Tunda Pengesahan RUU Kesehatan

Ada beberapa point krusial dalam RUU Kesehatan masih menjadi catatan. Padahal UU Kesehatan baru diharapkan dapat menghadapi masalah dan tantangan kesehatan Indonesia kedepan guna meningkat kualitas kesehatan rakyat Indonesia. Pada titik ekstrim maka muncul tuntutan kepada DPR dan Pemerintah agar menunda pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan.

Press Release :
“Tunda Pengesahan RUU Kesehatan”

Rencana pengesahan RUU Kesehatan oleh DPR dalam waktu dekat telah menimbulkan tanda tanya besar di berbagai kalangan. RUU Kesehatan dinilai masih belum layak diundangkan. Beberapa pasal kontroversial masih ada dalam RUU tersebut. Selain itu, proses pembahasan yang cenderung tertutup dan kurang terbuka terhadap masukan masyarakat, telah menimbulkan pertanyaan “apakah  ada “udang dibalik batu” dalam pengesahan RUU Kesehatan ini ? Pertanyaan ini semakin kuat dengan munculnya pengesahan secara terburu-buru oleh DPR dalam minggu ini.

RUU Kesehatan merupakan rancangan yang ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Indonesia. RUU  diharapkan dapat menggantikan UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan. UU Kesehatan ini dianggap tidak lagi relevan dengan masalah dan tantangan pembangunan kesehatan Indonesia kedepan. Selain itu, RUU Kesehatan diharapkan juga dapat membawa reformasi kesehatan Indonesia terutama terkait dengan pelayanan kesehatan yang semakin memburuk dan tidak terjangkau oleh kelompok miskin dan perempuan.

Beberapa point dan pasal bermasalah yang masih terdapat dalam RUU ini antara lain:

a. Pelimpahan Tanggung Jawab Negara Kepada Masyarakat.
Point ini terdapat dalam RUU Kesehatan:
DIM 51 pasal  12 “(1) Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal, DIM 54 pasal 14 “Setiap orang berkewajiban berperilaku sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang optimal,”

Hal ini merupakan kemunduran dari UU Kesehatan sebelumnya (U 23 tahun 1992 pasal 9) yang menyatakan bahwa Pemerintah bertanggungjawab atas penyediaan pelayanan kesehatan bagi warganya. Apa definisi kewajiban disini, batasannya seperti apa? Apakah Pemerintah dan DPR bermaksud untuk meliberalisasi sektor kesehatan Indonesia? Bagaimana dengan nasib rakyat miskin dinegara ini?

DIM 56 pasal 16 “ (1) Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program Asuransi Kesehatan Sosial. Dalam UU SJSN (UU no 40 tahun 2004) bahwa fakir miskin dan tidak mampu ditanggung preminya oleh pemerintah. Jika ada kewajiban seperti diatas diterapkan, bagaimana dengan nasib mereka? Semakin banyak orang miskin yang terlantar dan tidak mendapatkan hak sehatnya tentu saja.

b. Ketercukupan anggaran kesehatan dipertanyakan
Dalam DIM 148 pasal 50 ayat (4), hanya tertulis  anggaran kesehatan 3%  dari total anggaran. Padahal dalam ayat (2) dan (3) dipasal yang sama, Pemerintah pusat dan Daerah masing-masing harus menyediakan anggaran minimal 5% untuk sektor kesehatan. Tidak ada kejelasan akan nasib 2% anggaran kesehatan.  Tidak bisa dinafikan bahwa anggaran adalah hal penting, oleh karena itu harus ada kejelasan yang sejelasnya. Karena akan menyangkut hak sehat semua warga termasuk warga miskin dan perempuan

Perencanaan anggaran menjadi ujung tombak akan penyerapannya.Program-program kesehatan bagi rakyat harus clear sebelum anggaran ditetapkan. Hal ini mengantisipasi dini pemborosan atau kebocoran (korupsi) anggaran kesehatan. Program-program kesehatan pun hendaknya bersifat paripurna dan menghindari program ad hoc dengan titik tekan pada program yang bersifat promotif dan preventif (pencegahan)

c. Pengaburan hak sehat dan Pembebanan tanggungjawab Pekerja atas  kesehatannya
Bagi kelompok pekerja pun terdapat permasalahan. DIM 310 ayat (1) “Upaya Kesehatan kerja ditujukan untuk memungkinkan pekerja hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan.”

Kata memungkinkan tidak memberi jaminan dan kepatian bagi pekerja untuk terhindar dan terbebas dari gangguan kesehatan dan pengaruh buruh, yang bisa ditimbulkan oleh pekerjannya. Semestinya Negara menjamin setiap warga negara termasuk pekerja untuk mendapatkan kesehatannya, berdasar pada pasal 28 H (1) UUD 1945 yang menegaskan “Setiap orang berhak ntuk hidup sejahtera lahir batin , bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Selain itu, dalam DIM 318 ayat (2) tercermin bahwa pengalihan tanggungjawab dari pengusaha. Karena hanya menyebutkan pekerja yang wajib menjaga kesehatan ditempat kerja. Seharusnya kewajiban penciptaan dan penjagaan kesehatan di tempat kerja adalah pekerja bersama-sama dengan pengusaha.

Satu lagi hal krusial dalam BAB ini adalah diskriminasi warga Negara untuk mendapatkan pekerjaannya. Dalam DIM 319 ayat (3) “ Untuk seleksi pemilihan calon pengawai pada perusahaan/instansi, hasil pemeriksaan kesehatan secara fisik dan mental digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Hal tersebut menunjukkan adanya pembatasan hak atas pekerjan, dan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 H. Tes kesehatan ini seharusnya digunakan untuk meningkatkan kondisi  kesehatan pekerja, bukan sebagai syarat penerimaan pekerja.

d. Tidak berpihaknya RUU Kesehatan terhadap kesehatan perempuan
Banyak pasal yang mendiskrimnasi kaum perempuan. Padahal Pemerintah RI telah meratifikasi Konvensi CEDAW (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) melalui UU No. 7/Tahun 1984, namun ternyata justru RUU Kesehatan yang saat ini sedang dibahas di DPR RI bertentangan dengan prinsip non diskriminasi serta ketentuan dalam Konvensi CEDAW (Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 24 tentang Perempuan dan Kesehatan).

RUU Kesehatan Pasal 81 Huruf (a) :“Setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangannya yang sah.” (Dalam penjelasan:  yang dimaksud dengan pasangan yang sah adalah pasangan suami istri yang diakui dan terbukti sah menurut ketentuan hukum yang berlaku). Pemerintah dalam hal ini tidak mempertimbangkan kelompok perempuan lajang, pernikahan yang tidak tercatat dll.  Apakah mereka harus kehilangan hak sehatnya disaat pilihan untuk tidak menikah (lajang) atau pernikahannya tidak tercatat? Bukankah mereka adalah warga Indonesia juga?

DIM 248 dan 249 (pasal 84 ayat 2 dan 3) tertulis Kedaruratan medis sebagai syarat dalam melakukan aborsi sangat kabur. Deteksi dini atas kehamilan yang mengancam kehamilan ibu atau janin dapat diketahui melalui indikasi medis tanpa harus menunggu status darurat. Selain itu hendaknya pemerintah memperhatikan keberadaan konselor aborsi aman. Agar masyarakat dapat memahami kebaikan dan keburukan aborsi yang mereka niatkan sebelumnya.

DIM 250 (pasal 85) mengenai syarat pengecualian aborsi. Pertimbangan akan ketidaktahuan masyarakat akan waktu 6 minggu kehamilan harus dilihat lagi. Karena hal ini berkaitan dengan sanksi yang akan menjerat pelaku aborsi. Apabila seorang perempuan mengalami keterlambatan haid dan ia tidak tahu akan hal itu, padahal ternyata dia hamil dalam 6 minggu lalu melakukan aborsi karena tidak menginginkan kehamilan tersebut, apakah dia harus mendapat sanksi (15 tahun penjara dan denda 10 miliar rupiah)atas ketidaktahuannya tersebut?

e. Bias Agama dalam hak sehat dan Kriminalisasi penyakit menular
DIM tentang bias agama (DIM 242, 245, 248 dan 251) mengkaitkan antara hak reproduksi dengan nilai agama. Pertanyaannya adalah siapa yang nantinya akan memutuskan bertentangan atau tidak dengan nilai agama? Dengan maksud, isu kesehatan adalah bersifat universal, tidak terbatas pada agama, ras, suku dan lainnya. Setiap warga berhak mengakses layanan kesehatan bagi tubuhnya sendiri.

Disebutkan dalam DIM 231 pasal 78 (1) “ Setiap orang yang mengidap atau menderita penyakit menular dilarang melakukan perbuatan yang dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain.” Dalam pasal 115 (DIM 344) sanksi bagi yang melanggar ketentuan diatas adalah pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 100 juta.

Tidak ada kejelasan apa saja jenis penyakit menular tersebut. Kalaupun ada stigma terhadap kelompok penderita Penyakit Menular Seksual termasuk HIV/AIDS, itupun harus ada perlindungan dan jaminan atas kesehatannya. Seklai lagi bahwa mereka adalah warga negara Indonesia yang berhak atas kesehatannya.

Mengingat masalah dan point krusial tersebut masih terdapat dalam RUU Kesehatan. Dan agar UU Kesehatan yang baru dapat menghadapi masalah dan tantangan kesehatan Indonesia kedepan guna meningkat kualitas kesehatan rakyat Indonesia, maka kami menuntut DPR dan Pemerintah agar :

“Menunda Pengesahan RUU Kesehatan Menjadi UU Kesehatan”

Selanjutnya, pembahasan RUU Kesehatan diserahkan pada pemerintah dan DPR mendatang dengan membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas.

Jakarta, 13 September 2009
Indonesia Corruption Watch

Contact Person : Ratna Kusumaningsih (081 390 294 533), Ratna Batara Munti (0818 7580 89)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan