Turbulensi Agenda Pemberantasan Korupsi

Di mata Komisi Pemberantasan Korupsi, Khairiansyah adalah sosok whistleblower yang menjadi tokoh penting atas terbongkarnya kasus penyuapan di tubuh Komisi Pemilihan Umum.

Setelah melewati masa satu tahun pemerintahan baru, arah pemberantasan korupsi menjadi kian tidak jelas. Harapan bahwa agenda pemberantasan korupsi berada pada arah yang semakin terang justru mengalami pemburaman. Paling kurang, apa yang terjadi pada beberapa penanganan kasus korupsi terakhir dapat dijadikan landasan asumsinya.

Yang pertama kasus Khairiansyah. Di mata Komisi Pemberantasan Korupsi, Khairiansyah adalah sosok whistleblower yang menjadi tokoh penting atas terbongkarnya kasus penyuapan di tubuh Komisi Pemilihan Umum. Tanpa peran dirinya, hampir bisa dipastikan KPK mengalami banyak kesulitan dalam mengungkap kasus korupsi di KPU. Bahkan, atas perannya tersebut, Transparency International menganugerahkan Integrity Award--meskipun beberapa waktu kemudian dikembalikan lagi.

Namun, Khairiansyah nyatanya bukanlah satu kemungkinan. Sebab, pada saat yang lain, Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, menetapkan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Dana Abadi Umat (DAU). Penetapan dirinya sebagai tersangka tidak dapat dikatakan sebagai bentuk kesewenang-wenangan aparat penegak hukum jika didasari bukti hukum yang cukup.

Yang sulit dipahami, beberapa nama besar lain yang muncul terlebih dulu sebagai penerima DAU hingga saat ini belum juga disentuh aparat kejaksaan. Alasan kejaksaan, mereka belum ditetapkan sebagai tersangka karena belum ada bukti yang memadai. Sampai di sini, ada kesulitan untuk dapat mencerna langkah aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi.

Bagaimana tidak, kasus DAU adalah perkara yang menjadi sorotan publik karena dua hal. Pertama, Kejaksaan Agung di tangan Abdul Rahman Saleh melalui Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memulai gebrakan pemberantasan korupsi dengan membongkar kasus korupsi DAU--selain kasus Bank Mandiri. Ini berarti tuntas atau tidaknya penanganan kasus korupsi DAU akan menjadi tolok ukur bagi masyarakat untuk menilai tingkat keseriusan Jaksa Agung dalam mendorong agenda pemberantasan korupsi. Yang perlu ditekankan, penetapan Khairiansyah sebagai tersangka haruslah dianggap sebagai bagian kecil dari peta besar aktor lain yang terlibat dalam korupsi DAU.

Kedua, terkait dengan poin pertama, penerima DAU terdiri atas berbagai tokoh dan politikus besar yang sangat dikenal masyarakat luas. Dalam konteks merehabilitasi citra aparat penegak hukum yang selama ini dikenal diskriminatif, mengintensifkan sekaligus memprioritaskan pemeriksaan pada aktor besar lain yang terlibat merupakan langkah yang tidak bisa diabaikan. Semakin kecil kapasitas aktor korupsi DAU yang terjaring, semakin tinggi tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap prinsip imparsialitas aparat penegak hukum.

Dengan demikian, keseriusan dan penerapan prinsip tidak pandang bulu dalam menangani kasus korupsi DAU akan sangat bergantung pada seberapa cepat proses pengungkapan kasus itu dapat diselesaikan. Faktor lain adalah seberapa jauh jangkauan aparat penegak hukum dapat menyeret sebanyak mungkin aktor yang terlibat di dalamnya.

Di luar persoalan di atas, cara pandang yang sangat kontras antara KPK dan kejaksaan dalam menyikapi agenda pemberantasan korupsi--yang diwakili dalam kasus Khairiansyah--juga menjadi bagian yang tidak kalah pentingnya untuk dipertanyakan. Dengan pendekatan barunya, pembongkaran korupsi yang diprakarsai KPK meletakkan whistleblower pada posisi yang sangat penting. Tanpa ada informasi, dukungan, dan kemauan whistle blower untuk bekerja sama dengan KPK, akan sangat sulit membongkar kasus-kasus penyuapan. Tidak hanya dalam kasus KPU, dalam kasus mafia peradilan yang pernah dibongkar KPK, peran whistleblower pun sangat vital.

Sebaliknya, di mata kejaksaan, Khairiansyah bukanlah whistleblower, melainkan salah satu pelaku korupsi DAU sehingga layak dijadikan tersangka. Tidak mengistimewakan perlakuan hukum terhadap salah satu pihak karena pernah berjasa pada peristiwa yang lain adalah hal yang benar. Soalnya, pada prinsipnya, semua orang sama kedudukannya di mata hukum.

Namun, di samping prinsip di atas, masih ada pertimbangan lain dalam memberantas korupsi, yakni skala prioritas. Memberantas mafia peradilan barangkali prioritas KPK, menangani korupsi DAU dan Bank Mandiri juga prioritas bagi kejaksaan. Masalahnya, jika prioritas antara KPK dan kejaksaan justru mengalami perbenturan, yang terkesan kemudian adalah adanya persoalan serius dalam hubungan antara KPK dan kejaksaan. Sekurang-kurangnya persoalan itu barangkali sangat berkaitan dengan koordinasi.

Minimnya koordinasi atau bahkan tiadanya agenda bersama pemberantasan korupsi antara KPK dan kejaksaan justru hanya menyeret kedua lembaga tersebut ke praktek saling menegasikan. Yang lebih menonjol kemudian adalah upaya menjatuhkan salah satu pihak dan mendelegitimasi keberhasilan pihak lain melalui pembongkaran kasus-kasus korupsi yang berkaitan dengannya. Tanpa disadari, kasus Khairiansyah telah membuka mata publik bahwa seolah-olah sedang terjadi persaingan yang tidak sehat di antara aparat penegak hukum.

Kasus kedua adalah perkara Probosutedjo. Cepatnya eksekusi terhadap Probo oleh kejaksaan setelah keluarnya putusan majelis kasasi di Mahkamah Agung merupakan catatan baik dalam agenda pemberantasan korupsi. Selama ini, gerak cepat aparat penegak hukum untuk menangani kasus yang melibatkan orang besar masih sebatas harapan. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh MA dan kejaksaan dalam menuntaskan penanganan kasus korupsi yang melibatkan Probo bisa dikatakan sebagai preseden yang baik bagi masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Namun, garansi bahwa aparat penegak hukum telah berubah harus tetap diberikan. MA dan kejaksaan harus menjaga konsistensi sikap dalam memproses secara hukum semua kasus korupsi. Artinya, tidak hanya dalam kasus Probo proses penegakan hukumnya berjalan cepat, tapi juga dalam kasus korupsi lainnya sikap konsisten itu harus ditunjukkan. Pertanyaannya kemudian: mengapa dalam penolakan kasasi kasus korupsi 43 mantan anggota DPRD Sumatera Barat oleh MA, hingga saat ini, eksekusi atas putusan MA tidak dapat dilakukan?

Sampai di sini, kita dihadapkan pada situasi yang tidak pasti. Perlakuan yang berbeda, sikap diskriminasi, tebang pilih penanganan perkara, dan sikap yang tidak konsisten dari aparat penegak hukum akhirnya menjadi satu kesimpulan yang pahit untuk diterima. Jika benar bahwa motif balas dendam-lah yang melatarbelakangi cepatnya proses penanganan kasus korupsi Probo, awan mendung pemberantasan korupsi akan segera meneteskan kegagalannya.

Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 5 Desember 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan