Urgensi Reshuffle Hakim Agung
Audiensi antara Komisi Yudisial dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melahirkan agenda revolusioner, seleksi ulang hakim agung dengan payung hukum peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Apakah ide tersebut dimungkinkan dari kacamata hukum tata negara?
Perbaikan sistem peradilan memang suatu keniscayaan. Mafia peradilan sudah merasuk dan merusak seluruh sendi peradilan kita, tidak terkecuali Mahkamah Agung (MA). Dibutuhkan langkah-langkah revolusioner, atau dalam bahasa pertemuan Susilo Bambang Yudhoyono dengan aparat penegak hukum di MA akhir tahun lalu: akselerasi reformasi peradilan.
Perbaikan sistem tentu diperlukan. Cetak biru yang sudah dibuat MA sebenarnya adalah panduan yang cukup lengkap untuk menciptakan good judicial governance. Sayangnya, panduan itu belum dilaksanakan secara konsekuen.
Namun, di samping menciptakan sistem yang baik, percepatan perlu dilakukan dengan melakukan akselerasi regenerasi hakim agung. Mengapa?
Jawabannya: pertama, secara fungsi, kewenangan MA sangatlah vital. Ialah yang menjadi ujung perjalanan proses peradilan di luar Mahkamah Konstitusi. Jika MA berhasil disterilkan, mafia peradilan di tingkat bawah akan menjadi tidak efektif dan hilang dengan sendirinya.
Kedua, secara strategi lapangan, meremajakan hakim agung relatif lebih mudah. Karena, hanya menyangkut 49 hakim agung. Suatu jumlah yang amat sedikit dibandingkan ide mengganti seluruh hakim di Indonesia.
Dua strategi
Akselerasi hakim agung bisa dilakukan dengan dua strategi. Pertama dengan cara yang progresif dan kedua dengan cara yang revolusioner. Cara progresif sendiri bisa dipilah menjadi tiga, yaitu aktif, persuasif, dan represif.
Cara aktif adalah wilayah kerja yang bisa diinisiasi oleh Komisi Yudisial (KY). Menurut Undang- undang (UU) MA, jumlah hakim agung maksimal adalah 60 orang. Itu berarti, dengan jumlah hakim agung saat ini 49 orang, KY sebagai lembaga yang menurut konstitusi melakukan seleksi awal hakim agung dapat segera memulai proses rekrutmen 11 hakim agung baru. Kebutuhan 11 hakim agung itu, di samping secara teknis untuk mempercepat kerja pengurangan tumpukan perkara di MA, adalah juga untuk memperbesar komposisi hakim agung yang antimafia peradilan.
Berkait dengan cara aktif ini, perlu digarisbawahi bahwa pertengahan 2005 MA mengeluarkan keputusan MA yang isinya memperpanjang masa pensiun belasan hakim agung. Ketua MA bahkan mengeluarkan keputusan MA yang ditandatanganinya sendiri yang memperpanjang masa pensiun dirinya sendiri. Suatu keputusan yang teramat sarat benturan kepentingan. Seharusnya, untuk memperpanjang masa pensiun itu, MA tidak dapat mengeluarkan keputusan sendiri, tetapi harus melibatkan KY, DPR, dan Presiden, yang menurut konstitusi adalah lembaga yang berwenang dalam melakukan rekrutmen hakim agung.
Tidak hanya sarat conflict of interest, keputusan perpanjangan masa pensiun itu juga kolutif dan tergesa-gesa. Kolutif karena pada saat amandemen UU MA mengubah masa pensiun dari 65 ke 67 tahun, perubahan itu memang penuh dengan titipan syahwat beberapa hakim agung yang di ujung tanduk masa pensiun. Sedangkan unsur tergesa-gesa tampak jelas, misalnya, Bagir Manan sebenarnya baru memasuki masa pensiun di pertengahan 2006, tetapi surat keputusan perpanjangan masa pensiunnya sudah dibuat dan ditandatanganinya sendiri pertengahan 2005. Perpanjangan masa pensiun hakim agung yang sarat masalah itu harus dibatalkan. KY, karena itu, berpeluang untuk menambah perekrutan hakim agung menggantikan hakim yang memasuki masa pensiun dan tidak layak diperpanjang.
Cara kedua adalah peremajaan hakim agung secara persuasif, yaitu dengan menawarkan golden shake-hands atau pensiun dini dengan uang kompensasi yang sangat besar. Cara ketiga adalah secara represif, yaitu penegakan hukum yang tegas bagi hakim agung yang menjadi penikmat mafia peradilan. Untuk itu, kerja sama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), KY, dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan menjadi amat penting dan harus lebih diefektifkan.
Selanjutnya, strategi kedua dengan pola revolusioner, yaitu mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang seleksi ulang hakim agung adalah cara yang lebih kompleks. Secara ketatanegaraan perlu dibangun argumen kegentingan yang memaksa sehingga perpu tersebut menjadi absah dikeluarkan. Dalam praktiknya, masalah memaksa ini cenderung kasuistis dan politis ketimbang yuridis. Perpu tentang terorisme yang keluar pasca-Bom Bali adalah contoh perpu yang relatif tepat. Namun, perpu yang berkait dengan pilkada dan rencana perpu tentang pengunduran seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) cenderung politis dan sebenarnya jauh dari sifat kegentingan yang memaksa.
Menabrak prinsip kemandirian
Baik cara peremajaan hakim agung yang progresif maupun yang revolusioner berpotensi menabrak prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman. Namun, di antara keduanya pilihan revolusioner adalah yang berpotensi menimbulkan tabrakan lebih mematikan bagi prinsip independence of judiciary ke depan. Tidak mustahil, di masa datang hadir rezim otoriter yang menjadikan rujukan atau preseden perpu seleksi ulang hakim agung demikian untuk merombak susunan hakim agung yang tidak mengabdi kepada kekuasaannya.
Dengan demikian, usulan KY untuk melakukan seleksi ulang hakim agung jika akan dilakukan harus dilaksanakan dengan cermat. Untuk itu, prosesnya harus diperluas dengan melibatkan tidak hanya KY, Presiden, dan DPR dalam penyusunan dan penetapan perpu, tetapi juga berdialog dengan MA dan Mahkamah Konstitusi.
Namun, melihat relasi KY dan MA yang sedang panas-dingin, serta komposisi moralitas hakim agung yang ada saat ini, saya pesimistis akan muncul kesadaran dari mereka untuk secara sadar mendorong perbaikan hukum di Indonesia dengan mengikhlaskan diri mengikuti lagi seleksi hakim agung berpayung hukum perpu tersebut.
Akhirnya, apakah yang akan dilaksanakan adalah pilihan progresif ataupun revolusioner, kocok ulang hakim agung memang wajib dilakukan untuk membongkar habis praktik nista mafia peradilan.
Denny Indrayana Doktor Hukum Tata Negara; Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM; Direktur Indonesian Court Monitoring
Tulisan ini disalin dari Kompas, 7 Januari 2006