Upah Pungut Pajak; Diduga Tak Sesuai APBN
Bukan soal dasar hukum, melainkan mekanismenya.
Badan Pemeriksa Keuangan menduga penggunaan dana upah pungut pajak daerah di Departemen Dalam Negeri tidak melalui mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara. Dana sebesar Rp 264,48 miliar itu digunakan untuk membiayai kegiatan di lembaga tersebut.
Syafrie Adnan, Auditor Utama Badan Pemeriksa Keuangan, mengatakan dalam audit BPK disebutkan bahwa dalam kegiatan di lembaga tersebut pelaksana pusat diberi insentif. Namun, kata Syafrie, karena uang ini menyangkut uang masyarakat, sebaiknya jangan dipakai langsung. “Tapi harus disetorkan dulu ke APBN,” ujar Syafrie saat dihubungi kemarin.
Hasil audit Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pengelolaan Rekening Pemerintah pada 2006-2007 menyebutkan, dana itu merupakan Dana Penunjang Pembinaan. Dana itu digunakan untuk membiayai kegiatan Tim Pembina Pusat Departemen Dalam Negeri pada 2001 hingga 2008.
Syafrie mengatakan, penggunaan itu tidak tercantum dalam APBN 2001-2006. Tapi, kata dia, pada APBN 2007 tiba-tiba sudah dilaporkan mengenai penerimaan upah pungut ini sebanyak Rp 237,7 miliar. “Ini yang patut dipertanyakan dan bisa disalahgunakan,” ujar Syafrie
Kasus upah pungut pajak mencuat pada awal pekan lalu ketika Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta. Upah pungut itu sendiri diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2002. Aturan mainnya, petugas pemungut pajak memang berhak menerima 5 persen dari jumlah pajak yang dikumpulkan.
Syafrie menegaskan, Badan Pemeriksa tidak mempermasalahkan benar atau tidak peraturan yang menjadi dasar hukum penggunaan upah pungut pajak daerah, melainkan mekanismenya. “Benar atau tidaknya peraturan Menteri Dalam Negeri yang mendasari penggunaan upah pungut pajak daerah itu bukan wewenang kami,” kata Syafrie.
Wakil Ketua Bidang Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi Chandra M. Hamzah juga menegaskan, setiap penggunaan dari penerimaan negara harus melalui mekanisme APBN. “Apa pun bentuknya, bisa pajak dan bukan pajak, semua penggunaannya harus melalui mekanisme APBN,” kata Chandra.
Ia menambahkan, dasar penyelidikan upah pungut pajak daerah terletak pada pihak yang melakukan pungutan. “Apakah mereka berhak atau tidak menerimanya,” ujar Chandra.
Adapun juru bicara Departemen Dalam Negeri, Saut Situmorang, mengatakan laporan Dana Penunjang Pembinaan dimasukkan dalam laporan pertanggungjawaban di masing-masing daerah. “Ini hanya menjadi catatan saja,” ujarnya. Kendati begitu, Saut menegaskan, untuk lebih jelasnya, Departemen Dalam Negeri siap bertanggung jawab menjelaskan aliran dana tersebut. SUKMA | CHETA NILAWATY
Sumber: Koran Tempo, 28 Januari 2009
-----------------
Depdagri Terima Setoran Daerah
Dugaan korupsi pada jasa pungut (japung) pajak daerah makin terlihat. Selain ke sejumlah pejabat daerah, uang haram itu diduga mengalir ke sejumlah pejabat pusat.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2006/2007 membeberkan, sedikitnya dari dana Rp 264 miliar itu mengalir ke sejumlah pejabat Departemen Dalam Negeri (Depdagri) tanpa dilaporkan ke APBN.
Hasil audit itu membeberkan bahwa penggunaan dana tadi digunakan untuk membiayai kegiatan di Depdagri. Temuan itu merupakan hasil uji petik terhadap rekening-rekening yang dikelola Setjen Depdagri. Di antaranya, ada empat rekening. Belakangan rekening itu baru masuk dalam laporan keuangan Depdagri 2007.
Menurut hasil audit itu, japung pajak daerah ditetapkan dari bagian realisasi penerimaan pajak daerah. Meliputi, pajak kendaraan bermotor/bea balik nama kendaraan bermotor (PKB/BBNKB), pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBB KB), dan pajak penerangan jalan (PPJ).
Auditor Utama BPK Syafri Adnan mengungkapkan bahwa semua penerimaan negara seharusnya masuk ke sistem APBN. ''Mengingat ini uang masyarakat, seharusnya jangan digunakan langsung, tapi harus disetor dulu ke APBN," katanya kepada wartawan kemarin.
Berdasar audit tersebut, terang Syafri, jumlah upah pungut yang diterima Depdagri mencapai Rp 264 miliar. Dana itu diperkirakan masuk pada 2002-2007. ''Dalam undang-undang sudah jelas aturannya, sudah jelas segala jenis pungutan harus masuk APBN,'' ungkapnya. Namun, kata Syafri, BPK tidak dalam kapasitas menilai apakah tiadanya pelaporan tersebut merupakan hal yang salah. (git /agm)
Sumber: Jawa Pos, 28 Januari 2009