Uang Sekolah Selalu Jadi Masalah
Musim penerimaan siswa baru (PSB), baik tingkat SD, SMP, maupun SMA, tiap tahun selalu menghadapi masalah. Beberapa fenomena ganjil yang timbul biasanya berupa jatah kursi kosong (biasa terjadi di sekolah-sekolah unggulan atau favorit) dan yang paling marak tentu saja masalah uang.
Rata-rata sekolah di Indonesia memang memungut bayaran yang tidak sedikit kepada calon siswa. Biasanya, bayaran-bayaran tersebut dikamuflasekan dengan berbagai macam istilah, seperti uang gedung, uang sumbangan pendidikan, uang olahraga, uang OSIS, uang buku, uang kesehatan, dan berbagai macam uang-uang lain yang tentu bikin pusing para orang tua siswa.
Memang tidak semua sekolah meminta para calon siswa dengan bayaran terlalu muluk, terutama sekolah-sekolah yang diancam ditutup atau difusikan dengan sekolah lain karena banyak siswa yang tidak lulus UAN atau memang siswanya sedikit.
Ya, kalau siswanya sedikit dengan mutu di bawah rata-rata, masa sih berani jual mahal. Lalu, yang jual mahal itu siapa? Biasanya, sekolah-sekolah unggulan yang memang di mata masyarakat cukup terpandang, bonafide, dan tentu saja menghasilkan kualitas lulusan yang bagus pula.
Kenapa jadi masalah? Yang bikin masalah biasanya para oknum, yang memang bekerja di sekolah tersebut, tapi memanfaatkan keadaan untuk kepentingan individu.
Mereka sering memanfaatkan situasi dengan menaikkan uang sekolah (dalam bentuk kamuflase apa pun) seenaknya. Karena itu, saya mendengar, banyak orang tua siswa yang memiliki anak dengan intelektualitas bagus dan memenuhi syarat akademis untuk diterima di sekolah unggulan, tetapi ternyata ditolak hanya karena masalah biaya tadi.
Herannya lagi, bangku-bangku kosong karena ditinggal pemiliknya yang tidak mampu bayar tadi dilego kepada siswa lain yang setelah ditanya bisa memenuhi bayaran-bayaran tersebut atau bahkan mampu membayar lebih, namun kualitas intelektualitasnya agak diragukan. Apakah sekarang hak seorang siswa untuk mendapatkan pendididikan ditentukan oleh keadaan ekonomi?
Apakah dewasa ini tidak ada lagi seleksi siswa yang didasarkan pada kemampuan akademis, melainkan hanya seleksi yang didasarkan pada kemampuan finansial? Sungguh ironi mengingat hampir sebagian besar penduduk negara ini hidup di bawah garis kemiskinan. Bisa-bisa nanti ada ketentuan yang menyatakan bahwa orang miskin dilarang sekolah.
Tapi, saya di sini akan bersikap netral dengan tidak
menyalahkan pihak mana pun atas realita yang terjadi. Permasalahan pungutan dana yang sering dibebankan secara general dari pihak sekolah kepada orang tua siswa tanpa memandang status ekonomi memang memosisikan sekolah pada kondisi dilematis.
Pada satu sisi, bayaran-bayaran tersebut mengakibatkan tidak sedikit orang tua -yang tidak mampu membayar- memprotes keras pihak sekolah. Tapi di sisi lain, sekolah dihadapkan pada tuntutan peningkatan mutu sesuai dengan standar pelayanan minimal (SPM) yang notabene membutuhkan dana tidak sedikit.
Setiap sekolah dipacu untuk merealisasikan SPM tersebut, namun atribusinya selalu berbenturan dengan masalah klasik dan langgeng, yaitu keterbatasan dana yang dimiliki sekolah. Sementara itu, dana dari pemerintah sangat limitatif.
Kondisi inilah yang menjadikan sekolah berada pada posisi dilematis. Tentu saja kita berharap posisi sekolah seperti itu tidak dimanfaatkan sejumlah oknum untuk melakukan penyelewengan-penyelewengan.
Karena keterbatasan dana itulah, banyak sekolah yang membebankan sebagian besar biaya kepada orang tua untuk mencari dukungan keuangan agar penyelenggaraan pendidikan berjalan sesuai tuntutan SPM.
Sebenarnya, aspek hukum kewenangan pihak sekolah dalam memungut sumbangan dapat dilihat pada UU
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. UU itu menjelaskan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, daerah, orang tua, dan masyarakat.
Tanggung jawab kolektif inilah yang menjadikan pemerintah belum sepenuh hati mengalokasikan 20 persen dari APBN dan APBD untuk bidang pendidikan, walau sudah diamanatkan UU.
Ke mana juga janji pemerintah untuk menyalurkan dana hasil pengurangan subsidi BBM yang pada rencana awal akan dihibahkan untuk sektor pendidikan? Seharusnya, sejak kenaikan BBM beberapa bulan lalu, transparansi dana hasil pengurangan subsidi BBM yang akan dihibahkan ke sektor pendidikan sudah dapat diakses publik sehingga sektor pendidikan mampu memprediksi jumlah dana yang akan turun. Juga mampu membuat perencanaan tepat untuk mengatasi permasalahan dana pada sektor tersebut.
Toh dalam praktiknya, hal yang mungkin dianggap utopis oleh pemerintah itu belum mampu direalisasikan. Entah karena keterbatasan kemampuan atau memang itu sesuatu hal yang utopis.
Berangkat dari realitas inilah, sekolah memilih masa-
masa penerimaan siswa baru (PSB) sebagai waktu yang efektif untuk mengumpulkan aliran dana.
*Jerry Indrawan Gihartono, mahasiswa Program Studi Arkeologi FIB-UI
Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 21 Juli 2005