UN Diwarnai Kecurangan Sistematis

Penolakan atas berlakunya sistem penilian siswa melalui Ujian Nasional (UN) kembali dilancarkan oleh guru dan aktivis pendidikan. Kecurangan sistematis masih terjadi di berbagai daerah selama pelaksanaan UN 2012.

Selama empat hari pelaksanaan UN, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menerima berbagai laporan kecurangan yang melibatkan Dinas Pendidikan Provinsi, sekolah, dan sindikat penyedia kunci jawaban soal UN. Sekretaris Jendral Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengatakan, kecurangan terjadi secara struktural dan terencana.

"Sebelum UN, sudah ada kelompok yang mengkoordinasikan distribusi kunci jawaban," kata Retno dalam konferensi pers di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Kamis (19/4/2012).

Meski soal-soal yang diujikan dalam UN sudah dibagi menjadi lima versi yang berbeda, namun tetap dapat ditembus. Sindikat yang menjual kunci jawaban senilai Rp 50-110 ribu rupiah persiswa ini mampu mengatur distribusi siswa agar sesuai dengan kunci jawaban yang dibelinya. Menurut Retno, guru pengawas ujian sebenarnya berwenang mengubah susunan pengaturan siswa agar memperoleh versi soal berbeda-beda di setiap mata pelajaran. "Namun entah mengapa hal itu tidak dilakukan, sehingga siswa dapat terus berpegang pada kunci jawaban yang dibelinya," tukas Retno.

Selain kecurangan untuk mendapat bocoran kunci jawaban, kecurangan secara sistematis juga terjadi sebelum UN berlangsung. Salah satunya, papar Retno, adalah pelaksanaan UN di Bekasi, Jawa Barat. Ia mendapat kesaksian dari seorang guru yang mengatakan Dinas Pendidikan meminta seluruh Kepala Sekolah di Bekasi menyukseskan UN dan meluluskan murid-muris mereka dengan berbagai cara.

"Persoalan kecurangan UN sudah terjadi sebelum UN itu sendiri dilaksanakan. Sekolah memanipulasi, meninggikan nilai Ujian Sekolah (US) untuk memenuhi target kelulusan," ungkap guru SMAN 13 Jakarta itu.

Selama pelaksanaan UN 2012, FSGI menerima sejumlah laporan kecurangan dari berbagai daerah, diantaranya dari Serikat Guru Sumatera Utara, Brebes, Muna, Pandeglang, Jawa Timur, dan DKI Jakarta.

Pengamat pendidikan yang juga anggota Koalisi Pendidikan Lodewijk Paat mengatakan, pemerintah seharusnya sudah menghentikan pelaksanaan UN, terlebih usai dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak UN pada 2009 lalu. Menurut Lody, sistem evaluasi yang hanya mendasarkan penilaian pada angka tidak tepat. "Sistem penilaian harus dikembalikan kepada guru," tegasnya. Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan