Tuntutan Meluas, Kemampuan Stagnan

Inilah masa di mana kemampuan pemerintah memenuhi harapan masyarakat cenderung stagnan. Atau, boleh jadi bahkan melemah. Sementara itu, kesadaran politik masyarakat cenderung terus meningkat secara progresif.

Hal tersebut bisa dilihat pada keikutsertaan masyarakat dalam berbagai gerakan sosial yang terus meningkat. Masyarakat kampus, aktivis LSM, sopir angkot, dan kaum buruh belakangan ikut serta dalam berbagai gelombang demonstrasi. Belakangan, mereka menuntut penyesuaian harga, tarif angkutan, UMR, serta perbaikan pelayanan publik menyusul terjadinya kenaikan BBM.

Kemampuan pemerintah melemah karena tekanan berbagai persoalan. Ada bencana alam, konflik sosial, dan tekanan ekonomi global. Termasuk, kenaikan harga minyak dunia. Subsidi BBM yang harus dibayar pemerintah menjadi membengkak. Dengan asumsi APBN USD 24 per barel dan harga minyak dunia USD 40 dolar per barel, subsidi yang harus dibayar Rp 61 triliun. Selain alasan beban APBN, tekanan IMF mendorong pemerintah untuk segera mencabut subsidi BBM.

Kendati dana subsidi itu akan dikompensasikan ke sektor pendidikan, kesehatan, serta sektor sosial lainnya, masyarakat tetap kurang percaya. Ketidakpercayaan tersebut, antara lain, datang dari perilaku birokrasi. Institusi pemerintah itu masih tercitrakan sebagai penyebab terjadinya ekonomi biaya tinggi.

Memang, ada upaya menciptakan good governance dan clean government dari pemerintahan SBY. Namun, hal itu terkesan lamban. Apalagi, masyarakat selama ini belum bisa merasakan secara nyata dampak penyaluran kompensasi dana subsidi BBM tersebut. Pendidikan dan kesehatan yang dinyatakan sebagai sektor utama penerima kompensasi tidak semakin murah, tetapi bahkan semakin mahal.

Kenaikan harga BBM toh telah dipilih sebagai opsi yang diambil pemerintah. Pasar telah merespons lebih agresif, yakni berupa kenaikan harga di hampir seluruh komoditas. Dalam hal tersebut, pemerintah berada dalam posisi tak mungkin meninjau struktur upah. Karena itu, wajar daya beli masyarakat semakin lemah.

Dalam kondisi itulah pantas dicermati kemungkinan munculnya gejala deprivasi relatif di tengah masyarakat. Robert T. Gurr (1970) mengingatkan bahwa deprivasi relatif akan muncul ketika terjadi kesenjangan antara value expectation -nilai yang diharapkan bisa diperoleh- dan value capability -nilai senyatanya yang bisa didapatkan. Padahal, deprivasi relatif bisa menjadi alasan kuat bagi seseorang untuk melibatkan diri dalam gerakan protes, bahkan gerakan sosial yang revolusioner.

Intensitas kesenjangan antara harapan dan kemampuan belakangan kian dalam. Bagi banyak kalangan, sulit bisa memperoleh hak-hak sahnya. Misalnya, hak mendapatkan nafkah, lapangan kerja, rasa aman, pendidikan, kesehatan, politik, aktualisasi, maupun hak penghargaan sosial.

Peningkatan harapan seperti itu sulit dihindari. Ia merupakan bagian dari peningkatan kesadaran politik masyarakat. Mereka semakin sadar mengenai hak-hak mengonsumsi, memiliki, serta menguasai barang, komoditas, dan berbagai aset yang bisa digali dari negeri ini.

Di sisi lain, para pelaku ekonomi di pasar membaca peningkatan hak ekonomi dan politik seperti itu dengan kacamatanya sendiri. Tentu dengan logika ekonomi. Mereka membaca hal tersebut sebagai peluang meraup untung.

Tentu saja hal itu absah. Para pemilik modal dan pelaku ekonomi tersebut selama ini benar-benar tidak menyia-nyiakan. Mereka memainkan syahwat masyarakat. Mereka mendorong agar syahwat memakan, memiliki, serta menguasai lebih banyak tersebut terus meningkat secara progresif.

Teknologi informasi, terutama iklan di media cetak maupun elektronik, sangat membantu. Berkat teknologi iklan, masyarakat terdorong membeli barang dari berbagai jenis produk serta manufaktur di pasar.

Harus diakui, perilaku pasar seperti itu merupakan sesuatu yang wajar. Namun, hal tersebut menjadi persoalan ketika masyarakat membeli berbagai komoditas di pasar tidak berdasarkan nilai kegunaan. Masyarakat membeli komoditas lebih didasarkan pada nilai tukar dan status benda itu. Barang seperti mobil, handphone, serta perabot elektronik di kantor atau rumah tangga tidak dibeli berdasarkan kegunaan, melainkan nilai statusnya.

Kecenderungannya lalu persis seperti yang diramal W. Benjamin (1978). Masyarakat kehilangan nilai intrinsik sebuah komoditas. Mobil tidak dipergunakan untuk berkendaraan. Televisi bukan untuk menonton. Motor boat bukan untuk berlayar. Arloji bukan untuk melihat waktu. Sebaliknya, semua komoditas itu dibeli dan dimiliki hanya untuk dipajang serta dipandangi. Komoditas yang dibeli masyarakat tidak lagi terkait nilai kegunaan. Bukan pula untuk meningkatkan produktivitas. Komoditas tersebut hanya menaikkan status dan image pemiliknya, tetapi tidak bisa memperbaiki kesejahteraannya secara substansial.

Apa boleh buat, kenyataan menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat masih cenderung naif. Mereka melambungkan harapan serta tuntutan yang tinggi. Sedangkan kemampuan menyediakan sarana yang diperlukan amat terbatas. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga seperti tidak berdaya untuk bisa menyediakan seluruh sarana yang dibutuhkan masyarakat.

Akibatnya, pertambahan jumlah sarana tak sebanding dengan daftar keinginan masyarakat. Gejala deprivasi relatif lalu tampak jelas membayangi kehidupan masyarakat saat ini.

Gejala deprivasi relatif tersebut menjadi penyebab turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, meski mereka pernah menaruh harapan besar kepada pemerintah. Ketidakpercayaan itu berbalik melemah setelah melihat the state of capacity yang dimiliki birokrasi pemerintahan ternyata masih memprihatinkan. Betapa tidak, melawan polusi, jalan macet, dan banjir di tengah kota saja seperti tak berdaya. Banjir di Jakarta, Surabaya, dan di sejumlah kota lainnya tidak saja melanda kawasan miskin. Banjir sudah merambah rumah para pejabat pengendali banjir itu.(Dr Zainuddin Maliki MSi, rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya)

Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 14 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan