Usut Dugaan Penyelewengan Pos Anggaran di DPRD Jateng [02/06/04]

Biaya Kegiatan Khusus Rp 6,02 Miliar Dibagi-bagi. Setiap Orang Rp 12,8 Juta Per Triwulan

Kalangan akademisi hukum dan ekonomi meminta agar pihak aparat penegak hukum segera mengusut setuntas-tuntasnya kasus dugaan penyelewengan pos anggaran belanja DPRD Jateng.

Aparat kepolisian dan kejaksaan diminta segera memulai penyelidikan atas dugaan penyelewengan uang negara miliaran rupiah tersebut dan membawa para pelakunya ke pengadilan.

Hal itu mengemuka dalam acara Debat Ahli menyoroti Dugaan penyelewengan APBD Jateng (Pos Anggaran Belanja Dewan), yang digelar Forum Wartawan Pemprov dan DPRD Jateng (FWPJT), di Semarang, Senin (31/5). Staf pengajar FE Undip, yang juga aktif meneliti kasus dugaan penyelewengan dana APBD, Dr FX Sugiyanto, menegaskan, kasus dugaan penyelewengan dana pos anggaran belanja dewan sebenarnya sangat mudah untuk diusut dan diselidiki.

Dikatakan, pada tahun 2003, terdapat anggaran publik Rp 49 Miliar, padahal, sesuai ketentuan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, anggaran publik itu seharusnya tidak ada. Karena menurut Kepemendagri, tidak ada lagi belanja publik. DPRD tidak layak membuat anggaran publik, karena produk DPRD tidak bisa secara langsung diterima oleh masyarakat. Ini bisa diusut,'' tegasnya.

Penggelembungan

Dia juga menyoroti pembelian sound system Rp 200 juta dan laptop Rp 75 juta. Anggaran untuk membeli peralatan sound system ini dianggarkan tiap tahun, jika benar dilakukan pasti akan menumpuk di gudang dewan. Tapi nyatanya tidak ada, jadi ini jelas merupakan penyimpangan, penggelembungan dan pembengkakan dana (mark up) anggaran.

Sebelumnya, KP2KKN (Komite Penanggulangan dan Pemberantasan KKN) Jateng mendesak DPRD Jateng segera mengembalikan pos biaya operasional anggaran APBD 2002 dan 2003 yang dinilai menyalahi ketentuan, khususnya 7 item pos biaya operasional sebesar Rp 18.643.710.000, yang terdiri atas biaya bantuan rapat-rapat Rp 186.450.000, biaya kegiatan khusus Rp 6.000.000.000, biaya rumah tangga Dewan Rp 3.745.800.000.

Biaya pembahasan dan penetapan perda Rp 3.679.560.000, biaya observasi dan aspirasi Rp 755.400.000, dana penunjang kegiatan Rp 800.000.000, dan sarana khusus dari Rp 4.594.500.000 dihapus Rp 3.476.500.000 dan tinggal Rp 1.118.050.000.

Kendati demikian, 7 item pos biaya operasional itu, dalam buku penjabaran perubahan APBD 2004 telah dihapus. Menurut Koordinator Badan Pekerja KP2KKN Jateng, Muhajirin SH, anggaran yang sudah diturunkan dalam APBD 2002 dan 2003 tersebut telah menyalahi aturan. Dengan adanya penghapusan dalam APBD 2004 membuktikan terjadi kesalahan, kesengajaan dan kecerobohan dalam penyusunan anggaran.

Biaya operasional 2003 bahkan juga diduga telah dibagi-bagikan kepada pimpinan dan anggota dewan, antara lain dana operasional fraksi Rp 17 miliar. Dana tersebut setelah dipersoalkan publik lalu dibatalkan karena fraksi bukan termasuk alat kelengkapan dewan.

Bagi-bagi

Dugaan bagi-bagi dana operasional itu semakin jelas dengan penerbitan surat yang diteken Ketua DPRD Mardijo tanpa tanggal dan nomor. Misalnya biaya kegiatan khusus Rp 6,024.375.000 dibagikan Rp 12.801.000 per orang per triwulan.

Yang mengherankan, dalam SK DPRD Jateng Nomor 05/2003 tentang Pemberian Bantuan Pelaksanaan Kegiatan Khusus disebutkan Rp 15.600.000 per anggota per triwulan.

Ada kejanggalan lebih kurang Rp 2,2 juta per anggota per triwulan yang tidak jelas raib ke mana.

Wakil Ketua DPRD Jateng HM Hasbi, atas nama DPRD Jateng, sudah membantah, dengan mengatakan, seluruh anggaran dana APBD Jateng, khususnya untuk pos DPRD didasarkan pada Surat Edaran Mendagri Nomor 161/3211/SJ/2003 tertanggal 29 Desember 2003.

Kami tetap berpegang pada UU Nomor 4 Tahun 1999, UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Surat Edaran Mendagri Nomor 161/3211/SJ/2003 tersebut, tegas Hasbi.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Undip, Prof Dr Nyoman Serikat Putra Jaya, mempertanyakan anggaran belanja dewan. Anggaran belanja itu untuk apa saja dan apakah sudah sesuai dengan asas kepatutan. Jika pembengkakan anggaran dilakukan untuk tujuan memperkaya diri. Pelakunya bisa diusut dan diseret ke meja hijau,'' tegasnya.

Sedangkan ahli hukum tata negara dari FH Undip, Arief Hidayat SH MA, menilai, sekarang ini, penyimpangan dijadikan dengan cara memanfaatkan hukum. Penyelwengan terjadi karena adanya dasar hukum yang dijadikan landasan hukum untuk kepentingan pribadi para anggota dewan.

Atas berbagai dugaan penyelewenangan tersebut, Asisten Intelijen Kejati Jateng, Dzulkarnain SH, pihaknya sudah mendengar adanya dugaan penyimpangan anggaran DPRD Jateng, baik melalui media massa maupun dari laporan LSM.

Namun, saat kami melakukan penyelidikan banyak mengalami hambatan. Kami sendiri tidak pernah ada kesatuan pendapat, apakah hal itu bisa diusut atau tidak. Kesulitan yang utama adalah anggaran DPRD sudah dipayungi dengan Perda dan SK Pimpinan Dewan,'' tegas Dzulkarnain. (142)

Sumber: Suara Merdeka, 2 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan