UKP3R dan Reformasi Peradilan
Melalui Keppres Nomor 17 Tahun 2006, 29 September 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi atau UKP3R dan menunjuk Marsillam Simandjuntak sebagai ketua unit dibantu dua deputi unit, yakni Agus Widjojo dan Edwin Gerungan.
Pro-kontra pun bermunculan dan sebagian orang menyatakan pembentukan UKP3R tidak perlu karena merupakan bagian proliferasi birokrasi yang menambah beban negara. Ada juga yang menyatakan pembentukan UKP3R karena presiden tak memiliki visi yang jelas, hal itu menunjukkan ketidakpercayaan Presiden kepada para pembantunya. Lebih hebat lagi ada yang mempersoalkan personelnya dengan alasan berbau SARA. Pertanyaannya, demikian bermasalahkah UKP3R itu?
Masuk akal
UKP3R adalah unit kerja Presiden, bukan unit kerja pemerintahan SBY-Kalla. Karena itu, amat logis apabila Wakil Presiden lalu menyatakan UKP3R itu urusan Presiden. Unit kerja ini dibentuk untuk membantu Presiden. Dan yang mengetahui akan kebutuhan unit ini hanya Presiden SBY. Karena itu, aneh apabila setiap orang lalu beranggapan pembentukan unit kerja itu tidak perlu, apalagi dikaitkan adanya rivalitas antara Kantor Presiden dan Wapres, atau hal-hal yang berbau SARA.
Melalui Keppres Nomor 17 Tahun 2006, kita mengetahui dengan jelas tujuan pembentukan unit kerja ini adalah untuk mempercepat implementasi dan mengefektifkan program-program kerja Presiden.
Sebagaimana dikatakan oleh Juru Bicara Presiden Andi Mallarangeng, Presiden memerlukan staf untuk membantu implementasi program-program yang menjadi tanggung jawab Presiden. Ada lima program kerja UKP3R, yakni mewujudkan perbaikan iklim investasi, perbaikan administrasi pemerintahan, peningkatan usaha kecil dan menengah, peningkatan kinerja BUMN, serta perbaikan penegakan hukum.
Investasi yang mandek, birokrasi yang tambun dan lamban, peradilan yang korup, kinerja BUMN yang mati suri, dan pola penegakan hukum yang morat-marit merupakan penyakit kronis yang sudah melanda bangsa ini sejak lama.
Pemerintahan SBY-Kalla sejak awal telah mencanangkan program penyembuhan penyakit kronis itu, tetapi hingga kini belum ada hasil yang memuaskan karena aneka hambatan sarana dan prasarana serta aparat birokrasi dan penegak hukum yang buruk.
Wajar apabila kemudian Presiden memerlukan bantuan dari staf khusus untuk menjadi mata, lidah, dan hati Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Meski Presiden sudah mempunyai menteri sebagai para pembantunya, tentu saja masuk akal pula jika Presiden membentuk unit kerja untuk memantau hasil kerja para pembantu, khususnya terhadap pelaksanaan program-program reformasi yang seharusnya sudah dinikmati masyarakat. Apalagi kabinet pemerintahan SBY-Kalla kini diisi oleh para menteri yang berasal dari berbagai macam partai yang disinyalir mengidap penyakit libido politik dengan hasrat mengejar kekuasaan sehingga sibuk dengan diri dan partai sendiri. Yang mereka pikirkan hanya bagaimana bisa mendapatkan manfaat sebesar-besarnya untuk kepentingan diri dan partainya semasa menjabat pembantu presiden.
Demikian juga dengan para pejabat di berbagai komisi dan lembaga nondepartemen yang diduga melakukan hal sama. Dan jika hal itu benar-benar terjadi, tentu saja UKP3R bisa menjadi unit kerja yang banyak membantu Presiden untuk memperlancar pelaksanaan program-program pemerintah sekaligus mengawasi kinerja dan sepak terjang pembantu-pembantunya.
Reformasi peradilan
Pembentukan UKP3R atau unit-unit kerja kecil dalam membantu tugas-tugas Presiden bisa menjadi jalan keluar dari kebuntuan dan mandeknya implementasi program-program reformasi pemerintah pada masa dua tahun pemerintahan SBY-Kalla.
Adalah wajar apabila reformasi peradilan merupakan salah satu agenda penting yang menjadi perhatian Presiden. Penilaian publik terhadap dua tahun masa pemerintahan SBY-Kalla, khususnya pelaksanaan komitmen besar pemberantasan korupsi, belum memuaskan sehingga UKP3R diyakini dapat membantu Presiden untuk memantau, mengendalikan, memperlancar, dan mempercepat pelaksanaan program-program reformasi pemerintah di bidang peradilan dan penegakan hukum yang tidak atau kurang berjalan selama dua tahun masa pemerintahannya.
Berbicara tentang beban negara dengan penambahan staf khusus Presiden juga tidak sebanding dengan kerugian negara akibat kebocoran atau gagalnya pelaksanaan program yang telah dicanangkan pemerintah.
Gagalnya program reformasi tidak saja merugikan negara, tetapi juga rakyat karena tidak mendapat manfaat dari program itu. Kegagalan reformasi peradilan berimbas pada gagalnya program penegakan hukum di Indonesia yang amat berpengaruh pada penurunan iklim investasi dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
Sosok Marsillam Simandjuntak dan kawan-kawan yang terbilang bersih diyakini sebagai sosok yang cocok untuk memantau pelaksanaan program reformasi peradilan, termasuk mempercepat implementasi pemberantasan korupsi. Meletakkan reformasi peradilan dan penegakan hukum di pundak Mahkamah Agung sendiri atau pada institusi penegakan hukum seperti kepolisian dan kejaksaan tidak akan berhasil karena Mahkamah Agung dan institusi penegak hukum yang ada justru menjadi bagian yang harus direformasi.
Tidak proporsional
Polemik UKP3R sudah tidak proporsional dan terlalu politis. Masyarakat tidak melihat UKP3R sebagai ancaman bagi siapa pun, tetapi justru menunggu apa yang bisa dilakukan UKP3R untuk membantu Presiden.
Keberhasilan pemerintahan SBY-Kalla hanya dapat dilihat dari keberhasilan pelaksanaan dan efektivitas program yang telah dicanangkan pemerintah, khususnya yang menjadi bagian dari upaya besar mereformasi iklim investasi, administrasi pemerintahan, peradilan, peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat, pendidikan, dan sebagainya. Untuk itu, pembentukan unit-unit kerja Presiden tidak perlu ditanggapi secara apriori. Kita lihat hasilnya, apakah unit kerja itu dapat menjadikan Presiden bekerja lebih baik atau tidak.
AMIR SYAMSUDDIN Praktisi Hukum, Jakarta
Tulisan ini disalin dari Kompas, 8 November 2006