjangan ganda dari anggaran daerah 2005.

Dana operasional yang dibayar dobel itu terungkap dari pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan. Praktek tercela ini merugikan negara hampir Rp 3 miliar. Atas dasar temuan inilah kejaksaan kemudian menjerat 40 anggota DPRD Kutai Kartanegara periode 2004-2009. Di antara mereka, 17 orang terpilih lagi sebagai anggota DPRD periode sekarang. Dengan dibebaskannya tiga terdakwa tersebut, kini jumlah politikus Kutai yang dilepaskan dari tuntutan kasus yang sama telah mencapai 10 orang. Ketua nonaktif DPRD Kutai Kartanegara, Salehuddin, termasuk yang sudah bebas.

Pembebasan anggota DPRD Kutai menunjukkan betapa tidak efektifnya penegakan hukum kita. Buat apa jaksa bersusah payah memberkas kasus mereka selama berbulan-bulan bila akhirnya dilepas dengan mudah. Inilah perlunya Kejaksaan Agung turun tangan memeriksa jaksa yang menangani kasus itu. Siapa tahu mereka sengaja membuat dakwaan yang lemah.

Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung mesti pula mengusut para hakim yang memegang perkara itu karena vonis mereka amat janggal. Tidaklah masuk akal jika pengucuran dana operasional ganda itu dianggap tak melanggar undang-undang. Kalau logika hakim dituruti, kenapa semua terdakwa akhirnya mengembalikan duit masing-masing sekitar Rp 70 juta ke kas daerah?

Pandangan hakim Dahel K. Sandan, yang memvonis kasus Salehuddin, lebih jernih. Ia berbeda pendapat dengan dua rekannya yang membebaskan Ketua DPRD Kutai Kartanegara ini. Menurut Dahel, pembagian dana operasional yang tak wajar itu merupakan tindak pidana. Apalagi terungkap ada pertemuan anggota Dewan yang menginginkan penambahan anggaran. Bagi sang hakim, ini merupakan penggunaan wewenang sebagai anggota Dewan secara tidak normal.

Besarnya tekanan politik boleh jadi membuat hakim pengadilan korupsi di daerah menjadi kurang independen. Mereka juga kurang mendapat sorotan sekaligus pengawasan dari Jakarta. Jangan heran bila semakin banyak koruptor yang divonis bebas oleh pengadilan tindak pidana korupsi di daerah. Beberapa pekan lalu, Pengadilan Tipikor Bandung bahkan berani membebaskan Wali Kota Bekasi nonaktif Mochtar Mohamad, yang dituntut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pengadilan tindak pidana korupsi di daerah seolah sengaja diperbanyak agar semakin banyak pula koruptor yang bebas. Sinisme terhadap penyelenggara negara seperti ini sulit dihindari di tengah amburadulnya pemberantasan korupsi.

Sumber: Koran Tempo, 3 November 2011
---------------
Tiga Terdakwa Korupsi Bebas
Lagi-lagi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda,Kalimantan Timur, kembali membebaskan tiga terdakwa kasus korupsi. Vonis ketiga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kutai Kartanegara itu berkaitan dengan vonis bebas tujuh anggota Dewan sebelumnya. Ketiga terdakwa itu adalah Asman Gilir dari Partai Demokrat, Mus Mulyadi dari Partai Patriot, dan Abdul Rahman dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Putusannya pun mirip putusan dalam persidangan sebelumnya, yaitu terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan jaksa. "Tapi perbuatan tersebut tidak melanggar pidana," kata Gede Suarsana, yang didampingi dua anggota majelis hakim Medan Parulian Nababan dan Abdul Gani.

Sebelumnya, tujuh anggota DPRD Kutai Kartanegara yang didakwa telah melakukan korupsi dana operasional Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada 2005 telah divonis bebas dengan pertimbangan yang sama. Kejaksaan sebelumnya telah menetapkan 40 anggota Dewan periode 2004-2009 sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana operasional senilai Rp 2,98 miliar.

Sebanyak 17 anggota Dewan yang kemudian menjabat lagi pada 2009-2014 disidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, sedangkan sisanya disidang di Pengadilan Negeri Tenggarong. Ada empat tersangka yang meninggal. Para tersangka kemudian mengembalikan uang yang mereka terima ke kas daerah.

Hakim dalam pertimbangannya menyebutkan, meski menerima dana operasional ganda, para terdakwa tidak melanggar aturan karena sesuai dengan Surat Keputusan Bupati dan tidak melanggar aturan hukum di atasnya. Atas putusan itu, hanya Asman Gilir yang menyatakan pikir-pikir, sedangkan dua rekannya menerima putusan tersebut.

Sementara itu, jaksa penuntut umum menyatakan, "Kami pasti kasasi," kata Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Tenggarong, Kutai Kartanegara, Widi Catur Susilo.

Dalam persidangan kemarin, seharusnya seorang terdakwa, yaitu Marwan, yang juga Wakil Ketua DPRD Kutai Kartanegara, juga mendengarkan putusan. Namun Marwan dikabarkan penasihat hukumnya, Robert Nababan, tengah menunaikan ibadah haji.

"Sudah menjalankan ibadah haji pada 30 Oktober selama 11 hari, jadi tak bisa menghadiri sidang," kata Robert Nababan kepada majelis hakim dalam sidang kemarin. Robert berjanji akan menghadirkan kliennya di persidangan setibanya di Samarinda. "Pada 19 November, klien kami sudah tiba di Samarinda," ujarnya. Hakim kemudian menunda pembacaan vonis untuk Marwan. "Sidang ditunda sampai 21 November 2011,".l FIRMAN HIDAYAT

Sumber: Koran Tempo, 3 November 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan