Urgensi Kenaikan Gaji DPR

Ketika berbagai media massa --baik cetak maupun elektronik-- memberitakan rencana kenaikan gaji atau tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tersayat-sayat rasanya hati ini. Sebagai rakyat biasa, saya merasakan betapa sulitnya menghadapi kehidupan, terutama menyangkut masalah keuangan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Lebih sedih lagi, ketika negeri ini terus terperosok ke lembah krisis yang tiada henti. Belum berakhirnya krisis moneter dan ekonomi yang dimulai sejak 1997 beserta segala implikasinya, negeri ini pun diterpa gempa dan gelombang tsunami, tanah longsor, kekeringan, banjir hingga busung lapar, gizi buruk sampai muntaber dan berbagai bentuk penyakit lainnya. Kondisi masyarakat sangat memprihatinkan.

Di atas segalanya yang teramat membahayakan adalah mewabahnya penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di kalangan para pejabat negara, dari bentuk korupsi yang dilakukan secara samar-samar hingga yang terang-terangan. Dalam konteks dan kerangka pemikiran inilah rencana menaikkan tunjangan atau gaji DPR itu harus digugat.

Para pemimpin dan anggota DPR yang terhormat terlihat tidak memiliki kepekaan sosial. Mereka sangat egois dan hanya mementingkan diri mereka saja. Banyak sekali bukti yang menunjukkan fenomena ini, salah satunya adalah rencana untuk menaikkan tunjangan atau gaji hingga 72%-85% untuk pimpinan dan 34% untuk para anggota.

Jumlah ini sangatlah besar di tengah krisis ekonomi yang menimpa bangsa, apalagi sebagian masyarakat kita hidup dalam kemiskinan dan kelaparan. Padahal, sebagaimana telah dimaklumi, sebagian 'besar' APBN kita adalah pinjaman luar negeri yang mesti kita bayar di kemudian hari.

Angka kenaikan tunjangan itu juga tergolong sangat tidak masuk akal. Tuntutan kenaikan tersebut mencapai 80,2% atau menjadi Rp65 juta untuk ketua, 71,9% atau menjadi Rp51 juta untuk wakil ketua, dan 33,9% atau menjadi Rp38 juta untuk anggota. Apa pun namanya tunjangan itu dan berapa pun jumlahnya, momentum kenaikan tunjangan pada saat ini sangat menusuk rasa keadilan rakyat yang paling mendalam.

Patut dipertanyakan di mana sebenarnya perjuangan mereka pada saat sebagian besar rakyat tengah menghadapi perjuangan hidup mahaberat dan terus-menerus mengalami penderitaan? Mereka yang menyebut sebagai wakil rakyat itu malah sibuk mengejar keuntungan dan fasilitas untuk diri mereka.

Kita layak bertanya mengapa DPR meminta kenaikan tunjangan atau gaji itu? Benarkah gaji plus tunjangan mereka yang saat ini diterima minimal sebesar Rp25 juta tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup mereka? Belum lagi tunjangan kredit mobil dan mungkin juga perumahan serta kemudahan fasilitas hidup lainnya? Atau bisa jadi para pemimpin bangsa saat ini telah terperosok ke kemelut materialisme, sehingga segala sesuatunya diukur dengan kepuasan materi.

Dugaan tersebut kemungkinan benar. Lihat saja gaya hidup mereka. Sudah bisa dipastikan tidak mungkin ada anggota DPR yang tidak memiliki mobil pribadi, padahal saat ini Jakarta demikian macet. Oleh karena itu, memiliki mobil dengan alasan untuk mengejar waktu agar tidak terlambat tiba di Senayan, bukanlah alasan yang logis. Kalau alasannya adalah untuk menembus kemacetan, anggota Dewan itu harus mau naik sepeda motor. Mana mereka mau? Staf ahli saja tidak mau, apalagi anggota Dewan. Jelas, fenomena ini merupakan simbol dari sikap hidup materialistis.

Lebih dari itu, kalau kita cermati secara lebih detail, para wakil rakyat itu selama ini belum menunjukkan prestasi kerja yang luar biasa. Tingkat kehadiran mereka di Senayan sangat rendah. Banyak rapat kerja atau rapat paripurna hanya dihadiri separuh anggota. Belum lagi keterlibatan sejumlah anggota Dewan dalam perbuatan yang tidak terpuji.

***

Bisa jadi, rencana untuk menaikkan tunjangan tersebut adalah strategi lain sebagai bentuk halus dari KKN, seiring dengan semakin kuatnya pemerintahan SBY membongkar kasus-kasus korupsi. Jadi rencana kenaikan ini bisa bermakna korupsi, bila dilihat dalam konteks negara yang sedang dalam lembah 'kebangkrutan', masyarakat (pada umumnya) berada dalam jurang kemiskinan, dan keprihatinan lain seperti yang telah saya sebutkan di atas.

Memang bukan kali ini saja DPR berupaya menaikkan gaji atau tunjangan. Namun, karena momennya bersamaan dengan krisis yang belum berakhir, persoalannya menjadi berbeda. Pada tahun 2002, DPR telah mengusulkan kenaikan gaji, dari Rp4,2 juta hingga Rp12 juta per bulan.

Fenomena ini menjadi sangat ironis seiring dengan kondisi bangsa yang tengah dalam lingkaran krisis multidimensional. Krisis ekonomi belum pulih, penegakan hukum masih dalam tanda tanya besar ditambah dengan semakin rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpin bangsa, terutama legislatif (DPR) dan yudikatif (para penegak hukum).

Fenomena semakin rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap para wakil rakyat (DPR/MPR) ini ditunjukkan hasil survei yang dilakukan dua lembaga, CESDA-LP3ES (Februari 2002).

Secara singkat, hasil penelitian kedua lembaga ini menunjukkan kinerja wakil rakyat yang sangat mengecewakan. Kedua lembaga ini memfokuskan penelitian mereka pada kinerja partai politik dan DPR. Menurut penelitian ini, sekitar 51% responden menyatakan aspirasi masyarakat bawah tidak terwakili. Menurut pandangan mereka, tidak ada partai politik yang sungguh-sungguh memerhatikan dan tidak pula memperjuangkan nasib dan masa depan masyarakat.

Menurut hasil penelitian ini, hampir tidak ada keberpihakan para pemimpin bangsa terhadap masyarakat. Masyarakat menilai, keberpihakan para pemimpin bangsa hanya 20% untuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, 3% untuk Partai Golkar, 3% untuk PPP, 4% untuk PKB, 4% untuk PAN, 3% untuk Partai Keadilan (PK), dan 1% bagi Partai Bulan Bintang atau PBB.

Sedangkan penelitian yang dilakukan harian Kompas menyebutkan 77% responden mengatakan kecewa terhadap partai politik hasil Pemilu 1999. Secara prinsipiil, hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan sikap responden yang dilakukan harian tersebut pada tahun ini. Artinya, masyarakat kita tetap menaruh ketidakpercayaan terhadap para wakil mereka di DPR.

Berpijak pada kerangka pemikiran ini, dapatlah ditarik kesimpulan, partai politik selama ini kurang menunjukkan adanya keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat. Bagaimana mungkin para pemimpin bangsa akan melakukan pengembangan atau pemberdayaan masyarakat (community development), jika mereka lebih mengutamakan kepentingan kelompok, golongan tertentu, bahkan semata kepentingan karier individu?

Ironisnya, ini justru terjadi di era reformasi yang diharapkan akan terjadi perubahan mental dan struktural guna bersemainya proses pengembangan pembangunan masyarakat menuju kehidupan yang menjanjikan. Oleh karena itu, permintaan kenaikan gaji antara 72%-85% sungguh sangat menyakitkan hati. Kami benar-benar tidak rela bila rencana tersebut terealisasi.

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 12 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan