Uang Pengganti Sulit Ditagih
Jajaran Kejagung mengaku kesulitan menagih uang pengganti dalam eksekusi kasus korupsi Rp 6,661 triliun seperti yang dipersoalkan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Selain terkait putusan hakim yang sudah lama, sebagian uang pengganti itu merupakan tunggakan kejaksaan di daerah (kejati).
Sebagian kasus terjadi sebelum diundangkannya UU tentang Tindak Pidana Korupsi yang baru. Para jaksa menggunakan UU No 3/1971. Kasusnya sudah terjadi belasan tahun lalu, kata Kapuspenkum Mashyudi Ridwan di gedung Kejagung, Jakarta, kemarin.
Seperti diketahui, BPK saat menyampaikan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2004 kepada DPR beberapa waktu lalu menemukan penempatan uang pengganti yang menyertai eksekusi kasus korupsi, yang tidak tercatat sebagai penerimaan negara. Lembaga yang dipimpin Anwar Nasution itu juga tidak tahu-menahu di mana aliran dan status uang pengganti tersebut. Padahal, uang pengganti merupakan setoran resmi ke kas negara untuk menutup kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.
Menurut dia, total uang pengganti yang belum masuk ke kas negara Rp 6,661 triliun merupakan akumulasi macetnya penagihan di 25 kejaksaan di daerah. Kejati DKI menempati urusan teratas penunggak setoran uang pengganti.
Nilainya Rp 5 triliun, jelas mantan Kajati Maluku itu. Kejagung sedang berupaya agar kejaksaan di daerah segera memperketat penyetoran uang pengganti supaya tidak menimbulkan permasalahan administrasi keuangan negara.
Lebih lanjut, Masyhudi membeberkan bahwa Rp 6,661 triliun itu tidak seluruhnya menjadi tanggungan jajaran JAM Pidsus, tetapi sebagian juga kewajiban JAM Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun). Rinciannya, JAM Pidsus Rp 5,317 triliun, sedangkan sisanya tanggungan JAM Datun.
Sementara itu, JAM Pidsus Hendarman Supandji mengatakan bahwa di luar tunggakan uang pengganti Rp 5 triliun, Kejati DKI sejatinya juga paling rajin menyetor ke kas negara. Uang pengganti umumnya berasal dari para koruptor dari kalangan konglomerat atau minimal pengusaha tertentu.
Beberapa di antara yang sudah menyetor uang pengganti adalah Bambang Soetrisno selaku terpidana kasus BLBI Bank Surya dan Preskom Bank Surya Sudwikatmono. Setoran Sudwikatmono melalui BPPN, tetapi Kejagung belum menerima bukti kuitansi.
Selebihnya juga ada setoran uang pengganti dari pengusaha Ricardo Gelael (pewaralaba makanan siap saji ternama) dalam kasus ruilslag PT Goro Batara Sakti dengan Bulog, kata Hendarman. Setoran Ricardo belum lunas karena masih mencicil uang pengganti.
Pemeriksaan Tersangka
Sementara itu, HS, salah seorang tersangka kredit macet PT Arthabama Textindo (ABT) di Bank Mandiri Rp 49 miliar, kemarin menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar Kejagung. Itu merupakan pemeriksaan pertama setelah HS mangkir memenuhi panggilan tim penyidik JAM Pidsus.
Tersangka yang lain, CEA, tidak hadir di gedung Bundar. JAM Pidsus Hendarman Supandji menyatakan, CEA dilaporkan masih dalam keadaan sakit. Ini berdasar surat keterangan dokter, kata Hendarman. Penyidik menunggu hingga CEA sehat dan bisa menjalani pemeriksaan pertama di Gedung Bundar.
Kehadiran HS di Kejagung kemarin sempat mengecoh wartawan. Sebab, HS tidak dikenal wartawan menolak mengiyakan kedatangannya untuk memenuhi panggilan penyidik kasus Bank Mandiri. Padahal, setelah tersangka pulang, seorang penyidik membenarkan bahwa pria berambut lurus, berkulit putih, dan berbaju biru itu merupakan tersangka berinisial HS. (agm)
Sumber: Jawa Pos, 7 Oktober 2005