Uang Pengganti; Ke Mana Larinya Dana Hasil Korupsi?

Pada akhir masa jabatannya, Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Hendarman Supandji menceritakan keberhasilan timnya. Selama dua tahun masa kerjanya, Tim Tastipikor berhasil mengamankan uang negara Rp 3,95 triliun. Dalam waktu dua tahun, Tim Tastipikor menangani 14 perkara dan empat perkara bebas di pengadilan. Beberapa perkara masih berproses dan kasus korupsi di Sekretariat Negara belum dituntaskan.

Beberapa hari kemudian, dalam sebuah diskusi di Jakarta, anggota Komisi XI DPR, Dradjad Wibowo, mempertanyakan klaim Hendarman tersebut. Dari hasil pengecekan Dradjad, dalam laporan Menteri Keuangan ternyata tidak ada pengembalian Rp 3,95 triliun dari Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tastipikor).

Jangan sampai keberhasilan pemberantasan korupsi cuma sebagai upaya pencitraan, tetapi konkretnya tidak ada, ujar Dradjad.

Hendarman pun mengklarifikasi. Ia mengatakan, dari Rp 3,95 triliun tersebut, Tim Tastipikor baru menyetorkan Rp 18 miliar ke kas negara.

Teguran Dradjad itu menunjukkan adanya kesenjangan antara klaim keberhasilan yang diungkapkan dan realisasi setoran ke kas negara. Dan, itu bukan hanya terjadi pada Tim Tastipikor, melainkan juga terjadi pada institusi kejaksaan.

Baru-baru ini dalam satu kuliah umum di Solo, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution kembali mengungkit soal uang hasil korupsi. Ia mempersoalkan uang pengganti hasil korupsi dan bunganya.

Dalam dokumen BPK yang dimiliki Kompas disebutkan, eksekusi terhadap uang pengganti Rp 6,66 triliun yang telah berkekuatan hukum tetap belum berhasil ditagih oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

Menurut anggota BPK, Baharuddin Aritonang, berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2005, jumlah uang pengganti yang tercatat dalam rekening Kejagung Rp 6,9 triliun. Jumlah dana ini tersebar di sejumlah rekening.

Setelah dilaporkan, dana yang waktu itu sudah disetorkan ke Kantor Kas Negara Rp 2,5 triliun. Waktu kami kejar lagi sampai tahun 2006, jumlah yang disetorkan bertambah sampai Rp 3 triliun. Dana itu dikumpulkan dari sejumlah kejaksaan tinggi, ujar Baharuddin.

Kejaksaan Agung, kini, terkesan kelabakan dengan tudingan itu. Seluruh kejaksaan negeri dikumpulkan untuk mendata uang pengganti dan uang sitaan korupsi. Keterangan pers yang diberikan pun berubah-ubah.

Dalam jumpa pers khusus yang digelar untuk menjelaskan persoalan uang pengganti, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman pada 12 Agustus 2007 menjelaskan, hingga Desember 2006, jumlah keseluruhan uang pengganti perkara korupsi yang berumur 1 hingga 24 tahun mencapai Rp 6,996 triliun. Dari jumlah tersebut, yang sudah dibayar oleh terpidana dan disetorkan ke kas negara baru Rp 10,3 miliar.

Namun, hari Senin (13/8), Kejaksaan Agung meralat penjelasannya mengenai pembayaran uang pengganti perkara tindak pidana korupsi. Kata Kemas, secara keseluruhan, uang pengganti yang sudah disetorkan ke kas negara Rp 2,568 triliun. Total uang pengganti yang didata Kejaksaan Agung itu mencapai tak kurang dari Rp 10,704 triliun dan 5.500 dollar Amerika Serikat (AS).

Tak ditemukan

Angka-angka itu cukup spektakuler, triliunan rupiah. Namun, saat Kompas menelusuri ke rekening Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) nomor 501000000 dan rekening Bendahara Umum Negara (BUN) 502000000, ternyata uang setoran itu tak ditemukan.

Setelah ditelusuri di Departemen Keuangan, ternyata uang pengganti kasus korupsi dari kejaksaan ini tidak memiliki nomenklatur khusus dalam pos penerimaan APBN yang mana pun juga. Satu-satunya aturan yang membagi mata anggaran dengan jelas dan termutakhir adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.06/2005 tentang Bagan Perkiraan Standar.

Dalam aturan teknis ini pun tidak akan ditemui pos penerimaan uang pengganti kasus korupsi dari kejaksaan. Pos penerimaan dari kejaksaan diatur dalam mata anggaran nomor 4232, yakni mata anggaran Pengembalian Pendapatan Kejaksaan dan Peradilan yang menampung seluruh dana yang masuk ke kas negara dari kejaksaan dan pengadilan.

Kompas pun coba meminta nomor mata anggaran penerimaan (MAP) dari kejaksaan. Menurut Jampidsus Kemas Yahya Rahman, pada tahun 2006, kejaksaan menyetorkan uang pengganti hasil korupsi itu ke nomor 423473. Pada tahun 2007, kejaksaan menyetorkan uang ke nomor rekening 424111.

Namun, setelah dicek, ternyata nomor mata anggaran penerimaan 423473 adalah milik Badan Pertanahan Nasional (BPN), yaitu dengan nama mata anggaran Pendapatan atas Denda Administrasi PBHTB (Perolehan Bea Hak atas Tanah dan Bangunan).

Administrasi buruk

Terlepas persoalan teknis administrasi yang terkesan berantakan itu, entah apakah itu terjadi di kejaksaan ataukah juga di Departemen Keuangan, Kompas mencoba mengecek jumlah uang pengganti.

Dari catatan Kompas, baik dari setiap rapat dengar pendapat (RDP) Jaksa Agung dan Komisi III DPR mulai dari Jaksa Agung MA Rachman hingga Hendarman Supandji, dokumen BPK soal uang pengganti perkara korupsi yang ditangani kejaksaan hingga setoran riil ke penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Departemen Keuangan, angkanya berlainan.

Pihak kejaksaan tak memiliki administrasi yang baik dalam mengelola uang pengganti hasil korupsi ini. Fakta itu terlihat dari angka uang pengganti yang selalu berubah dalam setiap laporan Jaksa Agung di rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR.

Sayangnya, Komisi III DPR juga tidak teliti dan bergeming dengan inkonsistensi angka-angka ini.

Berdasarkan bahan RDP Jaksa Agung dan Komisi III DPR yang dihimpun oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), betapa mengejutkan saat membaca angka uang pengganti yang berubah-ubah.

Pada era Jaksa Agung MA Rachman, sama sekali tidak pernah dilaporkan ke Komisi III soal uang pengganti hasil korupsi.

Sementara pada era Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dan Jaksa Agung Hendarman Supandji, angka uang pengganti berbeda. Bahkan, pada masa Abdul Rahman saja jumlah uang pengganti bisa berlainan.

Misalnya, dalam RDP 29 November 2004, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh melaporkan uang pengganti dieksekusi Rp 16,557 miliar. Pada RDP 7 Februari 2005, uang pengganti dieksekusi turun menjadi Rp 15,168 miliar. RDP 26 Mei 2005, uang pengganti justru tidak ada.

Yang menarik, adanya perbedaan data yang dilaporkan Jaksa Agung pada RDP 1 September 2005 dan 28 November 2005.

Dalam RDP 1 September 2005, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyampaikan uang pengganti Rp 500 juta, denda dieksekusi Rp 22 juta, dan biaya perkara Rp 22.500.

Dua bulan kemudian, pada RDP 28 November 2005, Abdul Rahman melaporkan uang pengganti yang dieksekusi total Rp 2,747 triliun, denda Rp 227 juta, dan biaya perkara Rp 24.500. Dilimpahkan ke Jamdatun Rp 1,343 triliun.

Artinya, dalam waktu dua bulan, uang pengganti yang dilaporkan ke Komisi III DPR melonjak Rp 2,2 triliun!

Era Hendarman

Coba bandingkan dengan laporan Jaksa Agung Hendarman Supandji dalam RDP dengan Komisi III, 28 Juni 2007.

Dalam RDP itu, khusus tahun 2005, Hendarman melaporkan uang pengganti yang masuk Rp 1,501 triliun. Adapun sisa uang pengganti tahun 2004 Rp 2,172 triliun dan 5.500 dollar AS. Total perkiraan uang pengganti tahun 2005 Rp 3,673 triliun, ditambah 5.500 dollar AS.

Itu baru angka-angka di atas kertas yang dilaporkan. Kompas coba membandingkan antara uang yang diklaim kejaksaan sudah disetorkan dan riil yang sudah disetor menurut keterangan Departemen Keuangan.

Jaksa Agung Hendarman Supandji dalam RDP dengan Komisi III, 28 Juni 2007, melaporkan, pada tahun 2006 uang kerugian negara yang sudah dibayar Rp 1,231 triliun. Lain lagi keterangan Jampidsus Kemas Yahya Rahman kepada wartawan 13 Agustus 2007, uang pengganti yang disetor tahun 2006 hanya Rp 10,3 miliar.

Angka ini pun lain dengan data di Departemen Keuangan. Kalau kejaksaan benar telah mentransfer pada 2006 ke nomor mata anggaran penerimaan 423473, maka angka yang tercantum di mata anggaran tersebut hanya Rp 264 juta.

Sedangkan menurut Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Depkeu Hekinus Manao, uang pengganti yang disetorkan kejaksaan tahun 2006 sangat kecil, Rp 19,88 miliar dan semester I tahun 2007 Rp 2,37 miliar.

Inilah wajah kejaksaan dalam mengelola uang pengganti hasil korupsi. Pemberantasan korupsi sungguh hanya jadi sebuah pencitraan belaka. (IDR/HAR/OIN) Vincentia Hanni S

Sumber: Kompas, 21 Agustus 2007
--------------
Sulit Menagih atau Memang Tak Ditagih...

Vincentia Hanni S

Awal Januari 2007, Kejaksaan Agung berencana meminta fatwa ke Mahkamah Agung terkait dengan banyaknya uang pengganti yang belum dilunasi para koruptor. Kejaksaan Agung juga akan menghapusbukukan pembayaran uang pengganti bagi terpidana yang tak mampu bayar karena tak lagi punya harta.

Solusi ini dikemukakan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang mengaku kerepotan menagih uang pengganti kerugian negara. Ide ini muncul dalam Rapat Koordinasi Kejaksaan Seluruh Indonesia di Bandung, Desember 2006.

Kejagung mengaku memang kerepotan menagih uang pengganti, terutama terhadap para koruptor yang dijerat dengan menggunakan Undang-Undang (UU) Korupsi Nomor 3 Tahun 1971.

Argumen Kejagung, jika seorang koruptor dijerat dengan UU Korupsi No 3/1971, UU tersebut tidak mencantumkan adanya hukuman subsider yang dikenakan kepada para terdakwa jika tidak membayar uang pengganti. Artinya, UU ini tidak mengatur sanksi tegas bagi para koruptor yang menunggak.

Namun anehnya, pihak kejaksaan belum memiliki data, berapa sebenarnya uang pengganti yang bisa dihapusbukukan bersyarat dan berapa yang harus dimintakan fatwa ke Mahkamah Agung (MA).

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Salman Maryadi saat diwawancarai wartawan pada 27 Desember 2006 mengatakan, kejaksaan tengah mengumpulkan data perkara korupsi yang sudah berkekuatan hukum tetap, tetapi terpidana belum membayar uang pengganti.

Tidak dikejar?

Berdasarkan dokumen Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diperoleh Kompas, uang pengganti yang ada pada 25 kejaksaan tinggi (kejati) di seluruh Indonesia yang belum tertagih mencapai Rp 6,667 triliun.

Rinciannya, jumlah uang pengganti yang ditangani kejaksaan bernilai total Rp 5,314 triliun dengan jumlah perkara sebanyak 227 perkara. Paling banyak uang pengganti yang tertunggak ditangani oleh Kejati Jawa Tengah 45 perkara dengan nilai Rp 5,408 miliar dan yang ditangani Nusa Tenggara Barat sebanyak 36 perkara dengan nilai Rp 1,662 miliar.

Atau, dari sisi nominal, seperti DKI Jakarta Rp 5,049 triliun dari 21 perkara dan Kalimantan Barat bernilai Rp 235,536 miliar.

Sedangkan uang pengganti yang dilimpahkan ke jaksa agung muda perdata dan tata usaha negara (jamdatun) sebesar Rp 1,353 triliun dari 107 perkara yang dilimpahkan.

Anggota BPK, Baharuddin Aritonang, menyinyalir kejaksaan tidak menagihkan tunggakan uang pengganti hasil korupsi ini kepada para koruptor.

Mungkin memang tidak dikejar kejaksaan, terkatung-katung mengambang tidak jelas karena tidak dicantumkan dalam neraca kejaksaan. Jangan diambangkan dong, harus jelas. Kalau piutang, ada berapa?

Tak patuh

BPK menilai Kejagung tidak patuh terhadap ketentuan undang-undang dalam soal pengelolaan uang pengganti.

Pendapat Baharuddin bisa jadi benar. Sebab, Mahkamah Agung sudah memberikan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 4 Tahun 1988 tentang Eksekusi Uang Pengganti.

Surat edaran itu keluar menanggapi permintaan kejaksaan ketika itu yang mengaku sulit menagih uang pengganti.

SEMA No 4/1988 mengatur, apabila dalam pelaksanaan eksekusi pembayaran uang pengganti jumlah barang yang dimiliki terpidana tidak mencukupi lagi, harus diajukan melalui gugatan perdata di pengadilan. Namun, SEMA itu nyaris tak pernah digunakan kejaksaan. Begitu banyak koruptor yang belum membayar uang pengganti, tetapi hampir tidak ada yang digugat perdata.

Setelah masalah uang pengganti ini diributkan di media, Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Darmono mengatakan, kejaksaan akan segera mengeksekusi agar koruptor segera mengganti uang kerugian negara itu atau menggugat perdata koruptor yang belum membayar.

Tagihan koruptor

Dari penelusuran Kompas di Departemen Keuangan (Depkeu), baru sedikit terpidana korupsi yang membayar uang pengganti, yaitu 17 orang.

Dari sedikit tersebut, tak semua terpidana membayar seluruh uang pengganti yang harus dibayar. Bahkan, di antara mereka, pembayaran yang sudah dilakukan hanya sebagian kecil dari jumlah yang harus dibayarkan.

Misalnya, Mohamad Bob Hasan yang divonis Mahkamah Agung empat tahun, uang pengganti yang harus dibayarkan adalah 243 juta dollar AS dan denda Rp 15 juta. Namun, dari bukti setor ke Depkeu, Bob Hasan baru membayar uang pengganti Rp 14,126 miliar dan denda Rp 15 juta.

Ricardo Gelael yang seharusnya tanggung renteng bersama Tommy Soeharto membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 96,6 miliar, ternyata berdasarkan bukti setor ke Depkeu telah membayar Rp 2,950 miliar. Adapun berdasarkan dokumen BPK, Ricardo Gelael masih memiliki tunggakan uang pengganti Rp 5,219 miliar.

Yang cukup menarik adalah uang pengganti Beddu Amang. Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung I Wayan Pasek Suartha pada awal Agustus 2006, Beddu Amang sudah membayar uang pengganti Rp 5 miliar secara berangsur dan dilunasi pada 16 Juni 2006.

Namun, berdasarkan hasil pemeriksaan BPK, Beddu Amang masih memiliki tunggakan uang pengganti sebesar Rp 5 miliar.

Dari data di Departemen Keuangan, Beddu Amang baru disebutkan membayar uang denda Rp 5 juta, sementara uang pengganti Rp 5 miliar tidak tercantum dalam data rekapitulasi bukti setor uang pengganti dan denda yang telah disetorkan ke kas negara.

Terpidana Bambang Sutrisno dan Kiki Ariawan sudah membayarkan uang pengganti. Namun, uang pengganti tersebut dibayarkan oleh Sudwikatmono sebesar Rp 1,515 triliun.

Data uang pengganti terpidana Thamrin Tanjung juga menarik dicermati. Berdasarkan bahan rapat dengar pendapat Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh ke Komisi III DPR tanggal 28 November 2005, uang pengganti kerugian negara yang sudah dieksekusi dari Thamrin Tanjung sebesar Rp 28 miliar.

Namun, saat dicek ke Departemen Keuangan, ternyata Thamrin Tanjung baru membayar Rp 8 miliar. Yang aneh lagi, berdasarkan dokumen BPK tentang data sisa uang pengganti yang belum dibayar Thamrin Tanjung Rp 8 miliar. Dokumen tentang sisa uang pengganti yang dilaporkan ke BPK ini disusun oleh Direktur Upaya Hukum Eksekusi dan Eksaminasi Kejaksaan Agung Tarwo Hadi Sadjuri.

Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch mengungkapkan kecurigaan kalau pihak kejaksaan memang tidak mengejar para koruptor untuk membayar uang pengganti itu.

Saya melihat ada modus negosiasi dalam pembayaran itu. Misalnya, daripada memberikan Rp 1,7 triliun, lebih baik membayar berapa miliar dan beberapa ratus juta atau miliar kepada jaksa. Bisa saja terjadi negosiasi seperti itu, siapa yang mengawasi? kata Emerson.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman menegaskan, kejaksaan tak pernah menyimpan uang pengganti di rekening kejaksaan.

Kalau belum ditagih, belum ada di kejaksaan, ungkapnya sambil mempersilakan pihak yang berkompeten untuk memeriksa dan mengaudit kejaksaan.

Depkeu bereaksi

Setelah media massa mengungkap soal ketidakjelasan uang pengganti hasil korupsi ini, tak cuma Kejagung yang kelabakan, Depkeu juga mulai bereaksi. Untuk mendapatkan kejelasan, Depkeu mengagendakan pertemuan tingkat teknis dengan Kejagung.

Menurut Dirjen Perbendaharaan Negara Herry Purnomo, mereka akan mengklarifikasi keberadaan uang pengganti kasus korupsi langsung ke Jaksa Agung. Kalau perlu, mereka akan menanyakan langsung kepada pejabat bendahara di Kejagung.

Problem uang pengganti hanyalah satu dari beragam persoalan. Masalah pengelolaan uang serta barang sitaan para koruptor pun sama ruwetnya.

Kini, saatnya Jaksa Agung membenahi persoalan pengelolaan uang dan aset hasil korupsi itu. Jika tidak, hanya menjadi kesia-siaan belaka mengejar koruptor. Rakyat tetap tak bisa merasakan manfaat dari pemberantasan korupsi yang dilakukan. (OIN/HAR/IDR)

Sumber: Kompas, 22 Agustus 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan