Uang dan Kekuasaan dalam Pilkada

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung sebagai mekanisme baru rekrutmen kekuasaan di daerah terus bergulir. Namun, pelaksanaan mekanisme baru yang lebih demokratis ini ternyata tidak banyak mengubah posisi politik penguasa di daerah. Penguasa daerah justru menjadikan momen pilkada untuk kembali berkuasa dengan merebut legitimasi kekuasaan yang lebih besar.

Riset National Democratic Institute (NDI) hingga Juni tahun 2005 terdapat 65 kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih kembali lewat proses Pilkada. Angka ini mencapai 40 persen dari total 159 daerah yang saat itu melaksanakan Pilkada. Fenomena ini mungkin membuat partai berbondong meminang para penguasa meski bukan kader partainya sendiri; kader partai lain atau pengusaha. Lemahnya aturan keuangan kampanye Pilkada menyebabkan mantan penguasa di daerah memiliki peluang lebih besar dalam pemenangan Pilkada dibandingkan calon lain.

Pada tahun 2006 lebih dari 90 daerah di Indonesia melaksanakan Pilkada, termasuk Aceh (Desember 2006) dan Banten (November 2006). Proses Pilkada bagi rakyat daerah tentu menyimpan harapan bagi perbaikan. Besarnya legitimasi rakyat pemilih dalam konteks Pilkada juga dapat menjadikan Pilkada sebagai pemberian sanksi politik kepada penguasa yang tidak pro-rakyat.

Namun, dari pengalaman tahun 2005, harapan ini banyak kandas karena pergeseran yang diharapkan tidak bisa terjadi. Aroma uang tetap saja menyengat dalam setiap pemenangan pilkada, setali dengan rasionalitas pemilih yang rendah hingga sulit membendung pengaruh uang. Dan mereka yang dulu berkuasa pun kembali ke tampuk kekuasaannya.

Dana kampanye
Lemahnya pengaturan keuangan kampanye terutama dalam hal batasan jumlah sumbangan, pelaporan, dan audit dana kampanye para kandidat serta tim sukses pada proses Pilkada dapat menjadi penyebab besarnya pengaruh uang dalam Pilkada. Hal ini ditunjukan misalnya dalam batasan jumlah sumbangan dari pasangan calon dan sumbangan dalam bentuk natura (bukan tunai). UU No 32 tahun 2004 dan PP No 6 tahun 2005 yang mengatur tentang Pilkada tidak membuat batasan yang jelas soal itu.

Tidak adanya pengaturan batasan jumlah sumbangan yang diberikan oleh pasangan calon menyebabkan pasangan calon dapat menyumbang dalam jumlah yang tidak terbatas untuk kepentingan kampanye. Hal ini tentu sangat tidak adil, terutama bagi kandidat-kandidat yang lemah kemampuan finansialnya. Sehubungan dengan hal ini, pengumuman laporan kekayaan para kandidat menjadi penting. Jika jumlah yang disumbangkan ternyata jauh melebihi jumlah kekayaan, maka patut diduga, bahwa para kandidat menerima sumbangan dari individu atau badan hukum dengan identitas yang disembunyikan, yang bisa jadi sumbangan ini berasal dari pundi-pundi yang dilarang aturan.

Celah aturan ini juga dapat menihilkan aturan yang lain seperti batasan sumbangan dalam bentuk uang yang diatur maksimum Rp 50 juta dari individu dan Rp 350 juta untuk badan hukum (Pasal 65 (3), PP No 6/2005). Siapapun dapat menyumbang secara langsung dalam pembiayaan kampanye lewat para pasangan calon, menyebabkan kantong para pasangan calon dalam Pilkada layaknya tempat cuci uang.

Untuk menambal kekurangan ini, peran Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) menjadi signifikan. KPUD yang memiliki fungsi regulasi dapat menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk menambal atau memperjelas pengaturan dalam pasal-pasal UU maupun PP. Hal ini juga pernah dilakukan KPU Pusat dalm Pemilu 2004 dengan mengeluarkan SK No 676 tahun 2004 tentang Pedoman Pelaporan dan Audit Dana Kampanye Partai Politik dan Peserta Pemilu Perorangan. Aturan ini sangat efektif dalam mendorong partai dan kandidat pada Pemilu 2004 untuk membuat laporan dana kampanye dan dalam rangka audit dana kampanye.

Untuk mendorong hal ini, KPUD di banyak daerah masih sangat membutuhkan asistensi dari instansi di atasnya. Mandulnya desk Pilkada yang digagas Departemen Dalam Negeri turut membuat banyak KPUD tidak dapat berfungsi dengan baik. Hampir semua KPUD di daerah terkendala oleh waktu persiapan Pilkada yang sangat singkat sehingga persiapan beberapa regulasi yang penting dalam rangka Pilkada termasuk SK tentang pedoman pelaporan dan audit dana kampanye terbengkalai. Selain kendala waktu, juga soal sumber daya manusia. Ini menyebabkan regulasi yang dibuat kualitasnya buruk dan terkesan hanya mengatur hal-hal prosedural, bukan yang menjadi substansi.

Kembalinya politisi lama
Tak adanya aturan main yang jelas mengenai dana kampanye, memberikan keuntungan politik yang besar kepada para kandidat mantan penguasa. Bagi kandidat yang mantan pejabat lama, suksesi Pilkada dapat dimaknai sebagai keberlanjutan kolaborasi bisnis-politik yang sudah terbangun sebelumnya. Dukungan pasti mengalir dari para kolega bisnis, kontraktor, dan pelaksana proyek-proyek daerah yang pasti menyumbang dalam jumlah besar ke rekening dana kampanye sang kandidat. Tentu saja sumbangan ini diberikan demi keuntungan di masa depan.

Popularitas dan pengaruh di birokrasi juga salah satu keuntungan politik bagi mantan penguasa. Selain dapat menggunakan publikasi media atas perannya di pemerintahan juga dapat 'menggunakan' dukungan di birokrasi dalam pemenangan seperti dukungan dari kepala-kepala desa atau lurah beserta jajarannya.

Perhelatan Pilkada seharusnya membawa angin harapan baru bagi rakyat daerah. Harapan ini akan semakin jauh panggang dari api jika pemimpin daerah yang terpilih ternyata tetap berasal dari politisi lama yang identik dengan masalah-masalah daerah. Aturan main yang jelas tentang dana kampanye diharapkan dapat membatasi pengaruh yang berlebihan dari politisi lama terutama dalam mengumpulkan pundi uang dalam pemenangan Pilkada dan mendorong adanya persaingan yang sehat antarkandidat dalam Pilkada.

Ibrahim Zuhdhy Fahmy Badoh
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Republika, 16 September 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan