'Udang' di Balik Kasus Bank Mandiri
Dua pekan ini perhatian media massa tersedot ke kasus indikasi korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kasus kredit bermasalah Bank Mandiri. Perhatian ini disebabkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berdasarkan temuannya menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada DPR dan Kejaksaan Agung. Di tengah Komisi Pemberantasan Korupsi sedang berupaya menunjukkan taringnya pada kasus indikasi korupsi di KPU, tulisan ini terfokus pada kredit bermasalah Bank Mandiri. Utamanya karena saya menengarai adanya tujuh dampak pengungkapan kredit bermasalah itu.
Pertama, soal kelanjutan pengalihan perhatian publik pada masalah kenaikan BBM. Sebelumnya, perhatian publik pernah diarahkan ke perseteruan Ambalat dan kasus penjualan tanker Pertamina.
Menurut bahan dengar pendapat antara Bank Mandiri dan Komisi XI DPR RI pada 23 Februari 2005, jumlah kredit bermasalah bersih 1,7 persen dari total kredit yang disalurkan Rp81,339 triliun. Jika menggunakan data BPK yang memasukkan kredit lancar (kolektibilitas 1) dan kredit dalam perhatian khusus (kolektibilitas 2) sebagai kredit bermasalah, jumlah kredit bermasalah Bank Mandiri mencapai Rp15,421 triliun (kurs 1 USD = Rp9.300).
Tetapi merujuk temuan BPK yang masuk dalam kategori bermasalah, maka yang bermasalah pada kualitas kredit pada kolektibilitas 4 (diragukan) dan kolektibilitas 5 (macet) mencapai Rp2,754 triliun. Karena pemeriksaan BPK untuk tahun buku 2003, maka temuan BPK itu jauh lebih besar dibanding bahan yang disampaikan Bank Mandiri ke DPR, yakni 1,7 persen itu atau sebesar Rp1,382 triliun. Dalam bahasa yang lain, Bank Mandiri berhasil memperbaiki kinerja keuangan dengan menurunkan jumlah kredit macet.
Tetapi karena kredit lancar dan kredit dalam perhatian khusus yang disebut BPK sejumlah Rp12,667 triliun (Rp15,421 triliun dikurang Rp2,754 triliun) dianggap bermasalah dan melanggar prosedur, maka permasalahan ini harus dilihat dalam perspektif ukuran tingkat kesehatan bank. Memang kredit bermasalah secara gross mencapai 7,5 persen mendekati tahun buku 2004. Sementara pada tahun buku 2003 jumlah kredit bermasalah yang gross itu bertengger di angka 8,6 persen. Karena jumlah kredit yang disalurkan meningkat dari Rp73,31 triliun pada tahun 2003 dan posisi September 2004 mencapai Rp81,339, maka kecukupan modalnya berkurang menurun dari 27,7 persen menjadi 26,6 persen. Tetapi tingkat pengembalian aset dan ekuitas meningkat masing-masing 3,6 persen dan 26,1 persen. Disebabkan manajemen Mandiri melakukan pencadangan yang besar atas kredit bermasalahnya, dampaknya adalah menurunnya laba dari 4,586 persen pada 2003 menjadi 4,481 persen (Sept 2004). Jika kredit bermasalah itu berhasil direstruktur dan menjadi lancar kembali, pencadangan itu akan meningkatkan laba Bank Mandiri.
Kedua, adalah upaya menumbuhkan kembali kepercayaan publik bahwa pemerintah sungguh-sungguh dalam melakukan pemberantasan korupsi. Setelah Inpres 5/2004 tentang Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi dihempas isu kenaikan BBM dan kontraproduktifnya pernyataan Presiden tentang tidak pedulinya jika popularitas menurun, bolehnya keluarga pejabat berbisnis, ditambah pernyataan Wapres; sebaiknya cuek saja yang penting bekerja dengan sungguh-sungguh, kepercayaan publik pada kabinet terus merosot. Kasus Abdullah Puteh dan kisruhnya Rapat Kerja Gabungan Komisi II dan III dengan Kejaksaan Agung membuat publik makin yakin bahwa korupsi yang sudah sistemik tidak akan terselesaikan.
Ketiga, mengenai pergantian direksi dan komisaris setelah ECW Neloe menyetujui kredit bagi perluasan Bandara Hasanuddin Makassar sebesar Rp1,2 triliun. ECW Neloe bahkan mengingatkan agar perbankan nasional mempunyai komitmen untuk mendukung proyek pembangunan infrastruktur. Sementara pemerintah sendiri menyatakan, dari jumlah Rp1.300 triliun untuk proyek infrastruktur, dibutuhkan dukungan perbankan sekitar Rp700 triliun. Dengan demikian, komitmen Neloe untuk pembiayaan infrastruktur tidak berarti Neloe mendapat konsesi melanjutkan posisinya sebagai Dirut Bank Mandiri.
Keempat, tentang bermasalahnya kredit pada PT Arutmin, PT Bakrie Telecom, PT Semen Bosowa, dan PT Batavindo Kridanusa sebenarnya merupakan jasa ECW Neloe kepada pengusaha yang juga pejabat. Tetapi pernyataan bahwa kredit ini bermasalah merupakan pisau bermata ganda. Mata pisau yang pertama akan menunjukkan pada publik bahwa perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh pejabat mempunyai kinerja yang baik terbukti kredit mereka dalam kolektibilitas 1 atau 2, yang berarti lancar. Mata pisau yang lain memberikan gambaran jika perusahaan ini melebarkan sayapnya atau memperoleh proyek infrastruktur, maka hal itu wajar saja disebabkan perusahaan mereka bankable, memenuhi syarat perbankan untuk mendapat fasilitas pinjaman.
Kelima, dengan bergantinya direksi dan komisaris, maka restrukturisasi modal (bahasa lain dari privatisasi) akan berjalan mulus disebabkan publik berhasil diyakinkan bahwa jika bank masih dimiliki pemerintah, pasti akan mempunyai kinerja yang buruk. Agar kinerjanya membaik, modalnya harus direstrukturkan.
Keenam, janji pergantian direksi dan komisaris di lingkungan BUMN dengan memenuhi prinsip good corporate governance sepertinya terbayar. Masyarakat akan bilang, direksi dan komisaris Bank Mandiri patut diganti, seperti nasib Saefuddin Hasan dalam kasus L/C BNI. Padahal janji penerapan good governance belum terbukti. Pergantian Dewan Komisaris di Pertamina, pergantian direksi dan komisaris di PT Garuda dan PT Jamsostek, pendekatan politisnya jauh lebih kental ketimbang bobot pendekatan profesional.
Ketujuh, pengungkapan kredit bermasalah ini pun tampaknya berniat mengalihkan perhatian publik tentang kasus penjualan tanker pertamina yang sedang berproses di pengadilan. Kasus ini menyangkut perusahaan konsultan keuangan dan investasi Goldman Sach. Bagi pemerintah AS, kasus keterlibatan perusahaan konsultan itu akan merugikan citra perusahaan multinasional AS jika Goldman Sach bernasib sama seperti Enron dan Arthur Andersen.
Ujung dari pengungkapan ini adalah perdebatan kriteria kredit bermasalah dan standar akuntansi perbankan menurut BI dan menurut BPK. Jika kredit lancar dan dalam perhatian khusus dianggap bermasalah, bahkan cenderung dinilai melanggar prosedur, maka persoalannya hampir dapat dipastikan bermuara pada proses pemberian kredit. Vonis bermasalah dan melanggar prosedur ini, di saat kredit itu sendiri lancar, akan teratasi. Dengan demikian, soalnya lebih pada masalah legal administrasi, dan belum tentu melanggar hukum. Tetapi penyaluran kredit ini bisa dilihat dalam kacamata yang lain. Yakni, terjadinya kolusi dan nepotisme.
Karena itu, kalau memang berniat mengganti direksi dan komisaris Bank Mandiri, sebaiknya dilakukan dengan baik dan bijaksana tanpa merugikan bank itu sendiri yang peka dengan masalah kepercayaan masyarakat. Kita bahkan harus mendorong proses hukum di Kejaksaan Agung. Dan sikap ECW Neloe yang bertanggung jawab atas kasus ini jelas membuktikan bahwa selain nikmat menjadi direksi bank, risikonya juga tinggi. ECW Neloe memang pantas menerima akibat kebijakannya. Termasuk menerima risiko menjadi tumbal atas beberapa maksud di atas.(Ichsanuddin Noorsy, pengamat perbankan)
Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 4 Mei 2005