UU MA; Jika Dibatalkan, Ada Kekosongan Hukum

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengungkapkan, pihaknya tak dapat membatalkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Sebab, hal itu akan menimbulkan kekosongan hukum dan menjadi problem dasar keberadaan MA.

”UU yang dulu sudah dicabut. Kalau sekarang juga dicabut, apa dasar MA saat ini? Ini bisa kacau,” kata Mahfud di Gedung MK, Jakarta, Kamis (17/6).
Rabu kemarin, MK menyatakan, UU MA cacat prosedur karena proses pembuatannya (khususnya pembahasan tahap kedua RUU tersebut) tidak sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR dan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-Undangan dan Pasal 20 Ayat 2 UUD 1945.
Mekanisme pengambilan keputusan itu dinilai keliru. Seharusnya RUU tersebut disetujui bersama antara DPR dan Presiden sebagai lembaga negara. Namun, yang terjadi, RUU disetujui Presiden ketika RUU itu belum selesai di tingkat DPR. Presiden dianggap nilainya sama dengan fraksi di DPR. Namun, demi asas manfaat, MK tidak membatalkannya (Kompas, 16/7).
Selain karena alasan kekosongan hukum, menurut Mahfud, MK menilai, UU MA juga telah menjadi acuan bagi penyusunan UU Kekuasaan Kehakiman, UU Peradilan Umum, dan lainnya. Ia mencontohkan tentang kemungkinan terjadinya kekacauan pengaturan, misal terkait usia pensiun. UU Peradilan Umum telah mengatur usia pensiun hakim tinggi adalah 67 tahun.
”Apabila UU MA yang mengatur usia pensiun hakim agung 70 tahun dibatalkan dan usia pensiun hakim agung kembali 65 tahun, maka jadinya usia pensiun hakim agung di bawah hakim tinggi,” katanya. Ia juga memandang adanya hubungan antara MA dan Komisi Yudisial terkait penegakan kode etik sudah berjalan bagus.
Ketua MA Harifin A Tumpa, saat dikonfirmasi mengenai putusan MK itu, mengungkapkan bahwa putusan tersebut sebenarnya warning untuk DPR agar dalam pembuatan UU tidak menimbulkan persoalan.
Dengan putusan UU MA, menurut Mahfud, MK secara resmi membuka peluang dilakukannya uji formil terhadap proses pembentukan UU di DPR. MK memberi waktu 45 hari terhitung sejak UU itu dicantumkan di dalam Lembar Negara untuk mengajukan permohonan uji formil.
Terkait batas waktu 45 hari, ia menganggap hal tersebut merupakan waktu yang cukup untuk mempersiapkan permohonan. ”Di MA saja uji formil 90 hari. Kami ambil 45 hari. Biar lebih jelas. Itu tidak terlalu cepat,” ujarnya. (ANA)
Sumber: Kompas, 18 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan