Upacara Politik Berharga Mahal

Amat keputusan yang mengejutkan dan membuat kita tidak ”paham”. Bagaimana mungkin Komisi Pemilihan Umum memakai uang rakyat Rp 11 miliar untuk biaya pelantikan 962 anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah 2009-2014.

Jika dibagi kasar untuk semua calon anggota DPR/DPD, tiap calon terpilih menerima Rp 15,89 juta. Kalkulasi lain menunjukkan, dibandingkan dengan dana pelantikan untuk tiap calon anggota DPR, biaya pelantikan seorang anggota DPR/DPD 38.000 kali lebih besar dibandingkan biaya sosialisasi bagi tiap pemilih.

Selain itu, tiap anggota DPR yang akan dilantik mendapat anggaran perjalanan dinas pindah Rp 46,5 juta. Fasilitas penginapan satu kamar hotel untuk satu anggota DPR pun disediakan. Padahal, 356 (63,57 persen) calon anggota DPR berdomisili di wilayah Jabodetabek, sedangkan 204 (36,43 persen) calon terpilih ada di luar Jabodetabek (Kompas, 9-10/9/2009).

Kesan yang sulit dihindarkan adalah betapa mahal biaya untuk sebuah upacara politik. Cita rasa serba ekstravaganza seolah sengaja ditonjolkan.

Ironisnya, kinerja wakil rakyat periode sebelumnya, benar-benar membuat kita geram. Sekian banyak rancangan undang-undang yang harus diselesaikan, tetapi yang berhasil digapai amat memprihatinkan. Itu dari sisi kuantitatif. Dari aspek kualitatif, tidak sedikit perundang-undangan yang diproduksi DPR amat jauh dari aspirasi rakyat.

Kinerja wakil rakyat yang buruk serta memalukan amat mudah ditemukan. Rapat tidak mencapai kuorum menjadi kabar harian, bahkan menjadi rutinitas. Beberapa wakil rakyat harus dipenjara karena tersangkut sejumlah kasus korupsi. Ada pula wakil rakyat yang tersandung skandal moral.

Apakah biaya pelantikan yang mahal itu mampu meningkatkan kinerja, menghilangkan perilaku kriminal, dan menghapus watak tak bermoral wakil rakyat pada periode mendatang?

Ritus penerimaan
Upacara pelantikan anggota DPR/DPD terpilih memang penting dijalankan; kalau upacara tidak sekadar dimaknai sebagai seremoni biasa. Pelantikan itu seharusnya diposisikan sebagai ritus penerimaan. Apa yang disebut sebagai ritus penerimaan adalah ritual siklus kehidupan. Dalam ritus penerimaan ini ada kesadaran tubuh manusia bertumbuh dan mengalami pembusukan sehingga perlu kontrol sosial dan manajemen yang bisa menghadirkan pemaknaan mendalam bagi kehidupan manusia itu sendiri. Anak yang baru lahir diintegrasikan dan ditegaskan untuk melanjutkan eksistensi kelompok pada saat ada anggota lama yang mati (David Jary dan Julia Jary, 1991: 537).

Tidak hanya peringatan kelahiran, pertumbuhan, dan kematian yang ada dalam ritus penerimaan. Dimensi paling penting ritus penerimaan adalah ritual yang menandai perubahan status sosial seseorang. Pada saat itu dilakukan seremoni atas kelahiran, usia kedewasaan, perkawinan, dan kematian. Dalam perkawinan, contohnya, seseorang yang berstatus lajang diritualkan untuk menandai status barunya sebagai orang berpasangan.

Hal ini memiliki pengertian, setiap status selalu menuntut peran relevan. Status dapat diartikan sebagai posisi individu dalam kelompok. Peran dapat dimengerti sebagai perilaku yang diharapkan dari individu yang menempati status tertentu.

Ritus penerimaan menegaskan adanya status sosial dan peran baru bagi seseorang, hal itu diterapkan dalam semua institusi sosial. Dalam kehidupan kampus dikenal opspek (orientasi program studi dan pengenalan kampus) bagi mahasiswa baru. Peristiwa ini dimaksudkan agar mahasiswa baru menyadari mereka bukan lagi berstatus siswa-siswi sekolah lanjutan atas, tetapi sebagai sivitas akademika yang harus menjalankan peran elegan.

Dalam uraian Arnold van Gennep, ritus penerimaan mengandung tiga urutan. Pertama, pemisahan atau pra-liminal, yang berarti seseorang terpisah dari status tetap yang dimiliki pada struktur sosial sebelumnya.

Kedua, margin atau batas, yang bermakna subyek ritual dalam keadaan ambigu karena subyek tidak lagi dalam status lama, tetapi belum masuk status baru.

Ketiga, agregasi atau pasca-liminal, berarti subyek ritual memasuki status atau keadaan stabil yang baru dengan menyandang berbagai hak dan kewajiban.

Tiga urutan ritual itu menegaskan perubahan status tidak hanya diupacarakan, tetapi ada nilai dan norma baru yang sengaja ditanamkan pada diri seseorang. Ritus penerimaan merupakan upaya menginternalisasi aturan-aturan yang sama sekali berbeda bagi seseorang untuk mencapai tahap lebih dewasa. Hal itu terlihat dalam tahap liminal yang menandai seseorang yang semula dianggap kekanak-kanakan dan penuh kekotoran disucikan untuk meraih kedewasaan. Inilah tataran ketika sosok yang dinilai ”abnormal” harus dinormalkan sehingga seluruh hak dan kewajiban yang kelak diterimanya dapat dijalankan dengan baik.

Cara pendewasaan
Upacara pelantikan anggota DPR/DPD yang baru harus dilihat dari perspektif ritus penerimaan, melalui tiga urutan ritual. Pertama, mereka terpisah dari status lama, calon anggota legislatif (caleg), yang ditunjukkan dengan fasilitas penginapan yang bisa dihuni sendirian.

Kedua, saat upacara pelantikan, status mereka masih ambigu, bukan caleg, tetapi juga belum sebagai wakil rakyat.

Ketiga, setelah dilantik dengan mengucap sumpah dan menerima ”pembekalan” dalam ”kuliah umum yang disampaikan KPU, Komisi Pemberantasan Korupsi, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Luar Negeri, resmilah mereka berstatus sebagai wakil rakyat.

Ritus penerimaan adalah cara pendewasaan agar anggota DPR/DPD tidak menunjukkan karakter kekanak-kanakan. Selalu meminta fasilitas serba mewah, tetapi kinerjanya amat lemah. Selalu memaksakan kehendak sendiri tanpa pernah peduli kepada rakyat yang memiliki banyak aspirasi. Selalu mudah tersinggung jika keinginannya tidak dipenuhi, tetapi untuk menjalankan rapat sebagai kewajiban substansial mereka tak peduli.

Harus semahal itukah biaya ritus penerimaan yang tujuan utamanya ”menyucikan” anggota DPR/DPD baru agar terhindar dari tradisi buruk wakil rakyat sebelumnya? Upacara pelantikan dapat menjadi ritual pertunjukan keindahan guna menyelubungi kekotoran. Itulah peristiwa saat seremoni politik dikesankan penuh kemewahan, tetapi di balik itu ada kekhawatiran yang sulit dilenyapkan, rakyat dibiarkan hidup menderita berkepanjangan.

Triyono Lukmantoro Dosen FISIP Universitas Diponegoro Semarang

Tulisan ini disalin dari Kompas 23 September 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan