UNCAC Tak Bahas Korupsi Soeharto; Presiden SBY Batal Buka Konferensi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) batal membuka konferensi internasional antikorupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC) di Nusa Dua, Bali, yang dijadwalkan mulai berlangsung hari ini, Senin (28/1). Sebab, saat bersamaan, SBY akan menjadi inspektur upacara pemakaman mantan Presiden Soeharto di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah.
Karena itu, konferensi negara-negara penanda tangan Konvensi Antikoruspsi PBB tersebut akan dibuka Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Widodo A.S. atau Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Konferensi itu diikuti 770 peserta dari 107 negara bahwa 36 di antaranya adalah menteri atau pejabat setingkat menteri.
Ketua Panitia Nasional Eddy Pratomo mengatakan, saat ini Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda sudah berada di Bali. Masa berkabung selama tujuh hari yang ditetapkan pemerintah tidak akan membuat agenda konferensi diundur. Meninggalnya Pak Harto tidak memengaruhi konferensi ini, kecuali tidak dibuka presiden, semua masih sesuai rencana, ujarnya ketika ditemui di Bali International Convention Centre kemarin.
Meninggalnya Soeharto, ditegaskan Eddy, juga tidak membuat perlu ada agenda khusus yang membahas kasus korupsi mantan penguasa Orde Baru itu. Tak ada forum khusus untuk membahas kasus Pak Harto, tegas Eddy.
Sejak awal sejumlah aktivis LSM antikorupsi sudah berniat memperjuangkan isu kasus Soeharto untuk dibahas di UNCAC. Khususnya soal pengembalian aset (asset recovery) milik Soeharto yang diduga ada di Swiss dan Inggris. Apalagi, kedua negara tersebut mengirimkan wakilnya dalam konferensi yang dilaksanakan 28 Januari hingga 1 Februari 2008 itu.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar yang juga sudah hadir di Bali berharap, konferensi akan menghasilkan langkah konkret untuk mencegah korupsi dan menyita aset-aset hasil korupsi. Adanya dugaan harta-harta kekayaan Soeharto, seperti yang dilansir sejumlah lembaga PBB, menurut Antasari, hanya bisa dilacak bila terdapat kerja sama dengan pihak-pihak di luar negeri. Khususnya di negara-negara yang diduga menjadi tempat penyimpanan harta itu. Itu yang sekarang kita butuhkan, tegasnya.
Selama ini, menurut dia, terdapat sejumlah negara yang berkomitmen untuk memberantas korupsi. Namun, ketika diajak bekerja sama untuk mengembalikan aset korupsi dari negara lain, mereka memilih angkat tangan. Sistem hukum Indonesia sebenarnya sudah memungkinkan pengejaran aset itu. Namun, untuk menjangkau aset di negara lain, Indonesia terhambat sistem hukum di negara itu. (ein/kim)
Sumber: Jawa Pos, 28 Januari 2008