Tujuh Tahun untuk Nazaruddin

Ini berarti pemilihan umum presiden juga harus diulang, kata Nazaruddin

Chusnul Mar'iyah dan Valina Singka Subekti, dua anggota Komisi Pemilihan Umum, tampak tekun mendengarkan pembacaan vonis hakim. Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat kemarin, vonis bagi Nazaruddin Sjamsuddin, Ketua Komisi Pemilihan Umum, sedang dibacakan.

Lalu jatuhlah putusan itu: tujuh tahun penjara untuk Nazaruddin. Hampir bersamaan, Chusnul dan beberapa pengunjung lain berteriak, Huuu...! Lalu sebuah teriakan lain, kali ini dari adik Chusnul: Hakim seharusnya belajar soal asuransi...! Di barisan bangku belakang, Nurdina, istri terhukum, berkomentar pendek, Gila ya vonis itu.

Selain menjatuhkan vonis tujuh tahun penjara, majelis hakim yang dipimpin Kresna Menon mengganjar Nazaruddin dengan denda Rp 300 juta (subsider enam bulan kurungan) dan keharusan membayar uang pengganti Rp 5,32 miliar. Majelis yakin guru besar Universitas Indonesia ini terbukti melakukan korupsi dalam pengadaan asuransi keselamatan bagi petugas Pemilihan Umum 2004.

Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa Nazaruddin bersama Kepala Biro Keuangan Komisi Pemilihan Umum Hamdani Amin bersalah karena menunjuk langsung PT Asuransi Bumiputera Muda 1967 dalam proyek senilai Rp 14,8 miliar itu tanpa melalui rapat pleno. Ini, kata hakim, melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.

Selain itu, Nazaruddin bersama Hamdani membuat panitia pengadaan dan proses pelelangan fiktif. Hakim juga yakin mereka berdua telah membagi-bagikan dana dari perusahaan rekanan Komisi Pemilihan Umum secara tidak sah. Dia sendiri menerima US$ 45 ribu. Belakangan, uang itu dikembalikan saat Nazaruddin disidik Komisi Pemberantasan Korupsi.

Nazaruddin segera menyatakan banding. Ia menjelaskan, keputusannya menunjuk langsung PT Asuransi Bumiputera Muda itu karena waktu yang sangat mendesak. Apalagi, Surat sudah diparaf oleh Sekretaris Jenderal. Artinya, semua kan sudah clear, kata pria kelahiran Bireuen ini.

Ia lalu menegaskan, jika mengikuti logika hakim, pemilihan presiden dan wakilnya pada 2004 harus diulang. Alasannya, soal penunjukan asuransi bukanlah satu-satunya keputusan yang dia buat tanpa sidang pleno.

Ia lalu memberikan contoh, sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum, dia pernah mengesahkan surat suara yang dicoblos tembus akibat lipatan, juga tanpa sidang pleno Karena waktu sangat mendesak, katanya. Karena itulah, menurut Nazaruddin, jika mengikuti logika hakim, surat suara itu pun harusnya dinyatakan tidak sah. Artinya, pemilihan presiden juga tidak sah sehingga harus diulang.

Wisnu Baroto, penuntut umum, belum bersikap menanggapi vonis yang lebih ringan dari tuntutan itu. Kami pikir-pikir dulu, ucapnya. Sebelumnya, Nazaruddin dituntut 8 tahun 6 bulan penjara serta harus membayar denda Rp 450 juta dan pengganti Rp 14,8 miliar. EDY CAN

Sumber: Koran Tempo, 15 Desember 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan