UU Antikorupsi Bisa Jerat Pelaku Kejahatan Sektor Kehutanan

Praktik kotor bisnis perkebunan kelapa sawit telah lama mendapat gugatan dari masyarakat luas. Sayangnya, Undang-Undang Perkebunan tak cukup kuat untuk memupus terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), kerusakan lingkungan, serta kerugian negara akibat kongkalikong antara pebisnis dan pemilik otoritas di wilayah perkebunan.

"Diperlukan upaya luar biasa untuk menjerat pelaku kejahatan di sektor kehutanan, diantaranya dengan menggunakan UU Tindak Pidana Korupsi," ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta, Kamis (22/9/2011).

Emerson mengatakan, ada banyak celah korupsi dalam hiruk pikuk bisnis kelapa sawit. Dari catatan ICW, praktik suap telah terjadi sejak dalam proses pemberian ijin pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Di beberapa daerah di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, pemerintah daerah setempat bahkan mematok nominal tertentu bagi perusahaan yang hendak membuka lahan perkebunan. "Suap juga dihitung berdasarkan luas perusahaan. Di Kalimantan, rata-rata Rp 750 juta per 1000 hektar lahan," terang Emerson.

Bersama Koalisi Anti Mafia Kehutanan, ICW telah menyusun empat laporan dugaan korupsi di sektor kehutanan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. "Tanggal 26 September mendatang akan kami laporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," ujar Emerson.

Di sisi lain, bisnis perkebunan khususnya perkebunan kelapa sawit telah merampas hak konstitusional warga setempat untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Undang-undang nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan masih memuat sejumlah pasal yang berpotensi mengkriminalisasi petani dan masyarakat adat. Sejak UU tersebut diberlakukan pada 2004, jumlah petani yang dipidanakan akibat konflik dengan perusahaan perkebunan meningkat. "Demikian juga, ekspansi bisnis perkebunan melonjak drastis," ungkap Edy Surtisno dari Departemen Kampanye Sawit Watch.

Pada Senin (19/9/2011), Mahkamah Konstitusi telah membatalkan pasal 21 dan 47 UU Perkebunan melalui judicial review yang diajukan kelompok petani. Pasal tersebut dinilai merugikan petani dan masyarakat adat karena mengatur larangan untuk melakukan perbuatan disebut sebagai "gangguan terhadap perkebunan". Sayangnya, pasal ini tidak menjelaskan secara rigid apa yang dimaksud dengan gangguan tersebut, sehingga banyak disalahgunakan oleh aparat penegak hukum demi kepentingan pengusaha perkebunan. Pembatalan kedua pasal tersebut mendapat apresiasi dari banyak pihak, utamanya mereka yang mendukung komunitas petani dan masyarakat adat.

Andi Muttaqien, peneliti Divisi Advokasi Hukum Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mengatakan, selain dua pasal yang rawan mengkriminalisasi petani tersebut, masih ada sejumlah aturan perundang-undangan tekait isu kehutanan yang menyisakan lubang yang dapat membahayakan masyarakat dan secara sepihak menguntungkan para pebisnis di sektor kehutanan. "Pemerintah harus mereview kembali aturan-aturan yang ada," ujarnya.

Sementara itu, M Darto dari Serikat Pekerja Petani Kelapa Sawit menyampaikan apresiasi terhadap putusan MK. Dia berharap pemerintah segera melakukan sinkronisasi terhadap aturan-aturan perkebunan dengan merujuk pada putusan MK. Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan