Urgensi KPK Perwakilan Daerah

WACANA pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perwakilan daerah kembali mencuat. Gagasan yang telah lama didengungkan tersebut kembali muncul di tengah maraknya kasus korupsi yang terjadi di daerah.

Fenomena korupsi di daerah memang bukanlah barang baru. Dalam kurun 2015 saja, KPK telah menerima 5.694 laporan masyarakat yang berasal dari berbagai daerah. Bahkan, sejak KPK berdiri hingga Agustus 2015, komisi antirasuah menangkap sedikitnya 56 kepala daerah yang terlibat korupsi. Hal itu menunjukkan bahwa jumlah kasus korupsi yang terjadi di daerah justru lebih banyak.

Jika dilihat tidak sedikit kepala daerah yang terjerat KPK, selama 2016 saja ada 11 kepala daerah yang menjadi tersangka KPK. Kondisi tersebut menggambarkan kepala daerah sangat rentan terhadap korupsi. Salah satu penyebabnya adalah pola relasi kekuasaan, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, pada umumnya dibangun atas dasar demokrasi transaksional. Kondisi itu juga dipicu dengan tingginya biaya politik yang dibutuhkan untuk menjadi kepala daerah sehingga kepala daerah terpilih berusaha mengembalikan modal yang telah dikeluarkan dengan cara-cara ilegal.

Selain itu, maraknya korupsi di daerah disebabkan tata kelola pemerintahan yang buruk. Alhasil, praktik korupsi semakin langgeng dan menjadi kebiasaan. Tak heran jika dalam catatan pemantauan ICW selama 2010–2015, setidaknya ada 183 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum (APH), baik KPK, kejaksaan, maupun kepolisian. Melihat banyaknya kepala daerah yang tersangkut korupsi, gagasan untuk menambah perwakilan daerah dinilai relevan.

Menyeruaknya wacana KPK di daerah tidak terlepas juga dari kinerja kepolisian dan kejaksaan yang tidak begitu menggembirakan dalam menangani korupsi. Hal itu ditunjukkan dengan jumlah kasus yang mangkrak di kepolisian dan kejaksaan. Misalnya, dalam pemantauan ICW semester I 2016, perkara korupsi yang belum selesai ditangani Kejaksaan Jawa Timur berjumlah 45 kasus. Sedangkan kepolisian di Jawa Timur memiliki tunggakan kasus sebanyak 17 perkara.

Di samping kinerjanya yang kurang optimal, kepolisian dan kejaksaan mengalami krisis kepercayaan di mata publik. Kondisi itu muncul tak lain karena tidak jarang ada oknum-oknum dua lembaga penegak hukum tersebut yang terlibat suap. Tentu hal tersebut semakin melunturkan kepercayaan masyarakat dan membuat KPK menjadi satu-satunya harapan masyarakat pemberantasan korupsi di Indonesia.

Dari aspek regulasi, wacana KPK perwakilan daerah juga didukung UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 19 ayat 2 dalam UU tersebut berbunyi ’’Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mem- bentuk perwakilan di daerah provinsi’’. Sehingga, gagasan mengenai KPK per wakilan daerah merupakan bagian dari keberlanjutan regulasi dan mata rantai dari UU No 30 Tahun 2002.

Sebagai kejahatan luar biasa, korupsi sudah seharusnya ditangani dengan cara yang tidak biasa pula. Tentu langkah membentuk KPK perwakilan daerah menjadi salah satu upaya yang harus dilakukan. Untuk mendorong kerja-kerja KPK perwakilan daerah lebih optimal, setidaknya ada tiga syarat yang harus dipenuhi.

Pertama, kewenangan KPK di daerah harus dibatasi dengan yang ada di pusat. KPK daerah sebatas memiliki kewenangan pencegahan, koordinasi, dan supervisi (korsup). Sementara itu, penindakan sebaiknya tetap dilakukan KPK yang berada di pusat. Hal ini demi menjaga independensi dan mencegah potensi konflik kepentingan dalam menangani perkara korupsi.

Kedua, yang harus dipenuhi adalah mekanisme pengawasan kinerja dan standar etika. Tantangan bagi KPK ketika membuka cabang di daerah adalah bagaimana memastikan orang-orang yang mengisi jabatan di daerah betul-betul memiliki ko- mitmen kerja dan menjaga integritasnya dengan baik. Hal ini tidak lain karena kerawanan yang berpotensi terjadi ketika semakin besarnya KPK, rentang kendali pengawasan akan semakin besar pula. Sehingga, desain khusus dalam pengawasan kinerja dan standar etika KPK daerah harus dipersiapkan lebih matang.

Ketiga, syarat yang juga harus dipenuhi adalah dukungan anggaran yang memadai. Suka atau tidak, wacana pembentukan KPK daerah akan berimplikasi pada peningkatan anggaran. Dan ketersediaan anggaran juga akan memengaruhi efektivitas KPK dalam melakukan kerja-kerjanya. Sehingga, dukungan dari pemerintah dan parlemen sangat dibutuhkan dalam mendorong upaya ini.

Keberadaan KPK di daerah perlu segera diwujudkan, selain maraknya korupsi di daerah, karena mandat pembentukan sudah diamanatkan UU. Meski demikian, jangan sampai KPK perwakilan daerah malah tidak efektif dan justru menjadi beban baru. Oleh karena itu, beberapa syarat sebelum membuka perwakilan harus dipenuhi terlebih dahulu. (*)

TIBIKO ZABAR PRADANO, Pegiat antikorupsi Indonesia Corruption Watch

---------------------

Opini ini terbit di Jawa Pos edisi 27 Februari 2017, dengan judul "Urgensi KPK Perwakilan Daerah".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan