ULASAN KASUS: Bau Busuk dari Ruang Penjaga Keadilan
KAMIS 29 September 2005, Pono Waluyo, seorang pegawai bagian kendaraan Mahkamah Agung (MA) ditangkap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tempat kediamannya.
Bersama Pono ditangkap pula empat pegawai MA beserta seorang pengacara, Harini Wijoso yang juga mantan hakim tinggi, Pengadilan Tinggi Yogyakarta.
Keenam orang tersebut ditangkap tim penyidik KPK atas dugaan meminta uang suap senilai Rp5 miliar rupiah. Jumlah tersebut (menurut pengakuan Pono Waluyo) seyogyanya akan diberikan kepada ketua MA, agar menjatuhkan putusan kasasi bebas kepada Probosutedjo dalam perkara dana reboisasi Hutan Tanaman Industri (HTI).
Terlepas benar tidaknya pengakuan para tersangka, kondisi ini memperburuk citra peradilan di Indonesia. Selama ini banyak pihak mengeluh bahwa peradilan kita sarat dengan praktik suap dan korupsi. Tumbuhlah jaringan mafia yang menguasai seluruh persidangan di pengadilan.
Praktik-praktik kejahatan semacam itu terjadi mulai dari Pengadilan Negeri hingga tingkat MA. Mulai dari pendaftaran perkara hingga pembacaan putusan.
Fenomena ini telah menjelma sebagai penyakit menahun yang menggerogoti lembaga peradilan kita. Walaupun ada beberapa pihak menolak dan menyanggah keberadaan jaringan mafia ini, kenyataan di lapangan tidak bisa dipungkiri.
Sebelumnya MA pun pernah mengalami kasus serupa. Adanya kasus penyuapan terhadap tiga hakim agung: Yahya Harahap, Marnis Kahar dan Supartini Sutarto. Ketiganya menerima suap sebesar Rp50 juta hingga Rp96 juta.
Hampir bersamaan dengan kasus tersebut, Fauzatulo Zendrato, mantan Kasubdit Kasasi Perdata, juga terbukti menerima suap dari PT SIER sebesar Rp550 juta. Dari empat hakim yang menjalani persidangan, hanya Zendrato yang mendapatkan ganjaran hukuman satu tahun percobaan. Tiga hakim lainnya dibebaskan.
Praktik-praktik semacam itu sangat merugikan dunia peradilan kita. Keadilan seolah menjadi barang mahal yang bisa diperjual belikan oleh oknum penegak hukum itu sendiri.
Menurut Ketua Komisi Yudisial, Busyro Muqoddas dalam berbagai kesempatan ada empat bentuk praktik dan modus operandi mafia peradilan.
Pertama, adalah penundaan pembacaan putusan oleh majelis hakim. Kedua, manipulasi fakta hukum. Ketiga adalah manipulasi penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan fakta hukum, sebagaimana terungkap di pengadilan. Bentuk terakhir adalah pencarian peraturan perundang-undangan oleh majelis hakim agar dakwaan jaksa beralih ke pihak lain.
Berdasarkan temuan International Corruption Watch (ICW) dalam publikasinya tentang pola-pola korupsi di MA, terdapat 6 pola korupsi di jajaran hakim agung.
Disamping pola-pola diatas bentuk percaloan lain yang juga dilakukan oleh para staff dan pegawai di lingkungan MA. Mereka menjadi calo atau makelar kasus. Kenyataan ini mudah sekali ditemui di ruang tunggu gedung MA. Longgarnya aturan di lingkungan MA memungkinkan terjadinya transaksi antara pihak yang beperkara dengan staf MA.
Tak jarang para tamu maupun pihak beperkara bisa menemui hakim agung di ruang kerja. Selain tidak etis, hal tersebut sangat berbahaya karena bisa menggoda hakim agung yang bersangkutan.
Ironisnya seandainya hakim agung menolak bertemu, maka para calo maupun pihak beperkara bisa menemui hakim agung di luar jam kantor. Kesempatan inilah yang selama ini dimanfaatkan oleh staf dan pegawai MA yang sok mengaku bisa mengatur pertemuan.
Situasi dan kondisi di atas tampaknya bukan hal mudah untuk memberantas mafia peradilan di Indonesia. Upaya pemberantasan harus dimulai dari dalam, yakni atas kemauan pimpinan lembaga peradilan itu sendiri. Jika perlu, ada hakim agung yang ditangkap KPK, sebagai preseden ke depan. (Fabinus H Wirawan. Litbang Media Group).
(Media Indonesia, 17 Oktober 2005)