UU No 3/2009 Cacat Prosedur; Mahkamah Konstitusi Tolak Batalkan UU Mahkamah Agung

Mahkamah Konstitusi pada sidang di Jakarta, Rabu (16/6), menilai, pembuatan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung cacat prosedural. Ada kesalahan konstitusional dalam pembuatan UU itu, yakni tak sesuai dengan Pasal 20 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.

Namun, demi asas kemanfaatan, MK menolak membatalkan UU MA karena menyatakan UU No 3/2009 itu tak memiliki kekuatan hukum mengikat tidak membuat keadaan lebih baik.

Taufik Basari dan Supriyadi, kuasa hukum pemohon uji formil dan uji materi terhadap UU MA, menilai, putusan MK yang tak bersedia membatalkan UU itu hanya untuk memuaskan semua pihak. Putusan itu tak tegas serta tak berdampak memberi hukuman yang memadai kepada pembuat UU yang melakukan kesalahan prosedural. Hal itu tak pas untuk kepentingan penegakan hukum ke depan.

Permohonan uji materi terhadap UU MA diajukan Asfinawati (advokat), Hasril Hertanto (Ketua Pelaksana Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia), Danang Widoyoko (Koordinator Indonesia Corruption Watch), dan Zainal Arifin Mochtar (Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada).

Dalam pertimbangan hukumnya, MK mendasarkan pada risalah sidang pembahasan Rancangan UU MA pada 18 Desember 2009 atau pembahasan tahap II, khususnya dalam materi usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun. Pembahasan itu melibatkan lembaga Presiden dan DPR. Mengacu Pasal 20 Ayat 2 UUD 1945, setiap RUU dibahas DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Persetujuan diberikan masing-masing sebagai lembaga. Presiden seharusnya memberikan persetujuan atas RUU yang berstatus RUU DPR, yang telah melalui pengambilan keputusan di tingkat DPR. Presiden tidak terlibat di dalamnya.

Namun, dalam sidang 18 Desember 2008 itu, DPR memberikan kesempatan kepada Presiden untuk menyampaikan pendapatnya sebelum DPR mengambil putusan. Hal itu terbukti dengan adanya agenda untuk mendengarkan pendapat setiap fraksi yang dilanjutkan dengan pendapat Presiden dan baru kemudian diambil keputusan.

Menurut MK, seharusnya Presiden menyampaikan pendapat setelah putusan DPR. ”Kehadiran Presiden dalam Sidang Paripurna DPR dan memberikan pendapat secara berurutan setelah pandangan fraksi baru diambil keputusan untuk menyetujui RUU, menjadikan pendapat Presiden nilainya sama dengan pendapat fraksi DPR dan Presiden kedudukannya sama dengan fraksi,” kata hakim konstitusi, Akil Mochtar.

Kesimpulan itu sesuai pembelaan teradu pada putusan Badan Kehormatan DPR. (ana)

Sumber: Kompas, 17 Juni 2010
---------------------
MK Anggap UU MA Cacat Prosedural

Setelah lebih dari setahun, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan uji formal Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Mahkamah Agung (MA) yang diajukan sejumlah organisasi dan LSM. Dalam putusannya, MK menolak permohonan uji formal itu kendati mengakui ada cacat prosedur dalam penyusunannya.

''MK menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,'' kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Mahfud M.D. dalam sidang di gedung MK kemarin (16/6).

Majelis hakim konstitusi itu beranggota Achmad Sodiki, Harjono, Akil Mochtar, Muhammad Alim, Arsyad Sanusi, Maria Farida, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva. Dalam putusan tersebut, Arsyad mengajukan concurring opinion (putusan sama, tapi berbeda pertimbangan). Sedangkan Sodiki dan Alim mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda).

Kendati menyatakan menolak permohonan uji formal tersebut, MK mengakui ada cacat prosedur dalam penyusunan UU itu. Yakni, saat pengambilan putusan jumlah peserta sidang paripurna DPR tidak kuorum. Pimpinan sidang ketika itu, Ketua DPR Agung Laksono, dinilai mengabaikan interupsi Fraksi PDIP yang menyatakan secara tegas keberatan usia hakim agung menjadi 70 tahun. Fraksi PDIP mengusulkan usia hakim agung tetap 65 tahun.

Saat UU itu disahkan pada rapat paripurna tahun lalu, hanya 90 hingga 96 anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna. Padahal, syarat minimal pengesahan sebuah undang-undang adalah 50 persen plus satu dari anggota DPR kala itu, 550 orang. Agung sempat diperiksa Badan Kehormatan DPR. Tapi, dia tetap mengetok palu dengan alasan hampir semua anggota rapat menjawab setuju.

Meski begitu, MK tetap menolak uji formal tersebut dengan alasan mempertimbangkan asas manfaat. ''Meskipun terdapat cacat prosedural dalam pembentukan Undang-Undang a quo, secara materiil UU tersebut tidak menimbulkan persoalan hukum,'' kata Mahfud saat membacakan pendapat MK.

Pengacara pemohon, Taufik Basari, menyayangkan putusan itu. Dia menyatakan tidak habis pikir mengapa MK menolak permohonan itu, namun menyatakan ada kesalahan prosedur dalam penyusunannya. Padahal, kata dia, UU tersebut bisa digunakan untuk mengingatkan DPR agar semakin cermat dalam setiap proses legislasi.

''Karena putusannya ditolak, tidak ada hukuman, tidak ada sanksi bagi kesalahan prosedur itu,'' kata pengacara yang karib dipanggil Tobas itu. (aga/c4/ari)

Sumber: Jawa Pos, 17 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan