Tumpak Hatorongan Panggabean: Saatnya Berani Gunakan Gunting

Praktik mafia hukum telanjur menjangkiti seluruh instansi penegak hukum di Indonesia. Persoalan mafia hukum ini bagai benang kusut sehingga sulit jika harus mengurainya satu per satu. Satu-satunya jalan, gunakan gunting untuk memangkas kekusutan itu. Seleksi benang yang masih bisa digunakan, buang benang yang tidak bisa dipakai lagi.

Perumpamaan itu disampaikan mantan Pelaksana Tugas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tumpak Hatorangan Panggabean saat ditemui di kediamannya di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana Anda melihat praktik mafia hukum saat ini?

Kalau mau jujur, semua penanganan perkara yang dilakukan secara konvensional mulai dari penyidikan, penuntutan, dan pengadilan, ada makelar kasusnya. Polisi, jaksa, dan hakim semua tahu itu terjadi di setiap perkara dan setiap hari selalu ada. Memang sulit membuktikan, tetapi itu ada.

Bahkan dalam perkara kecil- kecil, seperti narkoba, penggelapan, dan penipuan, ada saja tersangka atau saksi yang diperas. Ini berlangsung lama sehingga penegakan hukum di Indonesia tidak dipercaya karena tidak memberikan keadilan dan kepastian hukum. Pembentukan KPK dilatarbelakangi ketidakpercayaan terhadap proses itu.

Apa yang mesti dilakukan untuk memperbaiki kondisi ini?

Ada dua cara. Preventif melalui reformasi birokrasi, perbaikan sistem dengan membuat aturan dan pengawasan yang ketat, seleksi yang ketat terhadap penegak hukum, dan tegakkan kode etik. Remunerasi bisa saja diberikan, tapi itu bukan hal yang pokok.

Upaya itu mesti dibarengi tindakan represif yang tegas dengan hukuman berat, tanpa pandang bulu kalau ada penyimpangan aparat penegak hukum saat tangani suatu perkara. Jangan hanya selesai secara administratif atau sekadar dipecat. Seret ke pengadilan agar ada efek jera.

Mana yang lebih prioritas saat ini, pencegahan atau penindakan?

Untuk saat ini, penindakan harus di depan karena orang tidak takut lagi (untuk korupsi). Aparat penegak hukum juga kalau ada kesempatan juga melakukannya.

Penyimpangan aparat penegak hukum ditindak pidana korupsi itu hanya ada dua, suap dan pemerasan. KPK sudah tangkap aparat penegak hukum yang terlibat suap, tapi itu hanya sebagian kecil.

Bagaimana langkah penindakan itu bisa berjalan efektif?

Bagaimana mungkin kejaksaan maupun polisi bisa independen jika mereka yang mengusut mafia hukum yang melibatkan anggotanya sendiri. Umumnya instansi melindungi personelnya sehingga hukuman yang mereka berikan sekadar hukuman administrasi dan paling berat dipecat. Padahal, seharusnya mereka bisa dipidanakan dan disidangkan.

Ke depan, menurut saya, perlu ada perbaikan regulasi di mana KPK khusus menangani kasus yang pelakunya aparat penegak hukum yang meliputi penyidik, penuntut, hakim, dan penasihat hukum. Kepolisian dan kejaksaan tidak berwenang tangani itu, semua lewat KPK.

Dengan sistem ini, aparat penegak hukum senantiasa dibayang-bayangi dalam melakukan tugasnya, ada KPK yang mengawasi sehingga penyimpangan bisa ditekan.

Memang di undang-undang saat ini KPK diberi kewenangan supervisi kasus korupsi yang ditangani kepolisian dan kejaksaan. Namun pengalaman saya selama enam tahun di KPK, kewenangan itu tidak bisa dijalankan optimal.

Ada kendala?

Dari sisi regulasi, undang-undang tidak mengatur bagaimana supervisi itu dilakukan. Kalau ada saran KPK yang tidak dilakukan kepolisian dan kejaksaan, tidak ada aturan mengenai sanksinya.

Dari sisi sumber daya manusia KPK, penyidik berasal dari kepolisian dan penuntut berasal dari kejaksaan. Nyatanya saat dilakukan supervisi ada resistensi dari kepolisian maupun kejaksaan karena penyidik atau jaksa KPK yang melakukan supervisi itu pangkatnya lebih rendah dari mereka. Penyidik dan jaksa KPK juga punya kendala psikologis saat melakukan supervisi.

Supervisi yang ada sebatas mereka beri laporan, belum sampai ke gelar perkara di mana KPK bisa mempertanyakan bagaimana penanganannya.

Anda tadi menyampaikan perlu penegakan hukum secara tegas dengan hukuman berat untuk menimbulkan efek jera, bagaimana dengan hukuman mati?

Hukuman untuk pelaku korupsi sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Di UU itu hanya ada satu pasal yang mengatur hukuman mati, yakni Pasal 2 Ayat 2, di mana korupsi yang dilakukan saat negara dalam bahaya, krisis, ada bencana nasional, bisa dijatuhi hukuman mati. Namun, itu belum pernah diterapkan.

Kalau terima suap memang tidak bisa dijatuhi hukuman mati karena ancaman pidananya tidak sampai hukuman mati. Kalau mau, harus diubah dulu undang-undang itu.

Orang bilang contoh China. Saya tanya ke mahkamah agungnya, bagaimana penerapan hukuman mati untuk kasus korupsi di China. Ternyata di sana tidak semua dihukum mati. Tapi di sana orang takut korupsi karena hukumannya tegas dan berat. Korupsi dalam jumlah besar dan berdampak bagi rakyat banyak dihukum mati. Memang tidak langsung dihukum mati karena ada masa rehabilitasinya.

Ini bisa diterapkan dengan mengacu pada parameter besarnya kerugian negara dan uang yang dikorupsi. Selain hukuman mati, jangan lupa masih ada hukuman seumur hidup, 20 tahun, atau 15 tahun. Hukuman selama itu juga berat bagi koruptor.

Anda menyatakan, masalah yang telanjur kusut diselesaikan dengan gunting. Bagaimana penerapannya?

Harus ada ketegasan dan keberanian dari pimpinan instansi penegak hukum untuk menerapkan pengawasan yang ketat dan penindakan hukum yang keras, selain mereformasi birokrasi di dalam. Jika sebagian besar harus diganti karena tidak bisa diubah lagi, langsung ganti. Yang tidak mau mengikuti perubahan harus ditinggalkan, jangan setengah-setengah.

Untuk itu instansi perlu diaudit dulu, berapa kebutuhan penyidik, jaksa, dan hakim. Jika sudah dapat angkanya, evaluasi siapa yang masih bisa ikuti gerak reformasi dan siapa yang tidak bisa dipakai lagi. Mereka yang tidak bisa dipakai pensiunkan. Mereka yang bisa dipakai beri gaji yang cukup dan awasi secara ketat. Kalau ada kesalahan, jangan ampuni lagi.

Peran pimpinan untuk melakukan perubahan itu penting. Zaman (Jaksa Agung) Ismail Saleh dan Baharuddin Lopa, misalnya, tidak ada jaksa yang berani melakukan penyimpangan karena sistem mereka komando. Orang menari itu, kan, tergantung bagaimana musiknya. Panutan dari pimpinan itu yang menentukan musiknya.

Bagaimana jika pemimpin sekarang tidak bisa tegas karena terbelenggu kesalahan masa lalu?

Seharusnya pemimpin yang demikian harus mundur. Jika pemimpin terbelenggu masa lalunya, dia sulit berbicara lepas tanpa beban. Solusinya, ganti pemimpin dari generasi di bawahnya yang bersih. Segera dipotong satu generasi. Saya yakin masih ada generasi bersih yang bisa dipercaya untuk memimpin.

Bagaimana masyarakat bisa berperan dalam perubahan aparat penegak hukum? Mungkin mengembangkan budaya malu?

Budaya malu saat ini seolah-olah tidak ada lagi karena masyarakat kita permisif. Mereka membiarkan kalau ada aparat penegak hukum yang punya rumah megah. Lingkungan di RT justru melihat hal itu pantas atau wajar. Mungkin seperti saya yang sejak 1984 tinggal di rumah seluas 135 meter ini yang justru dianggap tidak pantas.

Masyarakat justru memandang penegak hukum yang memiliki harta melimpah, apalagi ramah dan sering memberi sumbangan itu sebagai tokoh. Lingkungan seperti ini seolah-olah membenarkan atau menerima keadaan seperti itu. Hal seperti ini yang membuat mereka yang korup tidak punya malu. Masyarakat tidak mempermalukan. Seharusnya ada sanksi sosial dengan dikucilkan dari pergaulan lingkungan.

(C wahyu haryo PS)
Sumber: Kompas, 15 April 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan