Vonis Bebas Terdakwa Korupsi ; MA Tolak Disalahkan

Mahkamah Agung (MA) dinilai sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas merebaknya vonis bebas terdakwa korupsi. MA dinilai kurang teliti saat merekrut para hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).  Namun, MA menolak disalahkan. Juru Bicara Mahkamah Agung Hatta Ali mengakui ada hakim ad hoc di Pengadilan Tipikor daerah yang bermasalah.

Namun demikian, meski perekrutan hakim merupakan tanggung jawab institusinya, ia meminta publik tidak menyalahkan MA. ”Soal hakim bermasalah, itu di luar sepengetahuan kami,” kata Hatta, Senin (7/11).

Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, vonis bebas dan ringan di Pengadilan Tipikor daerah berpangkal dari mekanisme perekrutan hakim-hakim yang tidak kredibel dengan mekanisme yang tidak akuntabel.

”Dalam hal ini Mahkamah Agung yang memegang peran kunci dalam proses perekruitan harus bertanggung jawab,” kata Hendardi.

Menurut dia, bisa pula masalah ada pada kejaksaan, tapi hal utama adalah kredibilitas hakim yang di bawah standar. Sebelum membekukan atau menata ulang Pengadilan Tipikor, MA pertama-tama harus bersikap dan melakukan evaluasi internal. Untuk itu, Komisi Yudisial (KY) dituntut membentuk tim kajian khusus untuk mengevaluasi praktik Pengadilan Tipikor di daerah.

”Lalu memeriksa para hakim yang dianggap melakukan pelanggaran etik. DPR harus memanggil MA dan KY untuk melakukan evaluasi dan identifikasi. Intervensi legislatif dibenarkan oleh UU,” tambahnya.

Mengenai ide menarik kasus korupsi seluruh Indonesia ke Jakarta, menurut Hendardi, jelas akan sulit dilakukan karena banyak kasus di Indonesia. Langkah yang paling memungkinkan adalah meningkatkan pengawasan proses peradilan.

Hatta Ali mengatakan, kasus hakim ad hoc bermasalah seperti Ramlan Comel di Pengadilan Tipikor Bandung tidak bisa disalahkan ke MA. Pasalnya, yang bersangkutan tidak memiliki catatan hukum pada masa lalu. Meski pernah menjadi terdakwa kasus korupsi, Ramlan Comel bebas di tingkat kasasi sehingga sesuai aturan dinyatakan tidak bersalah.

Ramlan adalah salah satu anggota majelis hakim yang membebaskan Wali Kota Bekasi (nonaktif) Mochtar Mohamad, terdakwa kasus dugaan korupsi dana audiensi dan dialog wali kota dengan masyarakat pada APBD 2009, kasus suap terhadap anggota DPRD dan auditor BPK Jawa Barat, serta kasus permufakatan jahat untuk menyuap tim penilai Adipura.

Hatta menjelaskan, jika yang dipertanyakan adalah perekrutan hakim, maka prosedur tidak ada masalah. Sebab, saat pendaftaran dibuka, panitia melakukan seleksi hingga terpilih hakim untuk ditempatkan di Pengadilan Tipikor.

Dia menandaskan, jika kemudian hari beberapa hakim itu digugat gara-gara memutus bebas terdakwa korupsi, jangan buru-buru menyalahkan hakim bersangkutan. Bisa jadi dakwaannya kurang tepat atau fakta persidangan menyatakan terdakwa tidak bersalah.

Karena itu, Hatta meminta semua hal tersebut dilihat secara jernih. Jika ada temuan nonteknis hakim bermasalah, seharusnya masyarakat melapor kepada MA. Dia menyarankan, jika masalah terjadi di daerah, maka bisa dilaporkan ke pengadilan tinggi atau pengadilan negeri yang menjadi perpanjangan tangan MA di daerah.

 ”Hakim yang direkrut MA tidak memiliki masa lalu bermasalah, tapi memang kadang integritasnya diragukan publik. Tapi, MA merekrut hakim sesuai aturan,” jelas ketua Muda Pengawasan MA tersebut.

Menurut dia, untuk menjawab keraguan publik, pada pekan depan MA mengadakan pelatihan untuk 100 hakim ad hoc Pengadilan Tipikor daerah. Selama sepekan, para hakim digodok tentang teknis persidangan dan pelatihan menjalankan sidang. ”Ini agar kemampuan hakim meningkat,” tandasnya. (D3,F4-25,59)
Sumber: Suara Merdeka, 8 November 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan