UU Pemilu; Sistem Proporsional Terbuka Dorong Politik Berbiaya Tinggi

Penerapan sistem proporsional terbuka dalam pemilihan calon anggota legislatif berpotensi melanggengkan praktik politik berbiaya tinggi. Sistem ini mendorong kandidat berkompetisi dengan cara mengandalkan publikasi dibandingkan kerja politik berbasis kerja nyata.

Ketika para calon bersaing mendapat simpati pemilih, cara paling cepat adalah dengan menguatkan kampanye untuk meningkatkan popularitas. Cara ini, sayangnya, cenderung membutuhkan biaya besar. Hanya calon dengan dukungan dana kuat yang mampu 'menjual diri' melalui publikasi masif. Diperlukan aturan ketat untuk menjaga proses kampanye tetap berjalan sesuai jalur.

Sayangnya, aturan mengenai penggunaan dana kampanye tidak diakomodasi dalam UU Pemilu yang baru disahkan pada 14 April 2012 lalu. Ide yang diajukan kelompok masyarakat sipil mengenai pembatasan penggunaan dana kampanye belanja dana kampanye tidak diakomodasi dalam UU Pemilu 2012.

Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Abdullah Dahlan, mengatakan, UU Pemilu yang disahkan beberapa hari lalu belum menyentuh substansi pengaturan dana kampanye. Padahal, dengan sistem proporsional terbuka, pengaturan secara komprehensif mengenai pembiayaan dan penggunaan dana kampanye sangat diperlukan karena para kandidat bertarung di arena terbuka yang membutuhkan banyak amunisi pembiayaan.

"Kenyataannya, batasan sumbangan yang bersumber dari pihak ketiga justru meningkat, dari yang sebelumnya maksimal Rp 5 miliar menjadi Rp 7,5 miliar sumbangan dari badan hukum. Tidak ada spirit yang jelas untuk menurunkan biaya politik," kata Abdullah dalam konferensi pers di Cikini, Rabu (18/4/2012).

Kesempatan pemberian dana kampanye yang begitu besar dinilai membuka peluang pihak ketiga yang berupaya menanamkan pengaruhnya melalui partai politik.

UU Pemilu juga masih meninggalkan celah dalam aturan penggunaan dana kampanye. Tidak ada pembatasan penggunaan dana, misalnya, untuk beriklan di media. Pemantauan ICW, pengeluaran terbesar dana kampanye adalah untuk belanja iklan. "Pada 2009 lalu, iklan media bukan bagian utuh dalam metode kampanye. Harusnya masuk ke aturan di UU, untuk meminimalkan cost politik mengurangi dominasi popularitas," tukas Abdullah.

Peneliti dari CSIS Philip J Vermonte mengatakan, definisi korupsi politik belum jelas dalam pembahasan UU Pemilu. Philip mengusulkan UU Pemilu memasukkan definisi korupsi politik secara lebih terperici. "Misalnya, korupsi politik ketika seorang kandidat menerima sumbangan yang bertentangan dengan hukum, sumbangan dari transaksi yang koruptif, atau dana yang berasal dari penggorengan saham yang marak terjadi menjelang pemilu," terang Philip. Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan