Tujuh Kasus BLBI Dievaluasi
Walaupun debitor membayar, ketentuan hukum harus berjalan. Saya tidak akan kompromi.
Tujuh kasus debitor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang tengah digarap Kejaksaan Agung akan dievaluasi ulang. Evaluasi ini terkait dengan kebijakan pemerintah yang baru terhadap para debitor hingga akhir 2006. Hingga tahun lalu, penyidikan masih terus dilakukan, kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supandji kepada Tempo kemarin.
Tujuh debitor BLBI ini, kata Hendarman, adalah Bank Deka, Bank Aken, Bank Kosa Graha, Bank Pinaesaan, Bank Central Dagang, Bank Upindo, dan Bank Pelita (lihat tabel). Setelah pertemuan Jumat lalu antara Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Keuangan, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian RI, kata Hendarman, ada perubahan kebijakan penanganan terhadap debitor BLBI.
Penyelidikan yang sudah jalan jadi mandek, katanya. Dengan kebijakan yang lebih mengutamakan pengembalian aset negara, Hendarman mengaku belum tahu pasti kelanjutan langkah hukum yang akan diambilnya terhadap tujuh debitor tadi.
Hendarman mencontohkan adanya putusan perdata Mahkamah Agung yang memvonis Bank Deka membayar Rp 145 miliar. Sedangkan menurut data yang ada di kejaksaan, kata dia, debitor harus ditindak secara pidana dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional meminta pengembalian Rp 200 miliar. Saya baru tahu dan ini membingungkan, ujar Hendarman.
Berdasarkan dokumen yang dimiliki Tempo, Badan Penyehatan Perbankan Nasional menetapkan kasus Bank Deka diselesaikan lewat litigasi. Sejak 2002, pemegang saham Bank Deka dikejar BPPN lewat jalur perdata (sudah sampai Mahkamah Agung) dan pidana (penyidikan di kejaksaan). Upaya hukum dilakukan karena hingga tenggatnya, pemegang saham tidak meneken akta penyelesaian kewajiban pemegang saham.
Untuk kasus Agus Anwar dari Bank Pelita, kata Hendarman, kejaksaan dalam posisi dilematis. Bisa saja dilakukan sidang in absentia, tapi apakah negara rela tidak mendapat apa-apa karena tidak ada aset yang bisa disita?
Pembicaraan tentang pengembalian uang inilah yang masih dilakukan. Menurut Hendarman, Agus Anwar meminta tidak dilakukan proses hukum karena bersedia mengembalikan uang negara sebesar Rp 592 miliar. Negosiasi proporsi pengembalian utang ini mendekati perbandingan 70-30 untuk aset dan uang tunai.
Melihat perubahan perlakuan atas para debitor BLBI ini, pengamat hukum dari Universitas Indonesia, Rudy Satrio, menyarankan agar pihak kejaksaan bergegas mengumpulkan bukti bahwa para debitor ini bermasalah. Sembari mengikuti proses penyelesaian utang, katanya kepada Tempo. Menurut Rudy, pemerintah menunggu hingga akhir tahun karena sulit membuktikan adanya kerugian negara.
Rudy menilai, dalam penanganan hukum para debitor BLBI ini, negara harus bertindak tepat. Agar uang negara kembali tapi proses hukum tetap berjalan, katanya. Hendarman mengatakan hal yang sama. Walaupun debitor membayar, ketentuan hukum harus berjalan. Saya tidak akan kompromi, ujar Hendarman. DIAN YULIASTUTI
Sumber: Korasn Tempo, 13 Februari 2006