UU Pencucian Uang: Solusi Alternatif Memberantas Illegal Logging

Kajian Indonesian Working Group on Forest Finance soal praktek Illegal logging di Indonesia dan upaya pemberantasannya.

UU Pencucian Uang: Solusi Alternatif Memberantas Illegal Logging Kasus Illegal Logging yang terungkap akhir-akhir ini di Kalimantan Barat khususnya di Kabupaten Ketapang seakan menelanjangi kembali operasi-operasi pemberantasan illegal logging yang telah dilakukan pemerintah dalam 3 tahun terakhir ini. Selain Ketapang, kasus-kasus illegal logging yang belum tertangani di antaranya Kasus Tenda Biru I dan II (Kalbar), Sebangau (Kalteng), Riau, dan putusan kontroversial pembebasan Adelin Lis di Sumatera Utara yang terus menyisakan persoalan dalam pemberantasan illegal logging di Indonesia. Tindakan rerpresif Mabes polisi dalam penanganan perkara illegal logging di Ketapang saat ini dapat dikatakan merupakan momentum penting bagi polisi dan aparat hukum lainnya untuk menunjukan bukti keseriusannya dalam menindak para pelaku illegal logging termasuk beking-bekingnya sehingga illegal logging benar-benar dapat dibumi hanguskan. Saatnya penggunaan hukum pencucian uang untuk proses penyelidikan dan penyidikan perkara illegal logging Ketapang dilakukan sebab polisi telah mengantongi informasi dan data, barang bukti (kayu) yang ditemukan, serta adanya pelaku yang telah tertangkap. Dalam proses hukum ini, Polri diharapkan dapat bekerjasama dengan PPATK guna menyelidiki transaksi-transaksi keuangan yang dilakukan antar tersangka, serta aset-aset tersangka yang terlibat dalam kasus illegal logging Ketapang. Ini penting dilakukan agar para tersangka dalam kasus ini dapat dijerat dengan UU Pencucian Uang. Mengapa UU Pencucian Uang Harus digunakan? Sedikitnya ada tiga undang-undang dalam lingkup kehutanan dan lingkungan hidup yang sering digunakan oleh aparat hukum dalam penangan tindak pidana kehutanan yakni: (1) UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, (2) UU No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, (3) UU No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya ALam Hayati dan Ekosistemnya. Hanya saja ketiga undang-undang ini belum sanggup untuk menjamah para pelaku intelektual kejahatan kehutanan. Jika merujuk kepada Undang-Undang 41/1999 Tentang Kehutanan, yang paling banyak terjerat adalah para pelaku lapangan seperti buruh tebang dan buruh angkut (masyarakat), dan pemilik jasa transportasi yang membawa dan atau memindahkan kayu hasil tebangan liar dari suatu tempat ke tempat lain. Mereka ini memang (terbukti) menduduki kawasan hutan, menebang, membawa, menguasai, memiliki, dan mengangkut hasil hutan tanpa izin yang sah (pasal 50 ayat 3 UU 41/1999). Permasalahan utama gagalnya penegakan hukum kasus illegal logging adalah aktor intelektualnya selama ini terlalu kuat untuk ditembus hukum. Kekebalan pelaku penebangan liar terhadap hukum dikarenakan keterkaitannya dengan institusi pemerintah dan oknum pejabat sipil maupun militer yang membeking sehingga pelaku sangat sulit untuk disentuh hukum. Penyelesaian kasus-kasus illegal loggingpun di pengadilan yang selama ini terdengar umumnya hanya berakhir dengan penyitaan dan pelelangan hasil kayu tangkapan. Tak sedikit yang berakhir dengan putusan bebas karena kurangnya bukti keterlibatan. Kegagalan penegakan hukum atas tindak pidana di bidang kehutanan ini memberikan pelajaran bagi kita untuk mencari sisi lain yang dapat dijadikan celah untuk menjerat pelaku utamanya. Pendekatan lain adalah pengusutan dari sisi keuangan atau mengejar harta hasil kejahatan (follow the money) Indonesia sudah memiliki UU Pencucian (UU 15/2002). Tahun 2003, UU Pencucian Uang direvisi (UU 25/2003) dengan memasukan sektor kehutanan ke dalamnya. Artinya, kejahatan di sektor kehutanan memiliki resiko terjadinya pencucian uang sama halnya dengan kejahatan korupsi, perdagangan senjata, narkoba, dan terorisme. Aparat hukum pun dapat menjerat pelaku kejahatan kehutanan termasuk illegal logging dengan sanksi pidana pencucian uang. Saat ini UU Pencucian Uang merupakan instrumen hukum yang tersedia untuk mengejar harta hasil kejahatan. Termasuk harta hasil illegal logging. Karena kayunya hasil illegal logging maka uangnya adalah uang haram. Transaksi bisnis illegal logging melalui bank yang dilakukan oleh pelaku illegal logging akan dijadikan fokus penyelidikan. Menurut Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), Pencucian Uang didefinisikan sebagai sebuah proses atau tindakan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal dari uang atau aset yang diperoleh dari pidana yang dilanjutkan dengan merubahnya menjadi aset yang seolah-olah berasal dari aktivitas bisnis yang legal. Paling tidak ada tiga cara untuk melakukan pencucian uang yakni; (1) Placement merupakan fase menempatkan uang yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan misalnya dengan pemecahan sejumlah besar uang tunai menjadi jumlah kecil yang tidak mencolok untuk ditempatkan dalam sistem keuangan, (2) Layering, adalah proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/menyembunyikan sumber uang “haram” tersebut, (3) Integration di sini uang yang ‘dicuci’ melalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya. Pelaku illegal logging bisa menggunakan salah satu dari ketiga cara di atas atau dapat menggunakan ketiga-tiganya untuk melakukan pencucian uang. Dana hasil illegal logging dapat dipecah dan dimasukan pada bank (placement), dan kemudian -dapat juga- disamarkan (layering) dengan melakukan perpindahan atau transfer ke berbagai nama dan nomor rekening ke beberapa bank dan selanjutnya dapat diinvestasikan (integration) kedalam bisnis legal seperti, mendirikan hotel; jasa transportasi dan travel, mendirikan BPR, dan dapat dipergunakan kembali dalam bisnis illegal logging. Dalam proses ini bank memiliki peran besar untuk memfasilitasi ketiga cara pencucian uang tersebut. Perbankan saluran menarik Perbankan merupakan channel yang paling menarik digunakan dalam kejahatan pencucian uang mengingat perbankan merupakan lembaga keuangan yang paling banyak menawarkan instrumen keuangan. Banklah tempat transaksi yang paling efektif dalam bisnis kehutanan mengingat jaringan bank khususnya bank-bank nasional milik pemerintah telah memiliki sistem operasional yang online ke seluruh pelosok daerah yang memungkinkan transakasi dapat dilakukan dengan mudah. Pasal 13 UU Pencucian Uang menyebutkan bahwa bank wajib menyampaikan laporan kepada PPATK mengenai transaksi keuangan mencurigakan atau Suspicious Transaction Report (STR) serta wajib melaporkan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai atau Cash Transaction Report (CTR) dalam jumlah kumulatif Rp 500 juta. Ketentuan ini jelas mengikat semua bank untuk selalu memeriksa dan meneliti setiap transaksi yang dilakukan dengan nasabahnya dan wajib melaporkan kepada PPATK jika terdapat hal-hal yang mencurigakan antara lain seperti transaski yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi. Dalam kasus illegal logging, bank sebenarnya dapat dengan mudah mendeteksi baik STR maupun CTR nasabahnya karena: 1) Umumnya setiap mata rantai pelaku utama illegal logging seperti, beckers, cukong, dan perusahaan atau industri kayu, selalu menggunakan bank sebagai tempat transaksi mengingat uang yang dihasilkan dalam bisnis ini selalu dalam jumlah yang besar, sehingga tidak mungkin akan dibawa dalam bentuk tunai. Transaski inipun pasti akan menunjukan pola yang mencurigakan. 2). Bank akan terbantukan dengan adanya berbagai informasi baik dari media masa maupun dari LSM bahkan dari pemerintah/Dephut sendiri tentang para pemain yang terlibat dalam kasus-kasus illegal logging yang terjadi sehingga bank bisa langsung memproses baik STR maupun CTR dari nasabahnya dan diteruskan kepada PPATK dan selanjutnya PPATK dapat melaporkannya kepada Polri. Penyelidikan Keuangan Oleh Polisi Selama ini dalam menangani proses hukum perkara illegal logging Polisi lebih cenderung hanya menggunakan undang-undang kehutanan dan lingkungan hidup yang ternyata sulit membuktikan keterlibatan pelaku intelektual dan beking illegal logging. Penggunaan UU Kehutanan misalnya sulit membuktikan keterlibatan actor intelektual dan beking illegal logging memenuhi unsur-unsur yang terbukti memiliki, menguasai, mengangkut hasil hutan adalah penebang dan pemilik alat angkut kayu. Dengan adanya UU Pencucian Uang, Polri kini mempunyai intrumen hukum baru untuk melakukan penyelidikan keuangan dan mengungkapan kejahatan pencucian uang dibalik aksi illegal logging. UU TPPU mengijinkan penyidik POLRI untuk menyelidiki setiap laporan yang telah disampaikan oleh PPATK berkaitan dengan dugaan terjadinya transaksi keuangan yang yang mencurigakan (Suspicous Transaction Report) yang terkait diduga terkait dengan bisnis di bidang kehutanan. Melalui UU Pencucian Uang polisi dapat menelusuri transaksi keuangan serta membekukan sementara nomor rekening di bank, serta penyita harta/asset pelaku illegal logging guna kepentingan penyidikan. Dukungan Dephut Departemen Kehutanan sebagai wakil pemerintah dalam mengelola sektor kehutanan di Indonesia bisa memainkan peran kunci sehubungan dengan masuknya bidang kehutanan dalam UU Pencucian Uang. Dephut wajib memberikan dukungan penuh baik kepada PPATK maupun Polisi dalam implementasikan UU Pencucian Uang dalam membantu penegakan hukum atas permasalahan illegal logging. Kerjasama MoU antara Dephut dan PPATK sebisanya dapat berjalan efektif seperti pertikaran informasi, dan pembentukan gugus tugas bersama penanganan illegal logging dan pencucian uang dapat turut membantu pencegahan dan pemberantasan illegal logging. PPATK Penghubung Apagakum dan Lembaga Keuangan Di bidang kehutanan, selain telah menjalin kerjasama dengan Departemen Kehutanan, PPATK ditunggu kiprahnya di internasional sebagai satu-satunya Financial Intelejen Unit di dunia yang menangani tindak pidana pencucian uang di sektor kehutanan khususnya masalah illegal logging. Ini adalah konsekuensi dari masuknya bidang kehutanan dalam undang-undang anti pencucian uang di Indonesia. PPATK bertugas untuk menerima, menganalisis dan mengevaluasi laporan penyedia jasa keuangan serta meneruskannya kepada aparat penegak hukum menempatkan dirinya sebagai “liaison (penghubung)” yang menjembatani penyedia jasa keuangan (industri) dengan instansi penegak hukum untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan. Selain tugas, PPATK juga memiliki wewenang antara lain meminta dan menerima laporan dari penyedia jasa keuangan (PJK); meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum. PPATK dalam berbagai kesempatan telah mengungkapkan dalam hasil analisisnya, akan adanya sejumlah transaksi keuangan yang tidak wajar (unusual transaction) pada Penyedia Jasa Keuangan terkait. Laporan ini telah diserahkan kepada kepolisian selaku aparat penyidik, lengkap dengan nama pelaku, bukti-bukti transaksi, jumlah dana yang ditransaksikan, serta modus pencucian uang. Keefektifan instrumen anti pencucian uang ini sangat tergantung pada komitmen, kerjasama dan peran aktif PPATK, Polisi, Penyedia Jasa Keuangan, Departemen Kehutanan, termasuk lembaga Lingkungan, LSM dan masyarakat, sebagai upaya untuk mendukung penegakan hukum di bidang kehutanan dan lingkungan. Kontak IWGFF: Willem Pattinasarany HP: 0815 8642 6308 --------------------------- IWGFF Indonesian Working Group on Forest Finance Manggala Wanabakti Building IV/502 A Jl. Gatot Subroto Jakarta Pusat, Indonesia 10270 Phone 021-5711309. Fax. 021 –5711309 Email : iwgff@nusa.or.id Web Site : www.forestfinance.org

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan