Usut Tuntas, Bukan Hentikan Skandal Pajak Asian Agri

Siaran Pers Bersama Koalisi Anti Mafia Pajak

Mega skandal pajak yang melibatkan Asian Agri Group sudah lebih 7 Tahun lalu terbongkar dan diusut oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Kejaksaan Agung.  Namun hingga kini baru 1 orang (Suwir Laut, Tax Manager Asian Agri Group) yang dihukum bersalah oleh Mahkamah Agung melakukan tindak pidana pajak. Meskipun Suwir Laut dihukum dengan masa percobaan, namun putusan MA pada Desember 2012 lalu juga menghukum Asian Agri membayar denda pajak senilai Rp 2,5 triliun. Melalui Kejaksan Agung, pihak Asian Agri sendiri akhirnya bersedia membayar denda tesebut kepada negara secara mencicil.

Apakah proses hukum terhadap Skandal Pajak Asian Agri Group sudah selesai? Jawabannya Belum. Setelah Suwir Laut, pada faktanya masih ada total 8 tersangka lain yang proses hukumnya seolah-olah dibiarkan mengambang oleh Kejaksaan Agung. Kedelapan tersangka itu antara lain: Semion Tarigan, Eddy Lukas, Linda Rahardja, Andrian, Willihar Tamba, Laksamana Adhyaksa, Tio Bio Kok dan Lee Boon Heng. Selain itu Sukanto Tanoto, selaku pemilik maupun Asian Agri Group secara korporasi juga belum tersentuh secara hukum.

Bukannya diproses ke tahap penuntutan, muncul informasi yang mengejutkan pihak Kejaksaan Agung baru-baru ini justru mengeluarkan Surat Ketentuan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPP) atas kedelapan orang tersangka tersebut.

Kejaksaan Agung beralasan proses hukum kedelapan orang tersangka tidak perlu lagi diteruskan karena telah diwakili Suwir Laut, Tax Manager Asian Agri, yang telah diputus bersalah oleh Mahkamah Agung dan Asian Agri telah diwajibkan membayar denda atas perkara pajak yang menyeretnya. Disamping itu Kejaksaan Agung menilai penghentian perkara merupakan pemenuhan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Jika informasi ini benar maka penghentian penuntutan ke 8 tersangka skandal Pajak Asian Agri Group maupun alasan yang dikemukakan Kejaksaan Agung adalah keliru, tidak mendasar, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bahwa dalam menghentikan penuntutan Kejaksaan Agung harus berpedoman atas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a terang-terangan menjelaskan alasan penghentian penuntutan oleh Kejaksaan, yaitu:

  1. Tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan tindak pidana ;
  2. Peristiwa yang terjadi bukan merupakan tindak pidana; atau
  3. Dihentikan dengan alasan demi hukum. penghentian penuntutan demi hukum berarti penghentian perkara dilakukan karena alasan hapusnya hak menuntut, hilangnya hak menjalankan pidana sebagaimana diatur Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 77 s/d 85 dan tindak pidananya telah kadaluwarsa.

Kejaksaan dalam hal ini juga keliru menggunakan asas nebis in idem sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) Udang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 18 ayat (5) secara terang menyebutkan:

“Setiap orang tidak dapat dituntut kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”

Kedelapan orang tersangka diatas hingga saat ini belum pernah dituntut oleh kejaksaan atas perkara penggelapan pajak Asian Agri jadi mustahil mereka dituntut untuk yang kedua kali atas perkara yang sama. Lantas bagaimana mungkin Kejaksaan Agung menggunakan asas nebis in idem dalam mengeluarkan keputusan penghentian penuntutan perkara ini yang nyata-nyata tak dapat diterapkan untuk kedelapan tersangka diatas.

Berdasarkan pasal 76 ayat 2 KUHP dan beberapa Yurisprudensi MA, nebis in idem mempunyai syarat: putusannya harus berupa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, putusannya berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya. Putusan MA terhadap Suwir Laut adalah hukuman 3 tahun penjara dengan masa percobaan selama 2 tahun dan denda. Bukan putusan bebas atau lepas dair tuntutan hukum.

Disamping itu Kejaksaan Agung seakan tidak paham tentang konsep pertanggung jawaban pidana yang melekat pada masing-masing individu dan tak berhenti karena diwakili oleh orang lain. Hukum Pidana tidak mengenal perwakilan dalam menjalankan pertanggung jawaban pidana. Disamping itu setiap orang wajib mempertanggung jawabkan perbuatan sesuai dengan kapasitas, kadar dan porsinya saat melakukan kejahatan.

Hal lainnya, Kejaksaan Agung seolah-olah mengabaikan Putusan Mahkamah Agung No 2239 K/PID.SUS/2012 (Suwir Laut), tanggal 18 Desember 2012 yang membuktikan adanya tax planning meeting yang diketahui oleh Direksi. Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Terdakwa Suwir Laut telah melakukan secara sengaja dan terencana salah satu bentuk modus operandi penghindaran pajak "Tax Evasion”.  Ditilik dari perspektif pengurus dan kuasa dalam Pasal 32 UU KUP, Suwir Laut – dalam kedudukannya - tidak memenuhi kriteria sebagai pengurus atau kuasa sehingga ia lebih tepat disebut sebagai pihak yang turut serta melakukan (mededader) atau membantu melakukan (medeplichtig). Ini merupakan petunjuk yang nyata bahwa masih terdapat pihak yang merupakan pengurus menurut Pasal 32 UU KUP.  Merujuk pada ketentuan Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP, pengertian “setiap orang” termasuk pula wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Penuntutan delapan orang tersangka ini merupakan upaya untuk mencari “wakil, kuasa atau pegawai dari Wajib Pajak” yang menyuruh melakukan atau menganjurkan. Dan dari perspektif Pasal 18 UU PPh, Putusan Mahkamah Agung merupakan petunjuk yang jelas bahwa terdapat beneficial owner yang harus bertanggung jawab terhadap tindak pidana yang dilakukan Suwir Laut dan terancam tidak dapat dikejar jika penuntutan delapan tersangka ini dihentikan.

Penghentian proses hukum terhadap Skandal Pajak Asian Agri akan menjadi preseden buruk bagi upaya penegakan hukum di bidang perpajakan dan bertentangan dengan Putusan Mahkamah Agung No 2239 K/PID.SUS/2012, yang membuktikan adanya perbuatan yang sengaja dan terencana menggelapkan pajak dan memberi petunjuk adanya kuasa, wakil, atau pegawai wajib pajak yang menganjurkan atau menyuruh melakukan selain Suwir Laut. Tanpa alasan yang dipertanggungjawabkan, penghentian proses hukum ini juga dapat menimbulkan kecurigaan banyak pihak adanya konspirasi antara penegak hukum dengan pihak pengemplang pajak maupun dengan penguasa. Selain itu tindak penghentian ini juga bertolak belakang dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Maret 2008 yang menghendaki penyelesaikan kasus hukum terhadap Asian Agri.

Berdasarkan uraian diatas kami meminta:

  1. Kejaksaan Agung sebagai penuntut umum untuk tidak menghentikan penuntutan terhadap 8 tersangka pelaku pengemplang pajak dilingkungan Asian Agri Group dan terus memproses tersangka hingga tahap pemeriksaan di Pengadilan.
  2. Direktorat Jenderal Pajak perlu mengajukan Pra-peradilan jika betul adanya keputusan penghentian penuntutan terhadap 8 tersangka pidana pajak yang dkeluarkan oleh Kejaksaan Agung.
  3. Kejaksaan Agung dan atau KPK harus menjerat para perusahaan pengemplang pajak -termasuk Asian Agri - dengan Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU Tindak Pidana Korupsi.
  4. Kejaksaan Agung harus tunduk pada Putusan MA No 2239 K/PID.SUS/2012, tanggal 18 Desember 2012 yang membuktikan ada perbuatan yang sengaja dan terencana.  Berdasarkan Pasal 32, 38, dan 39 UU KUP, Kejasaan Agung harus menuntut kuasa, pengurus, atau pegawai wajib pajak yang “menganjurkan dan menyuruh melakukan” termasuk membuktikan dan menuntut orang penerimaan manfaat (beneficial owner) dari penggelapan pajak ini.
  5. Presiden sesuai dengan pernyataan sikapnya yang meminta kasus Asian Agri segera diselesaikan harus memanggil dan mempertanyakan Kejaksaan Agung tentang kejelasan penuntasan perkara ini. Dan mendorong pengusutan perkara hingga tuntas.

Jakarta, 17 Maret 2014
 

Koalisi Anti Mafia Pajak

Uli Parulian (Indonesian Legal Resource Center), Rio Ismail (Ecological Justice), Agus Sunaryanto (Indonesia Corruption Watch), Prastowo (Praktisi Perpajakan)

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan